Setelah mengkaji secara mendalam Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) yang sekarang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat, Muhammadiyah dan puluhan Ormas yang tergabung dalam Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI) menyampaikan tujuh alasan penolakannya, Kamis (4/4) di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Pertama, RUU Ormas tidak urgen. “Akan lebih baik jika pemerintah dan DPR lebih fokus menyelesaikan RUU yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat, RUU Migas misalnya,” ungkap Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin membacakan pernyataan sikap KAMSI.
Kedua, RUU Ormas alat represi rezim. Karena memberikan otoritas yang terlalu kuat kepada pemerintah dan membuka jalan bagi kembalinya rezim pemerintahan represif dan menindas kelompok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
“Hal ini terlihat dalam Pasal 62 yang menyebutkan pemerintah dan pemda dapat memberikan sanksi dan membekukan Ormas tanpa proses peradilan,” ungkap Din.
Ketiga, RUU Ormas anti kemajemukan. Karena memiliki tendensi kuat yang mengarah pada penyeragaman dan potensial menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. “Hal ini terlihat dari rumusan Pasal 2 dan 3 tentang asas yang mengarah pada asas tunggal Pancasila,” bebernya.
Keempat, RUU Ormas inkonstitusional. Karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28. “Memasung kebebasan berserikat sebagaimana sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 2, 7 dan dan aturan administratif lain yang sangat menyulitkan Ormas,” tegas Din.
Kelima, RUU Ormas diskriminatif sekaligus egois. Karena hanya diberlakukan bagi Ormas yang tidak merupakan underbow partai politik. “Ormas-Ormas sayap partai politik sama sekali tidak diatur di dalam RUU Ormas ini seperti yang ditegaskan Pasal 16 huruf f,” ujarnya.
Keenam, RUU Ormas disharmoni. Karena Pasal 11 RUU Ormas berbenturan dengan Pasal 18 Ayat 2 huruf b UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. “Keduanya saling melengkapi untuk menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dibekukan,” kata Din.
Ketujuh, RUU Ormas ‘membubarkan’ Ormas-Ormas Perkumpulan. Karena Pasal 86 menyebutkan akan mencabut keberadaan Staatsblad 1870 No 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen).
Konsekuensi logisnya Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persatuan Ummat Islam (PUI) dan lainnya akan bubar dan hilang status hukumnya.
“Keharusan mendaftar kembali dan menyesuaikan dengan undang-undang baru ini adalah ahistoris, tidak arif dan menunjukkan sikap otoriter!” pungkas Din.
Adapun Ormas yang tergabung dalam KAMSI dan menandatangani penolakan RUU Ormas tersebut adalah Muhammadiyah; PB Al Washliyah; Setara Institut; PGI; KWI; BMOIWI; PUI; Al Ittihadiyah; BKSPPI; KAHMI; DDII; PP Aisyiyah; DPP MDI; PB Tarbiyah; Imparsial; HRWG; FMKI; Yappika; dan PP Parmusi. (mediaumat.com, 5/4)