Bahaya Kekerasan Komunal di Myanmar

Oleh: Jim Della Giacoma

Seminggu belakangan ini, Myanmar didera kekerasan komunal. Kali ini di jantung negeri dimana peristiwa terburuk terjadi di kota Meiktila yang terletak antara Mandalay dan ibukota Naypitaw. Awalnya sebuah perkelahian di toko emas, pertikaian ini kemudian meluas menjadi bentrok antara komunitas Budha dengan Muslim. Korbannya tak main-main. Menurut versi pemerintah, hampir 50 orang tewas dan tak kurang dari 10,000 terpaksa mengungsi. Sementara itu, perkiraan sumber lain menyebut bahwa korban melebihi estimasi pemerintah.

Seperti bentrokan sebelumnya, komunitas Muslim menderita paling banyak. Lebih dari tiga-perempat pengungsi beragama Islam. Sebagian rumah mereka hancur lebur dan sejumlah masjid serta madrasah hangus dibakar. Walau keadaan darurat telah berlaku dan keberadaan pasukan keamanan telah menenangkan suasana, para pengungsi mungkin butuh berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk dapat membangun rumah dan kehidupan mereka kembali. Mereka yang sudah kehilangan segalanya ini kini ada dalam ketakutan akan serangan berikutnya sehingga tidak dapat dipastikan kapan mereka mampu atau mau kembali ke kampungnya.

Meskipun komunitas-komunitas itu sudah hidup berdampingan secara turun temurun di Meiktila, namun hubungan antara komunitas ini kerap diliput ketegangan dan perselisihan. Berkali-kali bentrokan diantara mereka terjadi. Salah satu bentrokan keras antara orang Buddha dan Islam terjadi pada 2001 sebagai respons dari penghancuran patung Buddha di Bamiyan, Afghanistan oleh kelompok Taliban dan dipicu oleh biksu-biksu Myanmar yang menyerukan pembakaran masjid sebagai balasannya. Kerusuhan besar juga terjadi di dasawarsa 1930an dan 1960an. Di samping itu, ada beberapa kejadian bentrokan kecil lainnya.

Ada banyak spekulasi tentang latar belakang kejadian baru-baru ini. Terdapat banyak kesaksian yang kontradiktif. Sebagian ada yang bilang pelakunya tak dikenal dan berasal dari luar komunitas setempat. Sebagian yang lain mengatakan bahwa para tetangga mereka terlibat dalam penyerangan-penyerangan. Tapi yang jelas ada agen-agen provokator yang membawa sentimen anti-Muslim di negeri itu, termasuk biksu-biksu berpengaruh yang menyerukan intoleransi dan kebencian terhadap orang Islam.

Terlebih, cara yang demikian sistematis dan metodis yang dipakai dalam membumi hanguskan lingkungan Muslim mengisyaratkan adanya perencanaan tingkat tinggi oleh elemen-elemen radikal ini. Pada saat yang sama, terdapat sedikit bukti untuk mendukung tuduhan bahwa kekerasan ini dirancang untuk memperkuat agenda kelompok garis keras yang tidak senang dengan gerakan reformasi yang tengah bergelora di negeri itu.

Memang, bukanlah hal aneh bagi negara-negara yang baru meninggalkan pemerintahan otoriter untuk mengalami pergolakan antar kelompok masyarakat. Semenjak kekerasan di negara bagian Rakhine tahun lalu, International Crisis Group memberi peringatan akan resiko bentrokan antara orang Buddha dan Islam meluas ke wilayah lain dari negeri dimana orang Islam itu minoritas. Artikel blog sebelumnya telah membuat perbandingan dan menawarkan pelajaran bagi Myanmar yang diambil dari dua Perjanjian Damai Malino yang mengakhiri konflik Poso pada tahun 2001 dan Ambon pada tahun 2002.

Ada resiko besar kekerasan seperti ini akan terus meluas. Telah terjadi beberapa kejadian senada di kota-kota dekat Meiktila dan tempat lain seantero Myanmar walau belum ada yang semematikan. Ada kepanikan dan begitu banyak isu yang menerjang Yangon, pusat perekonomian negeri, namun kekerasan yang serius belum terjadi. Apabila kekerasan benar-benar terus menjalar, hal ini akan berdampak besar bagi Myanmar. Konflik ini akan merobek keutuhan sosial Myanmar hingga sulit untuk diperbaiki kembali. Tak hanya itu, hal ini juga bisa merusak proses transisi yang tengah berlangsung karena perhatian pemerintah akan tergeser dari reformasi politik, ekonomi dan pembangunan perdamaian. Terlebih, ini akan melunturkan kepercayaan domestik dan internasional akan masa depan negeri ini.

Apa yang bisa dilakukan? Memulihkan suasana dan mengurangi peluang terjadinya kekerasan di masa depan mesti dilakukan dengan menitikberatkan pada tiga sendi.

1. Pemerintah Myanmar harus melakukan lebih banyak upaya dalam menuntaskan permasalahan yang ada. Demi mencegah kekerasan lanjutan, para pelaku harus diproses secara hukum dengan cepat dan nyata. Karena aparat kecolongan dalam peristiwa Meiktila, maka petugas dan pejabat kini harus lebih siap mengatasi pola-pola penyerangan orang Buddha terhadap warga Muslim. Polisi perlu lebih cepat tanggap dan tegas. Kejadian-kejadian ini memperlihatkan bagaimana polisi tak memiliki kapasitas respons secara efektif karena kurang latihan atau rules of engagement, karena mereka mayoritas Buddha sehingga berpihak dan karena ketiadaan perpolisian masyarakat yang dapat memberi intelijen yang dibutuhkan sebagai peringatan dini.

2. Pemimpin agama Buddha harus lantang menyerukan pesan-pesan perdamaian. Terutama, pimpinan Sangha Buddha perlu proaktif membina biksu-biksu yang sering mengeluarkan ucapan intoleran. Mereka juga terkadang memasukkan alasan-alasan pembenaran yang diskriminatif di dalam seruan-seruan perdamaiannya. Seharusnya tidak boleh ada ruang untuk moralitas yang ambigu di saat darah telah bersimbah.

3. Sekarang adalah waktunya untuk pemimpin politik untuk menjawab tantangan dalam membentuk opini publik, bukannya mengekor saja. Aung San Suu Kyi, pemilik suara paling berpengaruh secara politik dan moral di negeri itu, perlu bersiap untuk lebih keras menyerukan perdamaian. Jauh lebih keras dari apa yang dia ingin lakukan sekarang. Dia berjanji tidak akan memihak dalam konflik komunal ini namun dia harus siap berpihak secara vokal dan tegas pada perdamaian dan toleransi.

Jim Della Giacoma adalah Southeast Asia Project Director, International Crisis Group

(kompas.com, 9/4)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*