Melambungnya berbagai harga kebutuhan pokok pasca kenaikan harga BBM bukan saja memukul daya tahan perekonomian rakyat, tapi juga mental mereka. Resistensi moril masyarakat menghadapi beratnya kondisi perekonomian diperkirakan akan semakin memburuk. Tingkat depresi meningkat dan yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya angka bunuh diri di tengah-tengah publik.
Jauh sebelum pemerintah menetapkan kebijakan menaikkan harga BBM, tingkat depresi masyarakat Indonesia terbilang tinggi dan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Fachmi Idris memaparkan hasil penelitian dokter kesehatan jiwa yang menunjukkan 94 persen masyarakat Indonesia mengidap depresi (tempo.co, 20/6/2007).
Sedangkan Kementerian Kesehatan RI, mencatat ada sekitar 19 juta jiwa di Indonesia mengalami permasalahan emosional, selain itu sebanyak 1 juta jiwa sudah masuk ke dalam kategori orang dalam masalah kejiwaan berat. Gangguan itu di antaranya seperti cepat marah, murung dan tidak bisa mengendalikan emosionalnya (aktual.co, 5/7/2013).
Beratnya persoalan hidup dan beban ekonomi juga telah mendorong peningkatan angka bunuh diri di tanah air. Sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri selama tiga tahun terakhir (2005-2007, WHO). Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno mengatakan, faktor penyebab orang nekat bunuh diri karena kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran. Semua itu berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya beban hidup. “Dengan demikian faktor bunuh diri di Indonesia lengkap sudah,” ujar Prayitno.
Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahun.
Kondisi ini adalah gambaran ‘sempurna’ penerapan sekulerisme dan perekonomian neoliberal di masyarakat. Sekulerisme telah menggerogoti akidah Islam dari kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat di Indonesia. Masyarakat telah kehilangan prinsip-prinsip hidup yang amat mendasar seperti berharap kepada Allah (roja’), tawakal, sabar, pemahaman akan rizki, musibah dan ujian keimanan, dsb. Padahal prinsip-prinsip amat urgen dalam pertahanan mental seorang muslim dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan.
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (TQS. at-Taubah [9]: 51).
Sementara itu kapitalisme dengan prinsip survival of the fittest, melahirkan berbagai kebijakan privatisasi sumberdaya alam yang seharusnya menjadi hak hidup masyarakat, dan membuat negara mengurangi berbagai subsidi dari masyarakat dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Maka hanya mereka yang memiliki kekuatan modal dan kedekatan dengan penguasa yang dapat bertahan hidup, sedangkan kelompok masyarakat lemah yang miskin dan berpendidikan rendah kian terhimpit. Depresi dan keputusasaan menjadi epidemi dalam masyarakat.
Fakta-fakta ini barulah sebagian sisi kegagalan dan tidak manusiawinya sistem kapitalisme dengan sekulerisme sebagai landasan kehidupannya. Tidak ada alasan lagi untuk mempertahankannya karena praktek dehumanisasinya yang mengerikan. Kapitalisme memusuhi agama, khususnya Islam, melawan fitrah manusia dan menimbulkan kekacauan batin. Hedonisme yang diyakini sebagai ‘surga’ kebahagiaan justru melahirkan bencana mental.
Dan tidak ada alasan lagi untuk tidak bersegera menerapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah untuk menggantikan kerusakan sistem ini. Tentu setelah membangun kesadaran umum dan opini umum bahwa Islam adalah solusi problematika umat manusia yang benar. Memperkuat kembali akidah Islamiyyah sebagai pondasi kehidupan dan meyakini kembali janji Allah bahwa akan datang keberkahan sebagai resultan (natijah) keimanan dan ketakwaan.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. al-A’raaf [7]: 96)
Kita bisa mengatakan bahwa amat tidak bertanggung jawab bila ada pihak yang berlambat-lambat apalagi berdiam diri dari upaya mengembalikan kehidupan Islam, selain berdosa juga akan menambah panjang rentetan korban dan persoalan kejiwaan masyarakat. Maka, bersegeralah mengembalikan Islam dalam kehidupan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Iwan Januar – LS HTI]