Oleh: Hafidz Abdurrahman dan Arif Adiningrat
Krisis moneter yang terjadi selama ini sebenarnya merupakan dampak langsung dari sistem ekonomi Kapitalis yang diterapkan. Krisis tahun 1998, misalnya, dipicu oleh empat faktor yang saling berkaitan secara langsung. Pertama, faktor mata uang, yang tidak lagi menggunakan standar emas dan perak (gold and silver standard). Ini terjadi, sejak Amerika kalah dalam Perang Vietnam, kemudian Richard Nixon mengumumkan pembekuan standar emas dan perak tahun 1972. Akibatnya, inflasi tak terhindarkan.
Kedua, faktor saham yang juga hampir sama dengan mata uang. Saham diperjualbelikan sebagai kertas berharga, dengan jaminan trust saja. Nilai yang tertera dengan nilai yang diperjualbelikan pun berbeda, tergantung kepada tinggi rendahnya trust terhadap saham perusahaan tersebut. Ketiga, adanya PT yang memperjualbelikan saham di bursa saham. Keempat, adanya bursa (pasar) saham, yang menjadi tempat transaksi jual beli saham. Keempat faktor inilah yang saling kait mengait, sehingga secara simultan menjadi faktor utama terjadinya krisis moneter tahun 1998.
Berbeda dengan krisis tahun 2008, sepuluh tahun kemudian. Krisis ini disebabkan oleh krisis keuangan yang menimpa dunia properti di AS, akibat subprime morgate. Utang bodong yang diperjualbelikan dengan utang. Akibatnya terjadi akumulasi transaksi utang piutang bodong. Karena akumulasinya besar, krisis ini sampai merontokkan bank-bank besar sekelas Lehman Brothers. Krisis ini sampai sekarang belum bisa diatasi. Angela Merkel, Konseler Jerman, sempat menyinggung, bahwa krisis ini terjadi akibat sistem ekonomi dan mata uang yang mereka gunakan tidak tahan banting.
Dengan melihat faktor penyebab krisis moneter di atas, sebenarnya krisis seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem ekonomi Islam di bawah naungan Negara Khilafah. Karena, baik mata uang dalam bentuk fiat money, saham, bursa saham maupun PT, yang menjadi faktor terjadinya krisis moneter saat ini tidak ada. Dengan begitu, akar krisis keuangan ini pun sejak dini telah berhasil diamputasi.
Potensi Krisis Moneter
Allah SWT, di dalam Alquran, telah memberikan jaminan, “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (TQS Hud [11]: 6). Ayat ini menegaskan, bahwa sebenarnya rezeki yang diberikan oleh Allah kepada makhluk-Nya di muka bumi ini pasti cukup. Dengan begitu, tidak ada satu pun yang tidak mendapatkan bagian rezeki dari Allah SWT.
Namun, akibat buruknya distribusi, yang tidak pernah dianggap sebagai masalah dalam sistem Kapitalisme, maka krisis ekonomi, termasuk krisis moneter itu pun terjadi. Sementara, dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan Negara Khilafah, masalah distribusi ini telah diselesaikan dengan tuntas. Karena itu, potensi terjadinya krisis dari pintu distribusi ini pun telah tertutup.
Selain itu, sumber perekonomian negara yang bertumpu pada empat sektor, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa, yang bisa diupayakan oleh setiap warga negara khilafah, juga sumber-sumber lain dari harta milik umum yang dikelola oleh negara, serta harta milik negara itu sendiri, maka nyaris tidak ada pintu bagi krisis ekonomi maupun moneter dalam Negara Khilafah. Karena itu, barangkali satu-satunya potensi adalah ketika terjadi bencana atau peperangan.
Dengan demikian, potensi terjadi krisis tersebut bisa dilokasilir karena faktor thawari’ atau emergency (darurat). Bukan karena faktor siklus tahunan, apalagi sistemik. Jika faktornya karena thawari’ atau emergency (darurat), itu pun dengan asumsi, jika tingkat bencana atau peperangan yang terjadi, melebihi cadangan dana yang ada di Baitul Mal.
Faktor Krisis Karena Emergency
Jika faktor krisis tersebut karena emergency, maka Negara Khilafah bisa memobilisasi potensi domestik. Dengan wilayah Negara Khilafah yang terbentang melebihi 2/3 dunia, maka potensi ekonominya tentu sangat besar. Selain itu, mereka yang hidup di wilayah yang besar tersebut disatukan oleh akidah yang sama, dan dipimpin oleh seorang khalifah. Dengan begitu, mobilisasi seluruh potensi yang mereka miliki sangat-sangat mudah dilakukan.
Melalui saluran televisi, radio, surat kabar, internet atau media yang ada, khalifah bisa mengumumkan kepada seluruh rakyat, bahwa negara khilafah sedang menghadapi kondisi emergency, baik bencana maupun peperangan. Pada saat yang sama, negara membutuhkan uluran tangan mereka. Maka, dengan sukarela rakyat pun akan berbondong-bondong memberikan hartanya kepada negara. Inilah yang ditempuh oleh Rasulullah, saat negara menghadapi Perang Tabuk.
Saat Perang Tabuk, Nabi SAW menyiapkan tentara sulit (jaisy al-‘usrah). Nabi bersabda, “Siapa yang bisa menyiapkan tentara sulit, maka dia berhak mendapatkan surga.” (HR Bukhari). Dalam Sunan at-Tirmidzi, ‘Abdurrahman bin Samurah menuturkan, “Utsman bin ‘Affan datang kepada Nabi dengan membawa 1000 dinar.” Nabi pun kemudian memujinya, “Tidak ada yang bisa memudaratkan ‘Utsman apa yang dilakukan ‘Utsman setelah hari ini.” Sebanyak dua kali. (HR at-Tirmidzi)
‘Utsman bin ‘Affan, saat itu memberikan sumbangan sukarela sebesar 1000 dinar, atau setara dengan 1000 dinar x 4,25 gram x Rp. 350,000 (harga emas saat ini) sama dengan Rp. 1,487,500,000. Tidak hanya itu, ‘Utsman pun memborong seluruh kebutuhan Perang Tabuk. Semuanya didanai sendiri oleh ‘Utsman bin ‘Affan. Ini adalah contoh, bagaimana Nabi SAW mengatasi krisis keuangan yang dihadapi negara dalam kondisi emergency.
Kondisi emergency ini bukan hanya terjadi karena faktor peperangan, tetapi bisa juga karena faktor alam, atau faktor-faktor lain. Kondisi cuaca yang ekstrim, misalnya, bisa saja mengganggu pertanian, sehingga menyebabkan krisis ekonomi dan keuangan. Faktor epidemi juga bisa menjadi faktor, karena jalur perdagangan yang dilalui terputus, akibat wabah epidemi. Misalnya, Wabah Pes di negeri Syam, menyebabkan jalur perdagangan terganggu. Karena orang menghindari dampak dari wabah tersebut.
Selain itu, terjadinya krisis di suatu wilayah juga bisa memicu terjadinya urbanisasi besar-besaran, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah. Akibat dari urbanisasi ini juga bisa menimbulkan dampak sosial, sekalipun finansial. Karena beban di wilayah tertentu, khususnya tujuan urbanisasi tersebut meningkat. Dalam kasus lain, kesibukan ummat Islam berjihad menaklukan wilayah Irak, Syam dan Mesir, ternyata juga menyebabkan terganggunnya pertanian Khaibar. Akibatnya, hasil panennya pun menurun.
Namun, untuk mengatasi krisis ekonomi dan keuangan dalam kondisi darurat tersebut bisa ditempuh dengan cara yang dilakukan oleh Rasul. Jika tindakan tersebut tidak mencukupi, maka negara bisa melakukan pinjaman, bisa dari dalam maupun luar negeri. Tentu dengan syarat dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan tidak menjadikan negara tidak merdeka.
Seluruh kebutuhan tersebut kemudian akan ditutup oleh negara dengan menetapkan pajak (dharibah) kepada orang kaya, laki-laki, dewasa dan Muslim. Sedangkan orang miskin, anak-anak, kaum perempuan dan kaum kafir tidak terkena kewajiban membayar pajak.
Alternatif Lain
Selain solusi di atas, negara khilafah bisa andil dalam memikul penderitaan dan memberikan keteladanan kepada rakyat. Ketika itu, ‘Umar tidak pernah makan di salah satu putranya ataupun di salah satu istrinya. Ia makan bersama rakyatnya, sehingga Allah menghidupkan manusia seperti mereka hidup.
‘Iyadh bin Khalifah menyifati kondisi ‘Umar pada saat itu, “Aku melihat Umar pada tahun paceklik, dia berwarna hitam, padahal dia berkulit putih dan dia adalah orang Arab yang mempunyai tradisi memakan keju dan minum susu, namun ketika orang-orang kelaparan, maka ia mengharamkan dirinya hingga mereka tidak hidup kelaparan, lalu dia makan zaitun hingga merubah warna kulitnya dan dia sering lapar.” (at-Thabari, Tarikh al- Umam wa al-Muluk, Juz III/239).
Selain itu, manajemen krisis pun telah berhasil dilakukan dengan baik. Misalnya, ketika urbanisasi ke Madinah, para pengungsi diatur dan diurusi dengan membagikan makanan dan lauk pauk. Penanggung jawabnya adalah Yazid bin Namir, Miswar bin Makhramah, Abdurahman bin Abdul Qari dan Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Ketika kembali, ‘Umar mengatur kepulangan mereka dengan perbekalan makanan yang cukup dan kendaraan unta.
Penduduk badui yang terkena dampak, yang tidak dapat diungsikan ke Madinah, dikirim bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu tiap pagi dan sore Umar mengecek makanan mereka. Bani Nashar berkomentar tentang penananganan ‘Umar saat krisis, “Umar mengirim kepada kaumku apa yang maslahat bagi mereka bulan demi bulan.”
Selain itu, ‘Umar juga melakukan beberapa pengecualian, di antaranya, menunda penarikan zakat hewan yang terkena dampak krisis. Menganulir had pencurian, jika memang terdesak kebutuhan. Memberikan jaminan sosial wajib, dan pemulangan kembali orang-orang badui ke kampung mereka.[]