Negeriku Dalam Penjara SPBU

Oleh: Hasan Husein, Aktivis Kajian Sosial, tinggal di Pangkalan Bun

Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau disingkat dengan SPBU merupakan fasilitas publik yang biasa biasa saja. Namun, kini statusnya menjadi luar biasa tatkala masyarakat semakin sulit memperoleh BBM bersubsidi karena ulah para pelangsir. Alhasil, SPBU tak lagi sekedar arena pertarungan kepentingan ekonomi antara pelangsir versus masyarakat.

Lebih dari itu. Keberadaan SPBU sudah menjelma menjadi simbol kekuasaan, penegakan hukum dan  kepentingan politik berbagai pihak yang tak rela kehilangan ceruk bisnis BBM.

Dalam pandangan penulis, keberadaan SPBU merupakan cerminan karut marut negeri kita yang bernama Indonesia. Pertama, di SPBU tergambar dominasi kekuasaan para penguasa. Ada hak hak istimewa yang hanya dimiliki segelintir pihak dan tidak berlaku bagi masyarakat umum. Meski tidak tertulis, secara faktual siapapun sering menyaksikan bagaimana dengan santai dan tanpa rasa malu sejumlah oknum dari instansi tertentu dapat langsung mengisi BBM di SPBU tanpa harus antre. Tak peduli dan kehilangan empati terhadap masyarakat termasuk pelangsir yang harus antre panjang di bawah tikaman terik matahari.

Kedua, di SPBU kita bisa melihat pedang hukum yang tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Suatu hari, ketika sedang antre di SPBU, penulis dikejutkan oleh razia mendadak yang dilakukan aparat keamanan. Sontak, para pelangsir langsung kocar kacir menyelamatkan diri. Penulis berpikir, kalau terhadap wong cilik aparat bisa tegas, seharusnya sikap yang sama juga ditunjukkan terhadap pelanggaran hukum dan perampasan hak hak publik dalam bentuk korupsi oleh para oknum pejabat. Sebab, penderitaan yang harus ditanggung rakyat karena korupsi tak kalah mengenaskan jika dibandingkan dengan sulitnya masyarakat mendapat BBM bersubsidi.

Tak sedikit masyarakat yang menjadi korban kecelakaan karena jalan yang berlubang. Padahal, jalan tersebut baru saja diaspal. Masih banyak para siswa terpaksa belajar dalam kondisi bangunan sekolah beserta fasilitas pendukung yang tak layak meski baru saja direnovasi. Itu belum termasuk kerugian di bidang  kesehatan, layanan publik dan lain lain yang semuanya bermuara pada praktik korupsi. Ironisnya, penegakan hukum terhadap oknum pejabat  atau mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan berjalan lamban dan tebang pilih.

Kita patut bertanya, terhadap berbagai temuan BPK, putusan pengadilan dan indikasi korupsi yang sudah terang benderang di Kalteng, apa yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian ? Dan satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa para pelangsir bukanlah koruptor karena mereka membeli BBM bahkan harus membayar dengan harga yang lebih tinggi sebagai fee kepada oknum petugas SPBU. Mereka juga termasuk disiplin karena selalu antre ketika mengisi BBM dan tidak pernah menyerobot seperti yang dilakukan oleh para oknum dari instansi tertentu. Kesalahan para pelangsir cuma satu karena antrean yang ditimbulkan terlalu panjang dan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan BBM bersubsidi.

Ketiga, pendekatan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah bersama aparat terhadap para pelangsir menunjukkan kesalahan dalam mengidentifikasi akar masalah.

Bagi yang melihat dari sisi permukaan  akan dengan mudah menjadikan para pelangsir sebagai kambing hitam. Menurut mereka, salah satu solusi adalah dengan menghapus disparitas harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi. Padahal, konsekuensi dari penghapusan subsidi, akan menjadikan harga BBM meroket  tajam dan menambah beban ekonomi masyarakat.

Fenomena membludaknya para pelangsir bukanlah sebab melainkan sebagai akibat dari sejumlah persoalan mendasar yang  tidak tuntas. Jika diurai, persoalan mendasar para pelangsir setidaknya dipicu oleh dua hal. Pertama, kegagalan pemerintah dari pusat hingga daerah dalam menggerakan ekonomi berbasis kerakyatan. Selama ini, program ekonomi kerakyatan baru sebatas slogan tanpa pembuktian termasuk di Kalteng dan Kobar pada khususnya.

Kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah tetap dalam kerangka ekonomi kapitalis yakni bertumpu pada swastanisasi / privatisasi sumber daya alam dalam jumlah besar seperti tambang dan perkebunan. Bahkan, dalam era otonomi, muncul tren para kepala daerah semakin gemar melakukan praktik jual beli izin usaha kepada para pengusaha besar untuk mencari keuntungan materi sebagai modal politik. Wajar saja, sebab ongkos pemilu dalam demokrasi terbilang mahal dan tidak sepadan dengan gaji serta tunjangan si kepala daerah selama lima tahun memimpin. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu kasus tumpang tindih lahan dan menjamurnya praktik korupsi di pemerintahan.

Pada sisi lain, belum ada upaya konkret untuk melindungi ekonomi tradisional dengan membiarkan tumbuhnya pasar pasar modern seperti mall dan supermarket termasuk. Kalaupun ada, pembinaan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan justru banyak dilakukan oleh lembaga lembaga nonpemerintah seperti sekolah, yayasan dan swasta. Dalam situasi semacam ini, masyarakat minim motivasi dan tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan sektor wirausaha berbasis kerakyatan. Pada akhirnya, masyarakat hanya berharap pada tetesan ekonomi dalam bentuk lapangan pekerjaan yang terbatas dari para pemodal besar yang membuka usahanya. Bagi golongan terpelajar/intelektual,  kebanyakan berharap pada lowongan CPNS yang jumlahnya terbatas. Dan di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit, masyarakat akan cenderung mencari profesi yang praktis dan mudah dilakoni, yakni MENJADI PELANGSIR.

Faktor kedua, adanya pembiaran terhadap oknum-oknum tertentu yang melakukan penyimpangan BBM bersubsidi termasuk menampung BBM dari para pelangsir. Sehingga, selama ada permintaan, maka selama itu juga para pelangsir tidak akan hilang dari SPBU.

Seperti kata pepatah, razia yang dilakukan aparat pada akhirnya seperti menggarami air laut. Sia sia karena tidak menyentuh oknum oknum di level atas yang turut terlibat dan menjadi otak  penyimpangan distribusi BBM bersubsidi. Sayangnya, yang harus menanggung sumpah serapah dari bencana BBM adalah wong cilik. Inilah nasib rakyat kecil ketika hidup dibawah sistem ekonomi kapitalis dan politik demokrasi yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Rakyat harus menangung derita oleh kebijakan yang pro pengusaha dan  pemimpin yang tidak amanah. Sudah saatnya masyarakat khususnya umat Islam sadar dan menyandarkan harapan kepada pemimpin yang amanah, sistem yang memberi keadilan hukum dan kesejahteraan bagi semua. Itulah seorang Khalifah (kepala negara Islam) yang menerapkan Syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Insya Allah. (Harian Borneonews, 8/4/2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*