Siapapun sepakat, demokrasi adalah sistem politik terbaik setidaknya hingga detik ini. Banyak yang berpandangan demokrasi mampu memberikan ruang kebebasan berekspresi, partisipasi publik dan persamaan hak politik serta hukum bagi setiap warga negara. Bagi para pecintanya, demokrasi kerap menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintahan diktator dan otoriter. Lebih jauh dari itu, demokrasi telah menjelma menjadi agama baru yang sakral dan haram diganggu gugat. Bagi Indonesia, demokrasi menjadi sistem politik pemerintahan yang compatible dalam sebuah negeri dengan beragam agama, suku, bahasa dan budaya. Demokrasi dianggap mampu menampung dan mengelola energi perbedaan yang ada menjadi sebuah harmoni kehidupan penuh kedamaian. Singkat cerita, masyarakat sudah kadung yakin dan yakin percaya demokrasi mampu membawa kehidupan bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kekuatan utama demokrasi sebagai instrumen perubahan terletak asas kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sehingga, suara rakyat berhak menjadi sumber kebenaran dan sumber legislasi kekuasaan bagi para pemimpin pemerintahan yang demokratis. Kedaulatan ditangan rakyat menjadikan rakyat sebagai wakil tuhan yang berhak menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Rakyat pula yang berhak menentukan siapa yang pantas sebagai pemimpin dan wakil rakyat terbaik berdasarkan suara mayoritas. Harapannya, akan tercipta pemerintahan yang mampu mewujudkan nilai nilai demokrasi substantif itu sendiri yakni persamaan, keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Sayangnya, sejak era reformasi 1998 hingga kini, demokrasi terus mempertontonkan anomali tanpa henti. Paras demokrasi yang dulunya begitu cantik memesona, kini berubah menjadi monster yang menyeramkan dan membuat semua orang takut. Pelan tapi pasti, kepercayaan rakyat terhadap demokrasi semakin terdegradasi hingga titik nadir. Bagaimana tidak, proses demokratisasi yang tercermin melalui penyelenggaraan pemilu/pemilukada secara langsung terbukti gagal menghasilkan pemimpin/wakil rakyat yang amanah, adil dan berkualitas. Yang muncul justru pemimpin rakus kekuasaan dan bermental korup. Hari ini kita menyaksikan dan merasakan para pemimpin kita asyik berdebat dan bersandiwara guna meraih simpati, namun kering dengan nilai empati terhadap nasib rakyat kecil. Amanah sebagai presiden, menteri, kepala daerah dan anggota dewan justru menjadi ajang eskploitasi guna membangun dinasti kekuasaan, memperkaya diri dengan korupsi dan menerapkan kebijakan zalim demi memenuhi pesanan para penyumbang dana kampanye dari kalangan pemilik modal atau asing . Alhasil, bukannya untung, masyarakat malah menjadi buntung karena menjadi korban kebijakan zalim penguasa.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Jumlah itu diyakini akan membengkak hingga 300 akhir tahun ini.
Kondisi yang sama juga menimpa anggota DPR/DPRD yang nota bene merupakan salah satu pilar pemerintahan demokrasitis. Meski menyandang status sebagai wakil rakyat yang tehormat, namun perilaku para anggota dewan patut mendapat laknat. Djohan mengungkapkan, anggota legislatif yang terjerat korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi 2.545.
“Jumlah itu 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia,” bebernya. (www.rmol.co)
Hal itu belum termasuk korupsi yang dilakukan oleh sejumlah politisi DPR RI yang duduk di senayan. Sebut saja korupsi proyek Hambalang yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Korupsi Daging Sapi yang melibatkan mantan Ketua Umum PKS Luthfi Hasan Ishaq. Bahkan pengadaan kitab suci Al Quran yang memiliki dimensi religius sekalipun tak luput dari praktik korupsi yang dilakukan oleh Anggota Komisi VII DPR asal partai Golkar Zulkarnaen Djabar.
Terlihat jelas, bahwa semakin demokratis bangsa ini, justru menjadikan para pemimpin dan wakil rakyat kita semakin rakus kekuasaan dan materi. Bagaimana mungkin masyarakat akan merasakan keadilan dan kesejahteraan jika bertumpu pada kepemimpinan berhati serigala semacam ini ?
Demokrasi juga kerap dibanggakan oleh para pemujanya sebagai jalan untuk meraih kesejahteraan. Namun, kebijakan pemerintah SBY yang berencana menaikkan harga BBM bersubsidi mementahkan teori usang tersebut. Sebab, naiknya harga BBM pasti akan semakin membebani ekonomi rakyat yang sebelumnya sudah terjepit. Organisasi Angkutan Darat (Organda) merespons rencana kenaikan harga BBM subsid dengan memberikan dua opsi, yaitu menaikkan biaya transportasi kepada konsumen hingga 35% atau mogok massal. (finance.detik.com, 30/4).
Logika sederhana, jika ongkos angkutan naik, semua biaya kebutuhan juga naik. Kalau sudah begini, maka rakyat kecil yang harus menjadi korban. Bukannya membela, para pejabat dan wakil rakyat dari pusat hingga daerah justru lantang mendukung kebijakan anti rakyat tersebut. Sehingga, bagaimana mungkin akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh warga negara kalau para pemimpin dan anggota dewan yang terhormat ternyata buta melihat penderitaan rakyat. Ini menjadi bukti kebijakan ekonomi yang kapitalistik selama ini gagal menciptakan pemerataan pembangunan dan sebaliknya justru semakin memperuncing kesenjangan antara si kaya dan si miskin
Katanya lagi, demokrasi mampu memberikan rasa keadilan dan persamaan hukum bagi seluruh warga negara. Sayangnya, slogan ini hanya sebatas mimpi tanpa pernah terbukti. Hukum dinegeri ini hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Ketika yang menjadi pesakitan adalah wong cilik, maka pisau hukum begitu tegas. Namun, ketika yang tersangkut hukum adalah para petinggi atau individu yang berada dalam lingkaran kekuasaan, pisau hukum tiba tiba menjadi tumpul. Sebut saja kasus-kasus besar seperti Bank Century yang hingga kini penuh misteri. Ada juga kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo yang laris menjadi gado gado politik oleh para politisi tanpa ada penyelesaian secara tuntas. Tapi, itu bukanlah akhir dari kejahatan demokrasi. Jangan lupa, demokrasi juga harus turut bertanggung jawab atas berbagai konflik sosial, degradasi moral, dan anjloknya kualitas pendidikan yang menjadikan bangsa ini semakin sekarat.
Meski saat ini masyarakat sedang mabuk oleh euforia demokrasi jelang pemilu 2014, toh pada akhirnya semua akan sadar dan bertanya tanya, untuk apa sih demokrasi kalau kemudian membuat kehidupan yang dijalani penuh dengan kesengsaraan, kemiskinan, dan kebodohan. Untuk apa demokrasi, jika presiden, gubernur, walikota, bupati dan para wakil rakyat yang terpilih tidak amanah, gemar mengobral janji palsu dan tak sungkan menzalimi rakyat. Atas semua pertanyaan tersebut, demokrasi harus berkata jujur pada diri sendiri. Ternyata suara rakyat tak sama dengan suara Tuhan. Suara rakyat tetaplah suara dari mahluk ciptaan Allah SWT yang serba lemah, memiliki akal dan indera yang terbatas serta cenderung mengikuti hawa nafsu. Secerdas apapun manusia, dia tidak akan pernah mampu memahami hakikat kebenaran segala sesuatu. Harus kita akui, manusia terlalu sombong untuk menolak campur tangan Allah SWT dalam mengatur urusan kehidupan secara umum. Sehingga, setiap produk pemikiran atau undang undang yang dihasilkan eksekutif bersama legistatif penuh kekurangan, tidak solutif dan senantiasa berubah ubah tergantung kondisi dan situasi yang berkembang. Bandingkan dengan suara Tuhan, Zat Maha Tahu Segala Sesuatu Allah SWT yang tak pernah salah, adil, solutif dan aplikatif sepanjang masa, kapan saja dan dimana saja. Jika suara Tuhan yang termaktub dalam Syariah Islam dikonkretkan sebagai dasar kehidupan bernegara, maka sangat mudah mewujudkan mimpi demokrasi yang selama ini sulit terwujud yakni persamaan, keadilan dan kesejahteraan bagi semua, baik muslim maupun nonmuslim. Sayangnya, para pemimpin dan wakil rakyat kita masih terlalu sombong, tidak mampu mengambil hikmah atau mungkin sudah rabun dalam melihat kebenaran. Tapi, itu bukan masalah. Sebab, pada titik inilah cerita the end of democracy (akhir demokrasi) bermula dan akan segera tamat seiring dengan karamnya perahu demokrasi beserta segala kotoran yang ditimbulkannya. Dan kini tanda tanda runtuhnya peradaban demokrasi sekuler sudah sangat jelas terlihat baik di level lokal, nasional maupun global. Pada satu sisi, negara negara eropa dan barat sebagai kiblat demokrasi sedang mengalami krisis sosial dan ekonomi akibat kebijakan demokratis yang berdampak sistemik. Di belahan dunia yang lain, umat Islam dari Maroko hingga Merauke sedang mengalami kebangkitan politik dengan menyuarakan penegakan Syariah dalam bingkai Khilafah sebagai pengganti sistem demokrasi yang sudah bobrok. Insya Allah. (Borneonews, 6/5/2013)