(Praktik Berbasis Syariah Melindungi Perbankan dari Krisis Keuangan Terburuk)
Faiza Saleh Ambah, Koresponden Washington Post, Jumat, October 31, 2008
HTI-Press. JIDDAH, Saudi Arabia — Ketika lembaga keuangan Barat mulai berjatuhan satu demi satu akibat krisis akhir-akhir ini, ada sektor keuangan yang tetap tidak bergeming: Perbankan Islam. Pendukung praktik Perbankan Islam, yang merujuk ke Syariah dengan menjauhi Riba dan bertransakski dengan hutang, semakin giat untuk mempromosikan sistem keuangan Islam sebagai solusi dari keruntuhan finansial global.
Akhir minggu ini, Menteri Perdagangan Kuwait, Ahmad Baqer, dikutip telah menyatakan bahwa krisis global akan memancing semakin banyak negara-negara yang akan menggunakan prinsip Islam dalam menjalankan ekonominya. Deputi Seketaris Keuangan AS Robert M Kimmet yang berkunjung ke Jiddah berkata bahwa pakar di kantornya sedang mengkaji prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Perbankan Islam.
Dengan aset tidak kurang dari trilyunan dolar, industri perbankan Islam juga menghadapi tantangan dari ambruknya sektor perumahan dan pasar saham. Namun, beberapa kalangan menilai bahwa industri tersebut memiliki sistem proteksi internal yang berhasil menghentikan arus keambrukan yang telah mendera industri perbankan non Islam. Salah satunya, Perbankan Islam. melarang penggunaan transaksi instrumen derivatisasi yang telah dituding sebagai salah satu biang jatuhnya Bank konvensional, asuransi, dan penanaman modal dalam krisis yang sedang berlangsung saat ini. Demikian juga pengambilan resiko yang berlebihan juga dilarang dalam Perbankan Islam.
“Keindahan praktik Perbankan Islam dan alasan kenapa ia bisa menjadi solusi sistem pasar saat ini adalah bahwa anda hanya menjanjikan apa yang anda punya. Perbankan Islam memang tidak kebal seandainya ekonomi itu sendiri runtuh — ia juga pasti menderita– akan tetapi anda tidak akan kehilangan segalanya,” ungkap Majed al-Refaie, Kepala Penanaman Modal Unicorn yang berpusat di Bahrain.
Sumber teologis yang membangun sistem Perbankan Islam adalah teks syariah yang menyatakan bahwa pengumpulan Bunga adalah bagian dari Riba, yang terlarang dalam Islam. Di dunia modern, ayat tersebut mempengaruhi pandangan seorang muslim terhadap uang, yang berbeda dengan pandangan Barat. Uang itu sendiri, dalam pandangan muslim, tidak boleh menggandakan dirinya sendiri (atau ber-Bunga) secara otomatis. Untuk tumbuh, uang tersebut harus ditanamkan di sektor produksi/riil.
“Menurut sistem keuangan Islam, anda tidak boleh menciptakan uang dari kehampaan begitu saja,” ujar Amr al-Faisal, anggota dewan Dar al Mal al-Islami, perusahaan yang memiliki beberapa bank Islam. “Transaksi kami selalu terikat dengan aktifitas ekonomi riil, seperti aset atau jasa. Anda tidak boleh membuat uang dengan uang. Anda harus memiliki gedung yang memang telah anda beli, jasa yang memang telah anda berikan, atau komoditi yang memang anda jual.”
Di dunia Barat, para bankir menciptakan instrumen keuangan demi memuaskan aturan pemerintah, sedangkan praktik Perbankan Islam harus mengikuti dewan Syariah, yang beranggotakan para ulama. Perbankan Islam berkonsultasi dengan dewan Syariah untuk memastikan bahwa produk perbankan tetap sejalan dengan rel yang ditetapkan oleh Syariah.
Para bankir Islam menganggap bahwa para nasabahnya adalah mitra mereka di mana harta nasabah mereka tanam yang hasilnya akan dibagi bersama, dan secara teoritis, kerugiannya pun harus ditanggung bersama. (Dari hasil wawancara, para Bankir Islam mengatakan bahwa sejauh ini belum ada data tentang kasus para nasabah yang kehilangan hartanya di bank mereka. Artinya, Bank Islam memang hanya menanamkan harta nasabahnya kepada investasi yang beresiko rendah.)
Ketimbang meminjamkan uang kepada calon pembeli rumah, Bank Islam membeli rumah yang dikehendaki pembeli dan menyewakannya kepada sang pembeli dengan jangka waktu yang telah disepakati. Pembeli rumah tersebut lalu membayar kepada Bank angsurannya per bulan hingga pada akhirnya berhasil memiliki rumah di akhir waktu. Pembayarannya telah distruktur sehingga meliputi harga rumah dan marjin keuntungan untuk Bank yang telah ditetapkan. Di samping itu institusi keuangan Syariah juga tidak bisa menanam modal di industri pornografi, minuman keras, persenjataan, perjudian, rokok atau babi.
Ahli IT (informasi teknologi) Tarek al-Bassam mengatakan bahwa krisis yang terjadi justru membuatnya tenang karena ia telah memilih menggunakan Bank Islam untuk menyimpan tabungannya. Katanya, tabungannya telah memberinya keuntungan sekitar 4%. Meski tidak banyak karena beresiko rendah sehingga besar keuntungannya pun tidak seberapa, namun ia senang karena tidak terimbas krisis.
Dia juga meminjam uang dari bank Islam untuk membeli gedung. Meskipun ia terlambat dalam membayar angsuran, ia tidak tercekik untuk membayar bunga yang terakumulasi. (sebagaimana lazimnya terjadi di bank konvensional). Ia hanya harus membayar sisa angsuran dari total angsuran yang sudah disepakati sebelumnya. Di sisi lain, memang mendapatkan pinjaman dari Bank Islam lebih sulit ketimbang bank konvensional karena Bank Islam memiliki aturan yang lebih ketat dan memastikan bahwa calon peminjam memiliki agunan yang cukup dan penghasilan yang masuk akal.
Bank Islam telah tumbuh sebesar 15 persen setahun sejak didirikan di tahun 1970an, yang tercetus akibat banjir minyak di Timur Tengah saat itu. “Saat itu banyak sekali yang pesimis dan curiga ketika kami berdiri pada awalnya, terutama oleh pihak yang berwenang. Mereka baru membolehkan setelah melihat bahwa ternyata permintaan untuk adanya Bank Islam memang sangat tinggi,” ujar Faisal, anggota Dar al-Mal al-Islami sejak akhir tahun 1970an.
Majid Dawood, konsultan keuangan syariah Yasaar yang berpusat di Dubai, mengatakan bahwa sektor keuangan Islam berkontribusi sekitar 1% dari pasar global. “Kita harap untuk mencapai 12% dari pasar global di tahun 2025, tetapi dengan keadaan krisis seperti, kami berharap akan lebih cepat dalam mencapai target tersebut,” dalam wawancaranya dari New York, dimana ia sedang terlibat dalam Konferensi Perbankan Islam di sana.
Pertumbuhan Perbankan Islam bahkan mulai berakselerasi sebelum pecahnya krisis saat ini, karena tingginya permintaan dari nasabah yang menghendaki sistem yang aman, sesuai dengan tuntunan Syariah, dan adanya inovasi instrumen keuangan, menurut Jane Kinninmont, analis pada Economist Intelligence Unit, suatu lembaga penelitian dan konsultasi.
Bank Islam kini juga menyediakan kartu kredit, di mana tagihan hutang wajib dilunasi pada akhir bulan. Ia juga menyiapkan instrumen Sukuk, dimana ia akan menghasilkan keuntungan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sukuk ini dikaitkan dengan aset riil dan mengindikasikan kepemilikan. Sukuk bisa dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan yang sedang membangun rumah sakit, jembatan, dan lainnya.
Lapangan pekerjaan yang mendukung Perbankan Islam seperti lembaga konsultasi pengacara King and Spalding juga tumbuh sekitar 40 kali lipat dalam empat tahun terakhir menurut Jawad Ali, salah satu mitra lembaga tersebut yang berpusat di Dubai. Lembaga ini memiliki 35 pengacara yang kerjanya tiap hari adalah berkonsentrasi untuk memastikan bahwa modal yang akan ditanamkan memiliki struktur dan berjalan sesuai dengan Syariah.
Ketertarikan pada sistem Keuangan Islam di AS bermula di akhir tahun 1990an. Dow Jones Islamic Index dibentuk di tahun 1999 dan Dow Jones Islamic Fund, suatu bursa penanaman modal di perusahaan yang sesuai dengan Syariah, di tahun berikutnya.
Akan tetapi, ketertarikan tersebut menyurut paska serangan WTC 911 dimana korban serangan tersebut menggugat para Bank Islam yang diduga mendanai terorisme ke meja hijau. Akhirnya dana investasi dari Timur Tengah pun mulai beranjak meninggalkan AS menuju Eropa.
Di tahun 2004, negara bagian Saxony-Anhalt Jerman menciptakan 100 juta euro dalam bentuk instrumen keuangan Islam. Di tahun yang sama, Bank Islam pertama di Inggris di buka yang kini telah memiliki 6 lembaga keuangan termasuk bank ritel.
Meskipun bank-bank Islam terbesar masih terletak di Teluk, seperti Dubai Islamic Bank, Kuwait Finance House dan al Rajhi Bank milik Saudi, namun kota-kota lain seperti di Malaysia dan London sudah mulai bertumbuhan pusat-pusat Perbankan Islam.
Lembaga keuangan Islam memang tidak kebal terhadap hal-hal yang sama yang menimpa bank lain, seperti tuduhan korupsi dan investasi yang ceroboh. Penafsiran yang berbeda di kalangan ulama tentang apa yang boleh dan tidak boleh juga menimbulkan kebingungan. Pasar Sukuk, yang melonjak dua kali lipat tiap tahun sejak 2004 hingga tumbuh menjadi 90 bilyun dolar dari jumlah sukuk yang dikeluarkan, sempat anjlok 50% di tahun ini sejak para ulama di Bahrain telah menyatakan bahwa mayoritas sukuk tersebut tidak sesuai dengan Syariah.
Namun ketika kebanyakan bank menolak permohonan pinjaman di saat-saat kritis seperti sekarang, lembaga keuangan Islam justru meneruskan transaksinya tanpa hambatan di Eropa, Teluk, dan AS, seperti dikatakan para Bankir. “Bank-bank konvensional merasa lebih aman dan nyaman untuk bertransaksi dengan kami karena kami menuntut down-payment (DP) yang lebih banyak. Kami tidak dibolehkan untuk meminjam dengan DP yang sedikit,” kata Tariq Malhance, bekas koordinator keuangan di kota Chicago yang kini mengepalai Unicorn Investment Bank cabang AS.
Mereka yang selama ini bertrasanksi dengan Perbankan Islam kini merasa mendapatkan pembenaran “Keambrukan finansial saat ini adalah kesempatan. Sisi buruk dari Wall Street telah terungkap; suatu sisi yang sudah lama ada tapi selalu tertutup oleh kemilau glamor yang kini telah hilang,” kata Faisal.
“Kita selalu bersikap konservatif dan hati-hati dalam strategi penanaman modal. Hal ini dulu memang dianggap kecacatan. Tapi, siapa sangka, sekarang justru terbukti menjadi contoh yang bijak.” (Terjemahan Rusydan)
nb : tulisan diatas bukan mencerminkan pandangan Hizbut Tahrir
Ingat bank Syariah bukan lembaga yang lahir dari produk orisinil ekonomi Islam. Ada berbagai permasalahan Syara’ secara konspetual apalagi praktiknya.
Tabungan mudharabah misalnya. Mudharabah merupakan satu bentuk syirkah dalam Islam. Bisa anda bayangkan jika salah satu anggota syirkahnya (maksudnya shahibul mal) menarik modal dari perseroan? Maka aqad syirkahnya batal, dan jika ingin dilanjutkan dengan para persero yang tersisa, harus dibikin lagi aqad syirkah yang baru. Lalu bagaimana dengan tabungan mudharabah di mana setiap nasabah dapat menarik dananya kapan saja melalui berbagai sarana penarikan (seperti ATM atau lewat bank langsung)? Apakah ini yang disebut mudharabah dalam Islam? Lalu disebut apa bagi hasil yang diperoleh nasabah pemilik tabungan (yang ukurannya sering mengikuti tingkat suku bunga).
Di berbagai daerah juga ada keluhan nasabah yang menilai pembiayaan bank syariah lebih mencekik dibandingkan kredit bank konvensional. Bahkan tidak jarang keuntungan yang harus dibagi untuk bank ditetapkan di depan nominalnya. Ini sama saja praktik riba.
Soal krisis yang menerpa bank syariah tidak sedasyat bank konvensional, itu hanyalah karena masalah size bank syariah saja yang belum besar sehingga beban masalahnya belum terlalu siknifikan. Jika sekarang mulai banyak berdiri bank syariah atau unit syariah, ini sebagian besar karena masalah perluasan pasar saja bagi para pemilik bank konvensional.
Saya mengingatkan para aktivis, agar berhati-hati menawarkan bank syariah sebagai model solusi atas krisis ekonomi dan keuangan!!!
Wassalam
Hidayatullah
Saya setuju dengan Ust. Hidayatullah. Artikel ini terlalu banyak kelemahannya. Sebaiknya HTI tidak memuat artikel seperti ini karena dikhawatirkan akan terjadi salah paham: oo… seperti ini toh konsep-konsep perbankan syariah yang ingin ditawarkan HTI. Padahal kan tidak.
Wassalam.
Sempat terpesona juga saya baca artikel di atas tapi setelah membaca komentar ustadz Hidayatullah saya jadi tersadar. Syukron Ustadz. Jazakallah Khairan Katsiron.
aslmk redaktur
catatan dari penterjemah
masukan2 dari ustad abdullah memang benar. dan terima kasih kepada redaksi yang menambah catatan dibawah bahwa ini bukan pendapat HTI. Saya tertarik untuk menerjemahkan artikel ini untuk menampilkan opini2 yang bergembang di kalangan Pers Barat sendiri, terutama di pers pembentuk opini seperti Washington Post. Ini mirip dengan penerjemahan artikel dari lembaga peneliti AS yang memprediksikan akan lahirnya Khilafah di tahun 2020. Tentu “Khilafah” yang mereka maksud belum tentu sama dengan yang HT/HTI maksud. Dalam penerjemahan ini saya berusaha semaksimalkan seakurat mungkin dan tidak ada tendensi untuk menjadikannya sebagai opini HTI. Minimal sudah ada awareness di kalangan Barat akan adanya alternatif. Nah, disinilah tugas pengemban dakwah untuk mengawal konsep Ekonomi Islam yang benar, agar jangan sampai dibajak oleh Barat dengan mendefinisikannya sesuai dengan standard mereka (dalam hal ini sebagai sekedar perpanjangan tangan bank konvensional untuk mencapai pasar umat muslim yang dananya masih belum terjamah).
Namun apabila justru akan menimbulkan kebingungan, saya tidak keberatan untuk meletakkan terjemahan ini rubrik “Berita Luar Negeri” atau kalau memang justru membuat kemudaratan yang lebih besar, silakan dihapus.
Baaraka ALLAH feek,
Rusjdan Abu Duha
Saya cenderung kepada pendapatnya Ust. Hidayatullah. Memang benar harus selalu ada kewaspadaan terhadap produk apapun, walau berlabel Syariah. Kepada HTI dimohon lebih selektif memuat artikel.
Para pembaca termasuk para aktivis tentu akan sangat terbantu dengan adanya terjemahan berita/artikel yang mencerminkan perkembangan dan persepsi di Barat. Ini sangat membantu untuk memahami konstalasi politik ekonomi global yang masih berada di tangan Barat, termasuk yang diterjemahkan oleh saudara Rusjdan.
Namun untuk mencegah mispersepsi, redaksi perlu menempatkan terjemahan artikel berdasarkan katagori rubrik yang tepat. Seperti artikel ini ditempatkan pada katagori Berita Luar Negeri. Bukan rubrik Analisis (walaupun isinya adalah analisis). Karena ini ditaruh dalam rubrik analisis, sedangkan analisis tulisan Faiza Saleh memiliki opini tersendiri yang tentu saja berbeda sekali dengan misi yang diemban HT. Makanya orang bisa mengira HT setuju dengan pendapat ini (karena ini situs resmi HTI).
Terlepas dari ada tidaknya tulisan ini, saya melihat ada konsep-konsep yang tidak Islami yang diangkat seperti istilah NASIONALISASI ketika menentang kebijakan pemerintah menaikan harga BBM pada bulan Mei lalu. Saya juga melihat VCD Halqah Islam & Peradaban yang mengangkat topik “Keruntuhan Kapitalisme”. Dalam VCD tersebut, juga disebutkan keunggulan bank syariah dibandingkan bank konvensional dalam menghadapi krisis, dan seolah-olah terjadi klaim bahwa bank syariah merupakan produk Syariah.
Tolong agar jangan menggunakan istilah-istilah atau persepsi-persepsi yang berbeda (bertentangan) dengan yang diadopsi oleh Hizb dalam pertarungan ide maupun dalam merebut hati umat.
Salam,
Hidayatullah
NB: Tuk Mas Rusjdan, terus berkarya dalam menterjemahkan artikel/berita bagus baik perspektif Hizb maupun Barat.
betul betul betul
i agree with Mr. Hidayatullah, saya saja hampir mempunyai pikiran seperti artikel tersebut. jazakumullah khair atas masukkannya Pak.
Alhamdulillah bisa clear…
Ini mau tambah testi aja…
Klo saya pernah diskusi dengan salah seorang kepala departemen sebuah Perguruan Tinggi ternama di Indonesia, beliau mengatakan bahwa… “Perbedaan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional adalah klo Bank Konvensional itu bisa diibaratkan laki2, maka Bank Syariah itu ya perempuannya…
Alias sama-sama wujudnya manusia. Dalam istilah lain, beliau mengatakan tidak ada bedanya… ehm, cuma diembel2i Syariah…
Makanya buat para pengemban dakwah ideologis yang ngaku tau dan dianggap tau bagaimana sistem ekonomi Islam sebenarnya diminta untuk lebih aktif, proaktif dan percaya diri dalam menjelaskan apa2 yang diyakininya kepada orang banyak…” InsyaAllah kuranglebih kata beliau begitu…
Sangat objektif, kritis, dan membangun…
Terima kasih
Salam
[Komunitas Pemikir]
assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,.
mohon maaf, setelah membaca comment dari bapak Hidayatullah dkk yang tidak setuju serta mengkritik Perbankan Syariah bukan sebagai solusi krisis ekonomi saat ini, saya benar – benar tidak sependapat. Semua yang dituduhkan pada Bank Syariah seperti yang dikatakan dalam comment tersebut tidaklah semuanya benar. Jika ingin menjustifikasi sesuatau hendaknyalah melihat kedalamnya dahulu secara langsung. Bukan sekadar prasangka. Bahwa bank syariah saat ini tidaklah syariah mungkin saja benar, tapi tidak 100% salah. Bank syariah saat ini belum syariah dikarenakan masih belum adanya ahli perbankan yang juga menguasai ekonomi Islam. Niatan untuk menegakkan Syariah Islam seharusnya didukung oleh umat Islam sendiri..
Jika Ekonomi Islam bukan solusi atas ekonomi kapitalis yang turun tahta saat ini, maka apa yang lebih baik?? Tidak ada jawabnya. Saya hanya mengingatkan bahwa untuk menjustifikasi sesuatu hal harus tahu ilmunya terlebih dahulu, khususnya bukan hanya ilmu fiqh, tetapi juga ekonomi (dalam hal ini)agar tidak terjadi penuduhan yang berlebihan. Wabillahittaufiq walhidayah, wassalamu alaikum
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Perkenalkan saya Choirul ZM…
Saya karyawan di salah satu bank syariah terkenal di Indonesia, negeri yang kita cintai ini.Sebelumnya saya bekerja di bank konvensional swasta terkenal di Indonesia juga……
memang benar apa yang dikatakan akh. Hidayatullah diatas.
Praktik Perbankan Syariah di Indonesia, atau bahkan di dunia memang belum 100% syariah…
Tahukah antum semuanya kenapa??????????????
Solusi dari saya :
Masalah keuangan dan sekitarnya harus dibawah kendali negara. Jika tidak, maka antek kapitalis berlabel syariah akan tetap merajalela…..
semuanya yang berhubungan dengan keuangan harus dikawal n diambil alih oleh negara, yaitu Khilafah Islamiyah….
Masalah teknis operasionalnya mudah..sangat mudah…
Cuma sulit diterapkan karena antek kapitalis berbaju syariah akan menghadang dengan segala cara…..
Untuk itu kita mulai dari lingkup yang paling kecil dulu. Ormas2 Islam harus bergerak, jangan debat kusir masalah furu’iyah saja….
Ekonomi umat lagi kacau bos..diserang bajingan kapitalis berbaju syariah…
Perjuangan masih panjang dan kita harus melakukan percepatan!!!!! sekali lagi…. percepatan!!!!
Mari lawan sampai tetes darah terakhir!!!!!!
Wassalaam Wr. Wb.
CHOIRUL ZM (Alumni Statistika ITS Surabaya)