Gejolak komoditas pertanian, seharusnya bisa dihindari. Sebab dua komoditas tersebut, petani di Indonesia mampu menghasilkan dengan baik.
Masyarakat seperti tidak henti-hentinya harus menerima beban berat biaya hidup, termasuk untuk membeli bahan pangan. Setelah gejolak kedelai, lalu disusul melonjaknya harga daging. Belum selesai dengan ‘sengatan aroma’ bawang merah dan putih, rakyat kembali harus berhadapan dengan ‘pedasnya’ harga cabe.
Kenaikan komoditas pertanian tersebut sudah pasti makin menguras kocek ibu rumah tangga. Bahkan yang sangat disayangkan, pemerintah justru tidak siap mengantisipasi persoalan tersebut.
Untuk kasus kedelai dan bawang putih memang berbeda. Kedua komoditas tersebut Indonesia belum mampu memenuhi 100 persen kebutuhan dalam negeri. Meski sebenarnya Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai pada Tahun 2009. Sedangkan bawang putih, kondisi lahan dan iklim di Indonesia hanya segelintir yang cocok untuk komoditas tersebut.
Begitu juga dengan daging, meski pemerintah mengklaim populasi sapi di Indonesia mampu mencukupi kebutuhan. Persoalannya, ternak sapi bagi rakyat bukan sebagai usaha bisnis, tapi sekadar ‘tabungan’, sehingga baru akan dijual ketika perlu. Karena itu sulit mengharapkan pasokan akan bisa kontinyu sepanjang tahun. Kecuali jika pemerintah mengubah manajemen ternak sapi rakyat.
Tapi gejolak komoditas pertanian, terutama bawang merah dan cabe seharusnya bisa dihindari. Sebab dua komoditas tersebut, petani di Indonesia mampu menghasilkan dengan baik. Siklus produksi bawang merah dan cabe sepanjang tahun juga sudah bisa ditebak.
Kasus bawang dan cabe sebenarnya sama. Pada triwulan I produksinya hanya sekitar 20 persen, triwulan II dan III naik menjadi 60 persen dan triwulan IV turun kembali menjadi 20 persen. Pada triwulan I dan IV saat musim hujan, petani memang mengurangi penanaman cabe untuk mengurangi risiko gagal panen.
Direktur Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Hasanuddin Ibrahim mengakui, fenomena lonjakan harga cabe yang terjadi tahun ini memang perlu dicermati. Utamanya, untuk enam varian cabe yakni, cabe rawit (hijau dan merah), cabe keriting (hijau dan merah), cabe besar (hijau dan merah).
Saat ini, katanya, yang mengalami lonjakan hanya jenis cabe rawit merah yang pangsa pasarnya hanya 10 persen. Sedangkan cabe keriting dan cabe besar untuk industri yang pangsa pasarnya 80 persen relatif stabil.
Kasus kenaikan harga cabe rawit merah pada awal tahun 2013 ini, menurut Hasanuddin, karena petani lebih banyak menanam cabe keriting, cabe besar, dan cabe rawit hijau yang harganya murah. Itupun sebagai tanaman sambilan. “Karena memasuki musim hujan banyak petani memperkecil luas tanam untuk mengurangi resiko.”
Hasanuddin mengakui, Indonesia mampu memproduksi semua jenis cabe sepanjang tahun, sehingga tidak terjadi gejolak harga saat musim hujan. Apalagi sudah ada teknologi sederhana bertanam cabai di musim hujan yang cukup aman dan dapat mempertahankan pendapatan petani.
Teknologi tersebut antara lain dengan menggunakan shading net, plastik Ultra Violet, pembuatan drainase lebih dalam, pengembangan musuh alami, dan penggunaan benih cabe varietas yang tahan hujan. Strategi lain guna mencegah gejolak harga adalah dengan benih unggul (unik, produktif, tahan hujan dan tahan hama penyakit) agar pertanaman saat musim hujan bisa diperluas.
“Pemerintah juga berupaya mencari lahan baru yang tidak terlalu banyak hambatannya saat musim hujan. Termasuk, memperluas areal tanaman cabai di sentra-sentra baru di luar Jawa,” tutur Hasanuddin.
Sayangnya teknologi tersebut terkesan sebatas di atas kertas. Petani tetap saja dengan caranya sendiri bertanam cabe. [] Joe Lian