Oleh: Hafidz Abdurrahman
Pendahuluan
Sistem demokrasi dirumuskan sebagai reaksi terhadap kekuasaan tunggal yang memusat pada raja atau kaesar, yang diklaim sebagai wakil tuhan. Kekuasaan yang akhirnya menjadi korup. Karena itu, muncullah pandangan tentang sparating of power (pemisahan kekuasaan). Dari sinilah, maka konsep trias politica Montesque itu lahir.
Legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai representasi kekuasaan dipisahkan satu sama lain, sehingga masing-masing bersifat independen. Dengan klaim, bahwa semuanya merupakan kekuasaan rakyat. Sehingga memunculkan klaim, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, ternyata semuanya itu hanyalah klaim kosong. Karena terbukti, rakyat tidak pernah memerintah. Demikian juga kebijakan pemerintah senyatanya juga tidak berpihak kepada rakyat.
Akibatnya, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pun terjun bebas. Padahal, pemilu diklaim sebagai medium rakyat dalam menentukan nasib mereka, melalui representasi pemerintahan yang mereka pilih. Menurunnya tingkat kepercayaan publik, dan minimnya partisipasi mereka dalam pemilu, ini selain karena tidak adanya bukti yang sahih, bahwa pemilu ini bisa mengubah nasib mereka. Juga, karena baik partai maupun calon-calon pemimpin yang tampil sebagai representasi rakyat itu sudah jatuh di mata mereka, baik karena korupsi dan moral hazard yang lainnya.
Tak terkecuali dengan partai Islam, partai yang mengklaim Islam, atau berbasis massa Islam. Termasuk barisan politikus berlabel kyai, ustadz dan sebagainya. Meski demikian, dalam situasi dan kondisi seperti ini, masih saja ada yang mencoba peruntungan. Siapa tahu, bernasib baik. Namun, disadari atau tidak, sistem demokrasi, parlemen dan habitatnya bukanlah tempat yang baik, bahkan berlumuran noda dan najis.
Demokrasi dan Pemilu
Tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Karena pemilu merupakan stempel demokrasi.
Sementara itu, sikap ideologis terhadap pemilu mengharuskan kita, pertama-tama harus memahami fakta pemilu itu sendiri, agar kita tahu hukum syara’ yang terkait dengan pemilu ini.
Sistem demokrasi berdiri di atas dua pilar, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Pilar pertama, dan ini yang terpenting, bahwa yang berhak dalam membuat hukum dan perundang-undangan yang digunakan negara mengurus urusan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Pilar kedua, rakyat juga dijadikan sebagai pemilik hak dalam memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya bahkan mencopotnya dalam sebagian sistemasi.
Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, kecuali pemilu kepala negara dalam banyak sistem, maka sistem ini menetapkan, bahwa rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat dalam hal legislasi dan penetapan perundang-undangan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif. Dalam sebagian sistem, parlemen mewakili rakyat dalam memilih kepala negara.
Inilah sistem yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijalankan oleh banyak bangsa dan umat sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara dan pembuatan hukum. Berkembang dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalis maupun riil, tidak lebih karena dominasi peradaban Barat yang telah menyerang umat Islam sejak dua abad lalu. Mereka yang diserang peradaban tersebut dengan berbagai pemikiran dan sistemnya adalah dunia Islam, termasuk negeri Indonesia.
Islam dan Pemilu
Adapun sistem yang dijadikan pedoman umat Islam karena telah diwajibkan kepada mereka oleh keimanan mereka kepada akidah Islam, sesungguhnya sistem tersebut berbeda dengan sistem demokrasi di atas, baik dari aspek akidah Islam, maupun pilar yang menjadi pondasi tegaknya sistem dan rinciannya.
Pilar terpenting yang menjadi pondasi sistem pemerintahan Islam adalah kedaulatan di tangan syara’. Pilar ini dinyatakan oleh ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat qath’i ad-dalâlah. Sebagaimana firman Allah:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Q.s. Yûsuf [12]: 40)
Keputusan di sini maknanya adalah tasyrî’ (legislasi), yaitu perintah, larangan dan kemubahan. Bukan dalam konteks kekuasaan dan pelaksanaan politik. Allah juga berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُوْنَ
“Siapa saja yang tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir.” (Q.s. al-Mâidah [5]: 44)
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.s. an-Nahl [16]: 116)
Masih banyak ayat yang lain. Semuanya menunjukkan makna yang sama. Dengan begitu di dalam sistem Islam tidak ada yang namanya kekuasaan legislatif, sebagaimana dalam sistem demokrasi yang sedang diterapkan (secara formal) di sebagian besar dunia Islam. Tetapi sumber legislasi dalam sistem Islam adalah nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, dan penggalian (istinbath)-nya yang dilakukan oleh para mujtahid.
Hak mengadopsi hukum yang bersifat ijtihadi yang di dalamnya para mujtahid berbeda pendapat adalak wewenang kepala negara yang dipilih oleh umat sebagai wakil mereka dalam menerapkan sistem Islam dan mengurusi urusan mereka. Kepala negara berpijak kepada ijtihad yang dipandang paling kuat dalilnya, yang dituntut oleh kewajiban mengurus urusan umat. Ini berdasarkan firman Allah:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri dari kalian.” (Q.s. an-Nisâ [4]: 59)
Berdasarkan hal itu, dalam sistem Islam, majelis umat yang mewakili rakyat, tidak memiliki apa yang disebut kekuasaan legislatif. Karena kedaulatan dalam Negara Khilafah ada di tangan syara’. Kepala negara, Khalifah, adalah pihak yang diberi wewenang untuk mengadopsi hukum syara’ dan undang-undang yang bersifat administratif yang menjadi tuntutan dalam mengurus urusan rakyat.
Hanya saja tidak berarti, bahwa dalam sistem Islam tidak ada pemilu. Pilar kedua yang menjadi pondasi tegaknya sistem pemerintahan Islam adalah kekuasaan milik umat. Pilar ini menegaskan, bahwa umat merupakan pemilik hak dalam memilih kepala negara yang akan mengurusi urusan mereka. Tidak boleh seorang pun menjadi kepala negara, kecuali dengan mendapatkan mandat dari umat melalui baiat yang sah secara syar’i.
Meski begitu, umat tetap bertanggung jawab menjalankan haknya dengan monitor, menasehati dan mengoreksi penguasa, setelah dia dibai’at, jika lalai atau bertindak buruk atau zalim. Wewenang yang dimiliki umat ini membutuhkan sarana, agar bisa diaktualisasikan. Ini tidak bisa diwujudkan, terlebih ketika umat sudah sedemikian tersebar luas dan jumlahnya terus bertambah, kecuali dengan pemilu.
Karena itu, pemilu ini sesungguhnya merupakan sarana praktis untuk memilih seseorang yang layak mendapatkan bai’at dari umat. Begitu pula pemilu ini merupakan sarana praktis untuk memilih para wakil umat yang mewakili mereka dalam mengoreksi penguasa, memonitor negara dan mengungkapkan tuntutan dan pengaduan umat. Para wakil umat itu adalah anggota Majelis Ummat (ahlul halli wal ‘aqdi). Mereka juga mungkin diberi wewenang untuk membatasi calon kepala negara, atau bahkan memilih kepala negara sendiri itu.
Atas dasar itu, maka perbedaan mendasar pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam adalah, bahwa pemilu dalam sistem demokrasi bertujuan untuk melaksanakan legislasi dan itu merupakan perkara yang diharamkan oleh Allah SWT terhadap manusia. Sedangkan pemilu dalam sistem Islam adalah sebagai representasi, dimana umat memberikan kekuasaan (kepala negara) kepada orang yang mereka pilih untuk mengurusi urusan mereka, atau dengan pemilu itu umat mewakilkan kepada orang yang akan mewakilinya dalam mengoreksi dan menyampaikan pendapat.
Sedangkan pemilu legislatif di Indonesia, jauh dari keberadaannya sebagai pemilu legislatif sebagaimana dalam sistem demokrasi, meski secara teoritis sekalipun. Pemilu di Indonesia juga berjalan sesuai dengan konvensi dan perundang-undangan yang keberadaannya sangat jauh dari melaksanakan politik dalam pengertian yang sesungguhnya. Tidak ada program politik riil pada diri orang-orang yang bersaing untuk menduduki kursi parlemen. Setiap program politik yang ditawarkan oleh mereka yang saling bersaing hanyalah sketsa di atas kertas.
Watak mendasar di dalam pemilu Indonesia ini adalah persaingan antara berbagai kelompok yang membagi negeri di antara mereka dalam konteks pertarungan lokal, yang terkait dengan perannya dalam konstalasi politik global. Jika satu kelompok memperoleh mayoritas kursi, maka kutub lokal yang ada di belakangnya juga menjadi pemenang. Sebaliknya jika kelompok lain yang menang, maka yang menang secara lokal adalah kutub-kutub yang ada di belakang kelompok lain itu. Pada dua kondisi tersebut, keputusan politik di Indonesia tetap tergadaikan pada kepentingan global tertentu.
Tidak ada kebijakan politik riil di dalam negeri Indonesia. Keputusan-keputusan politik yang ada sesungguhnya datang dari kekuatan transnasional. Dengan demikian pemilih yang pergi ke tempat pemungutan suara perannya tidak lebih hanya mengokohkan penguasaan salah satu keputusan politik yang datang dari luar tapal batas negerinya. Masing-masing dari dua kepentingan politik yang datang dari asing itu tidak peduli kepada pemilih, kemaslahatan, masalah utamanya atau masalah skundernya.
Pencalegan dan Pemilihan Caleg dalam Pandangan Syara’
Jika kita ingin menjelaskan hukum syara’ di dalam pemilu ini, baik pencalonan maupun pemilihan, bisa dijelaskan:
Karena pemilu adalah representasi dari pemilih kepada calon, sementara representasi dalam Islam adalah hal yang mubah, selama merupakan wakalah (representasi) dalam aktivitas yang disyariatkan. Karena wakil yang terpilih adalah wakil rakyat dalam mengekspresikan pendapat mereka dalam urusan politik, yaitu mengatur urusan rakyat. Berdasarkan semuanya itu, maka pecalonan dan pemilihannya adalah mubah. Dengan syart, calon-calon yang akan dipilih itu mempunyai program-program baku yang sesuai dengan syara’, dimana calon tersebut dipilih berdasarkan programnya, dan dia pun terikat dengannya setelah terpilih. Hal-hal baku itu adalah:
- Tidak menyetujui konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia yang sedang diterapkan di Indonesia, kemudian berjuang untuk menggantinya dengan sistem Islam.
- Tidak ikut serta dalam proses legislasi, karena menetapkan hukum bukanlah hak manusia. Karena kedaulatan dalam kehidupan kaum Muslim wajib dikembalikan kepada syara’.
- Tidak ikut serta dalam memilih presiden, jika parlemen mempunyai hak memilih presiden, karena presiden yang terpilih memerintah dengan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah.
- Hendaknya tidak memberikan kepercayaan kepada pemerintahan manapun karena kekuasaan eksekutif mengimplementasikan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia. Karena presiden juga memerintah dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah.
- Tidak terlibat dalam menyetujui APBN, karena APBN ini disusun berdasarkan asas yang lain, selain Islam, yaitu sistem Kapitalisme yang berlumuran riba dan transaksi finansial yang diharamkan oleh syara’. Lebih dari itu, APBN tersebut menjadikan negara tunduk pada organisasi ekonomi global, dan perusahaan Kapitalisme yang merampok kekayaan umat manusia.
- Hendaknya tidak berpartisipasi dalam menyetujui perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh penguasa. Karena perjanjian-perjanjian itu ditetapkan berdasarkan konstitusional dan perundang-undangan yang menyalahi syariah. Disamping perjanjian-perjanjian itu pada kebanyakan kondisi memberikan jalan kepada negara-negara besar untuk menguasai umat. Padahal Allah berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (Q.s. an-Nisâ’ [4]: 141)
- Hendaknya calon terpilih mengoreksi kekuasaan eksekutif berdasarkan hukum-hukum syariah Islam, bukan berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia. Karena Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri dari kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 59)
- Hendaknya tidak berkoalisi dalam aksi pemilihannya dengan calon-calon yang tidak berpegang kepada hukum-hukum Islam dalam program dan sikap politik mereka. Karena dengan koalisi itu artinya dia menyetujui jalan mereka dan menyeru pemilih untuk memilih mereka padahal Allah SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Mâidah [5]: 2)