Tanya :
Ustadz, bolehkah pekerja berat, seperti buruh bangunan, buruh pembangun jalan, tak berpuasa Ramadhan?
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tak berpuasa atau tetap wajib berpuasa Ramadhan. Pertama, pendapat jumhur ulama, bahwa pekerja berat tetap wajib sahur dan berniat puasa pada malam hari, lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya. Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat, yang dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tak berpuasa, dan mereka wajib mengqadha, disamakan dengan orang sakit (mariidh). (QS Al Baqarah:184). Bahkan jika terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekedar kekhawatiran, mereka wajib berbuka (QS An Nisaa:29).
Secara umum pekerja berat oleh jumhur fuqaha digolongkan mukallaf yang tetap wajib berpuasa, karena tak ada dalil syar’i khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syaikh Wahbah Zuhaili dan dinisbatkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina’ (2/361) dan Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syaikh Shaleh Al Fauzan, Syaikh Nashiruddin Al Albani, dan Syaikh Utsaimin.
Kedua, pendapat sebagian ulama, bahwa pekerja berat boleh tak berpuasa dan cukup membayar fidyah, selama mereka tak mampu berpuasa dan tak berkesempatan untuk mengqadha puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqadha, mereka boleh tak berpuasa tapi wajib mengqadha. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syaikh Yusuf Qaradhawi.
Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tak ada harapan sembuh, yang tak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan fidyah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah (artinya),”Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al Baqarah:184). (Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 59).
Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan sbb; Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama’), yaitu dalil wajibnya puasa (QS Al Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al Baqarah:233). Sedang pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al Baqarah:233). Kaidah ushul fiqih : i’mal al dalilain awlaa min ihmal ahadihima bi al kulliyah (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/491).
Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa, sedang pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya, sedang mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tak ada dalil khusus yang memberi rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fiqih : al yaqiin laa yazuulu bi as syakk (keyakinan tak dapat hilang dengan keraguan). (Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).
Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya. Sebab pekerja berat yang mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS Al Baqarah:184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tiada harapan sembuh (QS Al Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tak mungkin pulih, yakni tak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh. Wallahu a’lam.