Oleh : Glenn Greenwald
Sebagaimana biasa, segera muncul tuduhan yang menyalahkan umat Islam, dan eksploitasi ketakutan langsung terlihat
Tidak ada banyak hal yang bisa dikatakan tentang serangan Boston hari Senin Marathon karena hampir tidak ada bukti yang diketahui tentang siapa yang melakukannya atau mengapa. Namun demikian, beberapa poin dibuat tentang bagaimana reaksi luas terhadap insiden ini:
(1) Perasaan belas kasihan yang luas terhadap para korban kemarin maupun kemarahan atas serangan itu jelas suatu hal yang otentik. Tapi benar-benar sulit untuk menemukan seseorang bisa berharap bahwa hanya sebagian kecil perasaan kasih sayang dan kemarahan yang ditujukan atas serangan itu. Serangan ini adalah sama mengerikannya sebagaimana serangan yang dilakukan AS terhadap penduduk sipil di negara-negara Muslim yang dilakukan berulang-ulang selama sepuluh tahun terakhir. Rekan saya di Guardian, Gary Younge, menulis pada Twitternya pagi ini:
“Juan Cole pagi ini membuat suatu poin kesamaan tentang kekerasan di tempat lain. Memang, baru kemarin di Irak, setidaknya 42 orang tewas dan lebih dari 250 terluka oleh serangkaian bom mobil, yang merupakan akibat abadi dari invasi AS dan penghancuran negara itu. Entah bagaimana kasih sayang dan kemarahan yang mendalam dirasakan di AS ketika mereka diserang, diterjemahkan untuk bisa memahami efek dari agresi kita sendiri terhadap negeri-negeri lain.”
Salah satu contoh yang sangat ilustratif yang kebetulan saya lihat kemarin adalah suatu retweet dari kolumnis Washington Examiner David Freddoso, yang menyatakan: “Ide bom kedua yang dirancang untuk membunuh orang-orang yang menolong dari bom pertama jelas menyakitkan. Bagaimana seseorang menjadi sejahat itu? “
Saya tidak setuju dengan sentimen itu. Tapi saya berani bertaruh bahwa orang yang mengatakan itu – dan sebagian besar orang Amerika lainnya – tidak tahu bahwa penargetan para penyelamat dengan serangan dengan “jebakan ganda” justru adalah apa yang AS sekarang lakukan dengan program dronenya dan bentuk-bentuk militerisme lainnya. Jika kebanyakan orang Amerika tahu bahwa pemerintah dan militer mereka melakukan hal ini, mereka akan bereaksi dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap serangan Boston kemarin: “Ide bom kedua yang dirancang untuk membunuh orang-orang yang menolong dari bom pertama jelas menyakitkan. Bagaimana seseorang menjadi sejahat itu? ” Itulah intinya.
Tidak ada yang salah dengan memberikan perhatian yang lebih terhadap tragedi dan kekerasan yang terjadi di tempat yang relatif dekat dan di tempat-tempat yang dikenal. Apakah hal itu salah atau tidak, mungkin itulah sifat manusia, atau setidaknya naluri manusia, untuk melakukan hal itu, dan hal itu terjadi di seluruh dunia. Saya tidak mengkritik hal itu. Namun, seseorang berharap bahwa empati bagi para korban dan kemarahan atas berakhirnya kehidupan manusia yang tak berdosa yang langsung muncul ketika AS menjadi target kekerasan senacam itu setidaknya akan diterjemahkan ke dalam keprihatinan yang sama saat AS melakukan hal yang serupa, seperti yang sering dilakukannya (yang sangat jauh lebih sering daripada mereka yang menjadi target kekerasan semacam itu).
Terlepas dari pandangan pembenaran dan niat anda: kemarahan apa pun yang Anda rasakan terhadap pelaku serangan Boston ini, itulah juga kemarahan yang berlanjut dari orang-orang di seluruh dunia terhadap AS karena membunuh orang-orang yang tidak bersalah di negara mereka. Apapun kesedihan yang Anda rasakan bagi para korban kemarin, tingkat kesedihan yang sama juga dibenarkan bagi orang-orang yang tidak bersalah yang hidupnya berakhir oleh bom-bom Amerika. Bagaimanapun dalamnya kerugian yang diderita oleh para orang tua dan anggota keluarga korban, itulah juga kerugian yang sama yang dialami oleh para korban kekerasan AS. Jadi wajar jika perasaan itu tidak akan terasa mendalam ketika para korban berada jauh dan sebagian besar tidak terlihat, tetapi menerapkan reaksi sepertu ini untuk tindakan-tindakan agresi AS akan menjadi jauh lebih baik untuk memahami bagaimana yang mereka rasakan dan akibat yang mereka dapatkan.
(2) Perasaan terburu-buru, seorang bisa mengatakan keinginan, untuk menyimpulkan bahwa para penyerangnya adalah Muslim merupakan hal yang jelas, walaupun tanpa bukti-bukti nyata. The New York Post dengan cepat mengklaim bahwa para tersangka utama adalah seorang warga Saudi (sambil sementara juga secara tidak akurat melaporkan bahwa 12 dikonfirmasi telah tewas). Sindiran dari The New York Post itu juga disarankan di CNN oleh mantan Penasehat Keamanan Dalam Negeri Bush, Fran Townsend (“Kita tahu bahwa ada seorang warga negara Saudi yang terluka di kakinya yang sedang diinterogasi”). Mantan anggota Partai Demokrat Jane Harman melanjutkan apa yang disampaikan CNN dengan terlalu berspekulasi bahwa kelompok-kelompok Muslim berada di balik serangan itu. Anti-Muslim fanatik seperti Pam Geller juga diduga mengumumkan bahwa ini adalah “Jihad di Amerika”. Ekspresi kebencian terhadap umat Islam, dan keinginan untuk melakukan kekerasan, kemudian dimuntahkan seluruhnya dalam Twitter (sebagian mengatakannya dengan sangat tidak bermoral yang merupakan partisan Demokrat yang sama halnya dengan mengatakan bahwa penyerangnya adalah ekstrimis sayap kanan tanpa menunjukkan satu buktipun).
Jelas, bahwa pelaku ternyata mungkin adalah Muslim, seperti juga mungkin adalah aktivis ekstremis sayap kanan, atau penghasut sayap kiri, atau orang-orang yang takut terhadap Muslim seperti Anders-Breivik, atau seorang individu tunggal yang didorong oleh penyakit mental apolitis. Tapi terburu-buru menyatakan bahwa pihak yang bersalah adalah Muslim sudah terlihat khususnya dengan berulangnya peristiwa seperti hal itu. Ingatlah bahwa pada hari di tahun 2011 ketika terjadi pembantaian Oslo oleh seorang ekstrimis sayap kanan, yakni seorang pembenci Muslim, New York Times menghabiskan hampir sepanjang hari dengan menunjukkan dalam headline-nya bahwa kelompok ekstremis Islam lah yang bertanggung jawab, suatu klaim dimana outlet berita-berita utama lainnya (termasuk BBC dan Washington Post) kemudian mengulangnya sebagai suatu fakta. Hal yang sama terjadi tahun 1995 saat pemboman Oklahoma City, ketika sebagian besar media AS menyimpulkan bahwa pelakunya adalah Muslim. Sebagaimana yang disebutkan oleh FAIR:
“Akibat dari ledakan yang menghancurkan Kantor Federal Murrah, media dengan bergegas – dam hampir berbondong-bondong –berasumsi bahwa pemboman itu adalah karya para ekstremis Muslim. ‘Taruhannya di sini adalah pada para teroris Timur Tengah,’ seperti dinyatakan pembawa acara CBS News Jim Stewart hanya beberapa jam setelah ledakan itu (19/4/95). “Fakta bahwa bom seperti itu di Oklahoma City adalah sebuah bom kuat menarik para peneliti untuk menyimpulkan bahwa semuanya berakar di Timur Tengah,’ kata penyiar ABC John McWethy pada hari yang sama.
“‘Pemboman ini memiliki ciri yang sama dari setiap pemboman dengan mobil yang dilakukan oleh Muslim di Timur Tengah,” tulis kolumnis Georgie Anne Geyer (Chicago Tribune, 21/4/95). “Apapun yang kita lakukan untuk menghancurkan terorisme Timur Tengah, ancaman teroris utama terhadap Amerika, belum terselesaikan, “tegas penulis New York Times AM Rosenthal (21/4/95). Kolom Geyer dan Rosenthal ditulis setelah FBI merilis sketsa dua tersangka yang tampak lebih terlihat seperti seorang laki-laki dari Midwestern dari seorang Mujahidin. ”
Pelajaran ini tidak pernah diambil karena, tampaknya, banyak orang tidak mau mempelajarinya. Bahkan ketika ternyata bukan Muslim yang melakukan serangan melainkan seorang ekstrimis Kristen sayap kanan, kulit putih, kerusakan dari hal ini terus terjadi tanpa henti dan tindakan menyalahkan ini terus terjadi.
(3) Seseorang terus menjumpai ekspresi ketakutan dan kekhawatiran dari orang-orang Arab dan Muslim di seluruh dunia bahwa penyerangnya adalah salah satu atau keduanya. Karena mereka tahu bahwa semua anggota kelompok etnis mereka dan agamanya akan disalahkan, atau lebih buruk lagi, jika itu ternyata adalah benar. Hal itu memang terjadi meskipun kelompok Muslim-Amerika terkemuka seperti CAIR dengan keras mengutuk serangan itu (seperti yang mereka selalu lakukan) dan mendesak dukungan bagi para korban, termasuk dengan memberikan donor darah. Satu tweeter, dengan merujuk pada gempa bumi yang melanda Iran pada pagi ini, tertulis dengan satir: “Tolong jangan menjadi seorang Muslim yang melakukan aktivitas gempa tektonik”
Seperti yang bisa dipahami, menyedihkan untuk menyaksikan hal itu. Tidak ada kelompok lain yang bereaksi dengan tingkat rasa takut yang sama atas kejadian seperti ini, karena tidak ada kelompok lain yang memiliki alasan yang sama menakutkan bahwa mereka semua akan dibenci atau menjadi target tindakan isolasi. Sebuah dinamika yang serupa juga telah lama berlaku dalam konteks kejahatan dalam negeri: ketika para pelaku kejahatan terkenal ternyata adalah orang Amerika keturunan Afrika, seluruh anggota masyarakat kelompok itu biasanya membayar secara kolektif. Namun, ketakutan yang beralasan bahwa ratusan juta orang Muslim dan Arab yang taat hukum, cinta damai di seluruh dunia tentang prospek bahwa serangan di Boston ini dilakukan oleh seorang Muslim menyoroti iklim ketakutan yang telah dibuat dan dikenakan pada mereka selama dekade lalu.
(4) Reaksi terhadap serangan Boston ini, sekali lagi, adalah ucapan tanpa makna dari kata “terorisme”. Outlet-outlet berita tampaknya tersinggung ketika Presiden Obama, dalam pernyataan awalnya, tidak menggunakan kata-kata “serangan teroris” untuk menggambarkan pemboman itu. Sebagai tanggapannya, Gedung Putih segera menyampaikan ke media untuk meyakinkan mereka bahwa mereka menganggapnya “terorisme”. Penyiar Fox News Ed Henry mengutip seorang “pejabat senior pemerintah” yang mengatakan: “. Ketika beberapa perangkat (bahan peledak) meledak itu adalah aksi terorisme”
Apakah itu adalah arti “terorisme”? “Ketika beberapa perangkat (bahan peledak) meledak”? Jika demikian, hal itu mencakup banyak hal, termasuk apa yang dilakukan AS di dunia ini secara sangat teratur. Tentu saja, upaya untuk mengetahui apakah ini adalah “terorisme” memiliki kata sandi untuknya: “apakah ini dilakukan oleh umat Islam”? Itu karena, dalam wacana politik AS, “terorisme” tidak memiliki arti nyata selain: kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam terhadap barat. Alasan itu adalah kebingungan dan ketidakpastian tentang apakah “terorisme” itu karena tidak ada definisi yang jelas yang diterapkan secara konsisten dari istilah tersebut. Pada titik ini, hal ini tidak lebih dari sebuah istilah propaganda emosional yang manipulatif. Hal ini telah terbukti secara berulang-ulang, dan itu terjadi lagi kemarin.
(5) Sejarah serangan sejenis ini selama dekade terakhir telah jelas dan konsisten: serangan-serangan itu dieksploitasi untuk mendapatkan kekuatan pemerintahan baru, meningkatkan pengawasan negara, dan merampas kebebasan individu. Pada acara NBC tadi malam dengan Brian Williams, Tom Brokaw mengatakan bahwa ini akan terjadi lagi dan mengajak kita bahwa kita harus tunduk kepadanya tanpa perlawanan:
“Setiap orang harus memahami bahwa malam ini, dimulai besok pagi, akan ada pertimbangan bagi keamanan yang lebih ketat di seluruh negeri, dan betapapun mungkin lelahnya kita dengan hal ini, kita harus belajar untuk hidup dengan mereka, dan tidak membiarkan mereka agar kita berlutut. Anda akan ingat pada musim panas lalu, bagaimana senangnya kita dengan keamanan pada konvensi Partai Demokrat dan Republik. Sekarang saya rasa kita tidak bisa meningkatkan komplain itu setelah apa yang terjadi di Boston. ”
Tadi malam pada acara Chris Hayes di MSNBC, seorang agen FBI membahas fakta bahwa pemerintah AS memiliki hak untuk menahan para tersangka terorisme dan tidak memberikan mereka peringatan Miranda (peringatan Miranda adalah peringatan yang diberikan oleh polisi kepada tersangka kriminal-pent) sebelum menginterogasi mereka. Setelah melihat banyak orang yang mengekspresikan rasa terkejutnya atas klaim ini di Twitter, saya menunjukkan bahwa hal ini terjadi ketika pemerintahan Obama mengeksploitasi percobaan pemboman dengan pakaian dalam di atas Detroit untuk secara radikal mengurangi hak Miranda atas apa yang mereka telah dapatkan selama beberapa dekade. Itulah yang pemerintah AS (yang dibantu oleh “ahli industri terorisme”) lakukan dalam setiap kasus ini: mengeksploitasi rasa takut yang dihasilkan untuk meningkatkan kekuasaanya dan mengurangi hak-hak dan privasi masyarakat.
Di Atlantik, ahli keamanan Bruce Schneier menulis artikel pendek namun menarik tentang bagaimana mendesaknya bahwa kita jangan bereaksi secara irasional atau dengan ketakutan berlebihan terhadap serangan Boston ini, dan bahwa kit harus tetap waspada terhadap upaya pemerintah untuk mengeksploitasi ketakutan untuk memaksakan semua peraturan untuk mengurangi hak-hak masyarakat. Dia mencatat khususnya bagaimana semakin lebih tidak biasanya suatu peristiwa (seperti serangan seperti di dalam negeri AS ini), semakin banyak otak kita secara alami membesar-besarkan dan frekuensi kejadian ini (John Cole juga membuat kesimpulan yang sama).
Singkatnya, bahkan jika pelaku serangan hari Senin di Boston ini termotivasi secara politik dan anti-AS, hal itu akan tetap menjadi peristiwa yang sangat langka, yang menimbulkan jauh lebih sedikit bahaya bagi Amerika daripada ancaman lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Pelajaran yang paling penting dari ekses yang timbul dari serangan 11/9 harus adalah satu: bahwa bahaya berlebihan dan mengalah pada ketakutan yang irasional, jauh lebih besar daripada bahaya lain yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa sejenis ini. (rz, Sumber: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2013/apr/16/boston-marathon-explosions-notes-reactions)