Kewajiban Menyampaikan Peringatan

(Tafsir QS al-Ghasyiyah [88]: 21-26)

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ * لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ * إِلا مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ * فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الأكْبَرَ * إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ *

Berikanlah peringatan karena sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Namun,  orang yang berpaling dan kafir,  Allah akan mengazab dia dengan azab yang besar; Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka. Kemudian Sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka (QS al-A’la [88]: 21-26).

Ayat-ayat ini merupakan bagian akhir dari surat al-Ghasyiyah. Sebelum-nya telah diingatkan kepada siapa pun yang mengingkari Hari Kiamat untuk memperhatikan berbagai tanda kekuasaan Allah SWT di dunia.

Ayat ini kemudian mengingatkan tugas Rasulullah saw. untuk menyampaikan peringatan, ancaman bagi orang berpaling dan ingkar terhadap peringatan itu, serta kepastiaN terjadinya Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Fadzkkir innamâ Anta Mudzakkir (Berikanlah peringatan karena sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan). Rasulullah saw. diperintahkan untuk memberikan peringatan. Dijelaskan an-Nasafi, perintah yang ditujukan kepada Rasulullah saw ini berarti: Berikanlah mereka peringatan dengan berbagai tanda (kekuasaan Allah SWT) itu agar mereka memikirkannya.1

Ibnu Jarir ath-Thabari juga menafsirkan demikian: Wahai Muhammad, berilah mereka peringatan dengan ayat-ayat-Nya, nasihatilah mereka dengan bukti-bukti kebenaran-Ku, dan sampaikan kepada mereka risalah-Ku.2 

Perintah tersebut dipertegas dengan kalimat selanjutnya: Innamâ Anta Mudzakkir (Sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan). Rasululah saw. layak mendapatkan perintah tersebut lantaran itu merupakan tugas dan fungsi beliau; bahwa beliau diutus untuk menjadi pemberi peringatan. Menurut ath-Thabari, pengertian ayat ini: Sesungguhnya Aku mengutus engkau untuk mereka sebagai pemberi peringatan; untuk mengingatkan mereka tentang kenikmatan-Ku kepada mereka, memberitahukan kewajiban mereka dan menasihati mereka.3

Kemudian Allah SWT berfirman: Lasta ‘alayhim  bi mushaytir (Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka). Khithâb ayat ini masih ditujukan kepada Rasulullah saw., yakni tentang perkara yang tidak menjadi tugas dan wewenang beliau. Intinya, beliau bukanlah al-mushaythir atas orang-orang diberi peringatan. Kata al-mushaythir (dengan huruf ash-shadd) berasal dari al-musaytir (dengan huruf as-sîn) berarti al-musallith4 atau al-mutasallith (yang berkuasa).5

Dengan demikian ayat ini menegaskan beliau tidak berkuasa atas mereka. Dikatakan Fakhruddin ar-Razi, ayat ini berarti: Engkau tidak berkuasa atas mereka dan tidak bisa memaksa mereka pada apa yang engkau kehendaki.6 

Bisa pula sebagaimana diterangkan al-Khazin: Engkau tidak berkuasa atas mereka sehingga bisa memaksa mereka untuk beriman.7 

Menurut para mufassir, ayat ini senada dengan firman Allah SWT:

وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِجَبَّارٍ

Kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka (Qaf [50]: 45).8

أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS Yunus [10]: 99).9

Kemudian Allah SWT berfirman: illâ man tawallâ wa kafar (tetapi orang yang berpaling dan kafir). Kata tawallâ dalam ayat ini berarti a’radha (berpaling), yakni, orang yang berpaling dari nasihat dan peringatan.10

Dikatakan Abdurrahman as-Sa’di, kalimat: man tawallâ wa kafar berarti orang yang berpaling dari keimanan, lalu mengingkari ayat-ayat Kami, Rasul Kami dan perjumpaan dengan Kami.11

Huruf illâ merupakan istitsnâ‘. Ada yang memahaminya sebagai istitsnâ‘ muttashil atau istitsnâ‘ haqîqiyy. Artinya, kalimat sesudahnya sesungguhnya termasuk dalam cakupan kalimat sebelumnya. Dengan adanya huruf illâ, maka kalimat sesudahnya dikecualikan. Dengan demikian ayat tersebut bermakna: Berilah mereka peringatan kecuali orang-orang yang berpaling dan ingkar. Bisa juga: Kamu tidak berkuasa atas mereka kecuali orang-orang yang berpaling. Demikian penjelasan ar-Razi.12 

Akan tetapi, kebanyakan mufassir memahami farasa ini sebagai istitsnâ‘ munqathi’. Artinya, kalimat sesudahnya merupakan kalimat baru yang tidak tercakup oleh kalimat sesudahnya. Makna yang dihasilkan darinya bukan kecuali, namun lâkin (tetapi).13

Dengan demikian pengertian ayat ini sebagaimana dijelaskan az-Zamakhsyari adalah: Engkau tidak berkuasa atas mereka. Namun, orang yang berpaling dan ingkar, sesungguhnya milik Allah-lah kekuasaan dan daya paksa.14

Orang-orang yang berpaling dan mengingkari peringatan Rasulullah saw. tersebut diancam dengan siksa yang amat berat. Allah SWT berfirman: Fayuaddzibuhul-Lâh al-‘adzâb al-akbar (Allah akan mengazab dia dengan azab yang besar). Artinya, orang-orang yang berpaling dan ingkar tersebut akan diazab oleh Allah SWT dengan al-‘adzâb al-akbar (siksa yang paling besar). Menurut az-Zamakhsyari, ath-Thabari, dan para mufassir lainnya, yang dimaksud al-‘adzâb al-akbar adalah Neraka Jahanam;15 bisa juga neraka secara umum. Menurut al-Khazin dan mufassir lainnya, siksa neraka itu disebut sebagai al-‘adzâb al-akbar (siksa yang paling besar) karena mereka sebelumnya telah diazab di dunia dengan berbagai azab seperti kelaparan, paceklik, pembunuhan dan penawanan. Dibandingkan dengan semua siksa itu, maka siksa neraka jelas jauh lebih besar.16

Kemudian Allah SWT berfirman: Innâ ilaynâ iyâbahum (Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka). Kata âba – ya’ûbu berarti raja’a (kembali). Menurut al-Qurthubi, asy-Syaukani dan al-Khazin, pengertian kata iyâbahum dalam ayat ini adalah rujû’uhum ba’da al-mawt (kembalinya mereka setelah kematian).17

Dengan demikian ayat ini memastikan bahwa setelah kematian, mereka semua akan dikembalikan kepada Allah. Ini merupakan kepastian yang tidak bisa dielakkan. Penyebutan zharf (yakni frasa ilaynâ, kepada Kami-lah) didahulukan dalam struktur kalimat ayat ini memberikan makna ta’kîd (penegasan). Dikatakan oleh an-Nasafi dan az-Zamakhsyari, struktur kalimat seperti ini berguna untuk memperberat ancaman.18

Kemudian ditegaskan lagi: Tsumma inna ‘alaynâ hisâbahum (Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka). Artinya, mereka bukan sekadar dikembalikan kepada Allah SWT, namun juga akan Dia hisab dan diberi balasan. Sebagaimana dikemukakan Ibnu Katsir, ayat ini berarti: Kami akan mengisab mereka atas amal perbuatan mereka dan membalas mereka. Amal baik dibalas dengan kebaikan. Amal buruk dibalas pula dengan keburukan.19

Dikatakan juga oleh an-Nasafi, ayat ini untuk menegaskan ancaman, bukan kewajiban. Sebab, tidak ada kewajiban apa pun bagi Allah SWT.20

Perintah Memberikan Peringatan dan Ancaman Bagi yang Berpaling

Ayat-ayat memberikan pelajaran amat banyak. Di antaranya adalah: Pertama: perintah memberikan peringatan kepada manusia. Kata: Fadzakkir (Berikanlah peringatan) dalam ayat ini jelas menghasilkan kesimpulan demikian. Selain ayat ini, perintah yang sama disebutkan dalam banyak ayat lainnya (Lihat, misalnya, QS al-A’la [87]: 9).

Perintah tersebut dikukuhkan dengan kalimat berikutnya yang menegaskan bahwa tugas dan fungsi beliau adalah sebagai mudzakkir (pemberi peringatan). Tugas dan fungsi tersebut disebutkan dalam banyak ayat dengan berbagai redaksi yang berbeda. Kata lainnya sejalan adalah sebagai basyîr[an] wa nadzîr[an] (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan) (Lihat, misalnya, QS al-A”raf [7]: 184).

Patut ditegaskan, perintah tersebut tidak hanya berlaku bagi Rasulullah saw., tetapi juga berlaku bagi seluruh umatnya. Sebab, seruan yang ditujukan kepada Rasulullah saw. merupakan seruan bagi umatnya, sebagaimana kaidah: Khithâb ar-Rasûl khithâb li ummatihi (seruan kepada Rasul adalah seruan kepada umatnya). Karena tidak ditemukan dalil yang membatasi bahwa khithâb tersebut berlaku khusus hanya untuk Nabi saw., maka seruan ini beraarti berlaku pula bagi umatnya.

Kedua: tiadanya tanggung jawab bagi pemberi peringatan terhadap orang yang berpaling dan mengingkari. Kewajiban Rasulullah saw. adalah memberikan peringatan dan menyampaikan risalah. Itulah tugas dan fungsi beliau sebagai rasul. Apabila mereka menolak, maka pemberi peringatan tidak dituntut bertanggung jawab. Demikianlah di antara makna yang dihasilkan dari ayat: Lasta ‘alayhim bi mushaythir. Sebagaimana diterangkan para mufassir, ayat tersebut bermakna: lasta ‘alayhim bi musallith (Engkau tidak berkuasa atas mereka) (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 119).

Dalam hal keimanan, Rasulullah saw. dan umat Islam juga tidak dibolehkan memaksa. Sebab, tidak boleh memaksa seseorang untuk masuk Islam (lihat QS al-Baqarah [2]: 256). Memang terdapat perintah untuk memerangi kaum kafir dan munafik seperti disebutkan dalam banyak ayat (seperti QS at-Taubah [9]: 73 dan at-Tahrim [66]: 9).  Akan tetapi, perang diperintahkan ketika kaum kafir itu menjadi penghalang yang nyata bagi sampainya dakwah kepada manusia. Dengan demikian perang wajib dilakukan dalam rangka menghilangkan penghalang yang bersifat fisik. Realitas tersebut terjadi manakala mereka menolak memilih salah satu dari dua seruan: masuk Islam atau menjadi kafir dzimmi. Tatkala menerima salah satunya maka mereka tidak boleh diperangi (lihat QS at-Taubah [9]: 29).

Ketiga: ancaman bagi orang yang berpaling dan ingkar dari peringatan yang disampaikan Rasulullah saw. Dalam ayat ini ditegaskan kepada siapa saja yang: tawallâ wa kafar (berpaling dan ingkar), maka akan diazab Allah SWT; bukan sekadar azab, namun al-‘adzâb al-akbar, azab yang paling besar. Sebagaimana penjelasan para ulama, yang dimaksud dengan al-‘adzâb al-akbar adalah neraka. Mengenai kedahsyatan siksa neraka sudah diberitakan dalam ayat-ayat awal surat ini. Di neraka itu mereka akan dibakar dengan api sangat panas. Mereka diberi minuman dari sumber yang sangat panas. Mereka tidak diberi makanan kecuali dari pohon yang berduri. Bukan hanya tidak bisa menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar, makanan itu justru menambah siksaan atas mereka.

Keempat: kepastian terjadinya Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan. Sudah menjadi kepastian, manusia yang hidup di dunia akan mengalami kematian. Kematian memang mengakhiri kehidupan manusia di dunia. Akan tetapi, kematian bukanlah akhir cerita bagi manusia. Masih ada episode kehidupan yang akan dijalani oleh manusia, yakni kehidupan akhirat. Semua manusia yang pernah hidup akan dibangkitkan lagi pada Hari Kiamat.  Mereka dihidupkan kembali untuk mempertanggungkan amal perbuatan mereka di dunia. Mereka akan diadili dalam pengadilan yang benar-benar adil. Hukumnya adil, hakimnya juga Mahaadil, yakni Allah SWT. Tidak ada satu pun perbuatan terlewat, baik yang besar maupun yang kecil  (lihat al-Kahfi [18]: 49). Semuanya diberi keputusan yang adil dan balasan yang sesuai.

Secara umum, sebagaimana diberitakan di awal surat ini, pengadilan itu menghasilkan dua golongan manusia yang mengalami nasib kontradiktif. Ada golongan manusia yang mendapatkan azab yang amat pedih dan dahsyat di neraka. Itu sebagai balasan atas penolakan dan kekufuran mereka terhadap peringatan rasul-Nya. Golongan lainnya adalah yang memperoleh berbagai kenikmatan tak terhingga di surga. Sebagaimana diterangkan dalam banyak ayat lainnya, balasan kenikmatan itu diberikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Semoga kita termasuk dalam golongan tersebut.

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:

1       an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim aT-Thayyib, 1998), 636.

2       Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 389.

3       Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 389.

4       Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 37; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 208; as-Sa’di, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ilm wa al-Hikam, 2003), 562.

5       Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 745; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 19.

6       Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 146.

7       Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wî wa Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 422.

8       An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol. 3, 363; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 745.

9       Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 146.

10      Ar-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1994), 524.

11      As-Sa’di, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 562.

12      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 146.

13      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 524; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 19; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 308; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 745; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wî wa Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 422; al-Sa’di, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 562.

14      Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 745.

15      Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 745; at-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 391; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15, 208.

16      Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wî wa Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 422. Lihat juga: as-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 524; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 475.

17      Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 38; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 524; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wî wa Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 422.

18      An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 3, 363; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 745.

19      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1999), 380

20      An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 3, 363.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*