HTI Press. Sebagaimana dilansir olehdvb.com (24/6), Presiden Thein Sein telah membela tokoh biksu Budha anti-Muslim, Wirathu, dan gerakan kontroversial “969”, yang menyerukan umat Buddha untuk memboikot bisnis umat Muslim, setelah majalah Time menggambarkannya sebagai “Wajah Teror Buddha” di sampul depan Majalah Time edisi 1 Juli.
Dalam pernyataan publik yang dikeluarkan pada Minggu malam, Thein Sein menuduh Time agama Buddha dan merugikan proses rekonsiliasi nasional dengan menuduh biksu itu yang vokal memicu kekerasan anti-Muslim di Myanmar.
Dengan menggambarkan dirinya sebagai “anak Buddha”, Presiden membela Wirathu sebagai “orang yang mulia” yang berkomitmen bagi perdamaian. “Artikel dalam majalah Time itu dapat menyebabkan kesalahpahaman tentang agama Buddha, yang telah ada selama ribuan tahun dan dipeluk oleh mayoritas warga negara Myanmar,” kata Thein Sein.
Wirathu telah menarik kecaman internasional karena khotbah-khotbahnya yang tajam anti-Muslim, yang memperingatkan adanya ancaman “Islamisasi” di Burma dan telah dikecam sebagai “pidato penuh kebencian” oleh para aktivis HAM. Kurang dari dua minggu lalu dia berusaha mendorong hukum nasional untuk melarang pernikahan antar-agama dengan dalih “melindungi” agama Buddha.
“Kaum [Muslim] berkembang begitu cepat dan mereka mencuri kaum wanita kita, dan memperkosa mereka,” kata Wirathu kepada Time dalam edisinya 1 Juli. “Sekitar 90% Muslim di Burma adalah “orang jahat yang radikal “, katanya.
Namun juru bicara presiden pada Senin membela hak Wirathu untuk “mengungkapkan pendapatnya” dan menepis anggapan bahwa khotbah-khotbahnya mendorong kekerasan. Dia menambahkan bahwa hal itu terserah penilaian lembaga keagamaan Sangha Maha Nayaka, yang didukung pemerintah untuk memutuskan apakah tindakannya itu harus diselidiki atau tidak.
“Kami belum mendengar adanya keluhan yang disampaikan kepada Komite Sangha Maha Nayaka yang menuduh bahwa konsep-konsepnya adalah kekerasan,” kata Ye Htut kepada DVB, dengan menambahkan bahwa Time secara tidak adil mengkaitkan Buddhisme dengan terorisme. “Artikel itu ditulis dari satu sisi sudut pandang”, katanya.
Biksu yang memproklamirkan dirinya sebagai “bin Laden dari Myanmar” itu dipenjara oleh mantan rezim militer pada tahun 2003 karena mendorong kerusuhan anti-Muslim di Mandalay Myanmar tengah. Sejak dibebaskan pada bulan Januari 2012, dia telah menjadi tokoh Gerakan Burma “969”, yang mempromosikan bentuk ekstrem nasionalisme Buddha dan telah dikaitkan dengan serangkaian serangan kekerasan terhadap kaum Muslim.
Dalam sebuah wawancara dengan DVB pekan lalu, Wirathu menuduh Time melakukan “pelanggaran HAM serius” dengan menolak menyampaikan pandangan-pandangannya dalam pertanyaan dan jawaban kata demi kata.
“Sebelumnya saya mendengar [rumor] dari dunia Arab yang mendominasi media global,” katanya. “Namun kali ini, saya melihatnya sendiri.”
Berita pada sampul Majalah Time 1 April juga telah menimbulkan kontroversi di media sosial, di mana para pendukung Wirathu telah membuat sebuah sebuah page di halaman Facebook yang menyerukan pemboikotan terhadap “kebohongan, dan ketidak adilan ” majalah itu. Sementara sebuah petisi online, yang mendorong 50.000 tanda tangan di Avaaz.org, menyerukan Time untuk menarik edisi majalah itu.
Majalah Time juga telah mendorong kritik dari kalangan analis lainnya, yang khawatir bahwa fokus berlebihan media terhadap Wirathu dapat mengalihkan perhatian dari kegagalan pemerintah untuk mengatasi kekerasan anti-Muslim di Burma.
Sebanyak 140.000 orang yang umumnya kaum Muslim Rohingya mengungsi karena dua serangan yang merupakan bentrokan etnis-religius dengan Arakan Buddha di Myanmar Barat tahun lalu. Sejak Maret, kerusuhan anti-Muslim telah menyebar ke beberapa kota di Myanmar tengah, termasuk Meikhtila, di mana setidaknya 43 orang tewas dan ribuan lainnya mengungsi.
Namun sejauh ini hanya Muslim telah dihukum penjara, termasuk kasus seorang wanita yang diduga memicu kekerasan di Oakkan kota dekat Rangoon dengan menabrak seorang biarawan dan menumpahkan mangkuk sedekahnya.
Sementara Thein Sein menyalahkan kaum “oportunis politik dan ekstremis ” yang mengeksploitasi agama Buddha dalam pidatonya bulan Maret, pernyataan hari Minggu itu telah menimbulkan pertanyaan tentang kesungguhannya dalam menyikapi kekerasan.
Bahkan ikon demokrasi Aung San Suu Kyi mendapat kecaman karena gagal berbicara untuk membela kaum minoritas Muslim Myanmar. Namun, pemimpin oposisi baru-baru ini mengambil sikap yang menentang usulan Wirathu soal larangan pernikahan beda agama, dan kebijakan dua anak pemerintah bagi Rohingya. (rz)