Oleh: Dr Reza Pankhurst
(Tulisan ini adalah jawaban atas artikel Zaid Shakir yang dimuat di Al-Jazeera English yang berjudul “Kudeta Mesir dan Nasib Islam Politik”)
Kudeta militer terhadap Ikhwanul Muslimin yang mendukung pemerintahan Mursi telah menunjukkan bangkitnya tesis “kegagalan Islam politik”, meskipun peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mesir bersamaan dengan pembantaian terhadap para pengunjuk rasa lebih jelas menunjukkan kegagalan tren liberal-sekuler yang memiliki persekutuan historis dengan kediktatoran di Timur Tengah. Hampir tidak ada yang baru bahwa, “Islam Politik ” berkali-kali telah dinyatakan mati atau sekarat – yang paling terkenal adalah pada tahun 1990 yang ditulis oleh seorang orientalis Perancis Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam. Dalam tulisan itu, Roy berpendapat bahwa Islam politik telah gagal karena dikooptasi oleh negara yang sangat ingin melakukan Islamisasi, yang dengan berbuat demikian tidak menawarkan sesuatu yang berbeda dan malah menjadi sesuatu yang normal.
Roy menegaskan bahwa “politik” menguasai “agama,” suatu paradigma yang secara efektif menyangkal bahwa Islam memiliki politik yang khas dan karena itu “Islam politik” tidak pernah bisa berhasil karena tidak benar-benar berada di tempat utama. Ada sejumlah alasan mengapa Roy sampai pada kesimpulan ini, sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa dia menganalisa Islam melalui paradigma sekuler dan pemahaman Barat atas pemisahan agama dan politik, ditambah dengan kurangnya pengetahuan tentang Islam ortodoks. Sebagai contoh, Roy mengklaim bahwa tidak ada ulama masa lalu yang pernah mengklaim bahwa pendirian Khilafah adalah wajib, padahal yang benar adalah kebalikannya – kewajiban sudah disepakati dan perselisihan apapun adalah penyimpangan yang harus dikesampingkan.
Pendekatan Normatif
Tapi meskipun materi ini telah berulang-ulang dan klise, artikel yang ditulis oleh Imam Zaid Shakir mengenai nasib Islam politik adalah menarik, mengingat latar belakang penulis baik pada ilmu politik dan Islam normatif. Namun, seperti yang dibuktikan oleh artikel itu sendiri, pelanggaran bebas terhadap paradigma yang dikenakan atas wacana politik dan prakteknya oleh orang lain adalah tidak mudah.
Di antara poin yang diangkat dalam artikel itu adalah bahwa Islam politik tidak boleh sektarian – dengan melihat sekilas sejarah yang menunjukkan Islam yang mencoba untuk memaksakan aspek keyakinan agama kepada orang lain yang menyebabkan penindasan dan hal yang kontra-produktif, yang dikenal dengan istilah mihna (inkuisisi) di bawah Khilafah Abbasiyah yang dipimpin oleh Ma’mun.
Titik kedua adalah bahwa setiap partai politik Islam tidak boleh egois, dan jika mereka berkuasa mereka tidak boleh dilihat hanya memajukan kepentingan mereka sendiri. Hal ini dapat dianggap umum di setiap ideologi dan sistem politik agar menjadi sukses – semakin masyarakat menjadi meritokrasi (meritokrasi adalah kepemimpinan dimana kemajuan didasarkan kepada kemampuan individu-pent), semakin banyak muatan yang mungkin ada. Islam tidak berbeda, dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi secara eksplisit yang menyatakan bahwa “Siapa pun yang bertanggung jawab atas masalah umat, dan kemudian menunjuk seseorang atas mereka dikarenakan kecintaannya kepada mereka, maka Allah mengutuknya. “
Suatu Analisa Politik dengan “Akar-Rohani”
Di luar dua hal itu, ada sejumlah isu lain yang layak untuk didiskusikan, sebagian menyatakannya secara eksplisit dan yang lainnya secara tersirat. Shakir mengingatkan kepada kita bahwa apa yang terjadi di Mesir adalah kehendak Allah di mana pada akhirnya semuanya adalah hasil dari tindakan yang terjadi di luar kendali manusia, dan kemenangan, atau kekalahan, itu semata adalah dari Allah. Jadi kehendak Allah, menurut Shakir, adalah bahwa tidak boleh ada sebuah “rezim Islam” yang memerintah Mesir. Pelajarannya adalah keputusan Allah agar berhasil dalam konteks modern, anda harus bekerja ke arah dan di dalam suatu model konstitusional yang menyatukan diri dengan negara-bangsa, dan melakukan kompromi dengan berbagai aktor politik di dalamnya. Dengan demikian, tidak ada preseden (awal) di dalam Islam bagi model ini yang oleh karenanya memerlukan pemikiran baru.
Dan di sinilah letaknya terputusnya ide-ide yang dia usulkan, keterputusan antara fakta bahwa nasib ada di tangan Allah, yang Shakir dengan benar menggambarkannya sebagai salah satu manifestasi terbesar dari Tauhid – penegasan atas kesatuan ilahi – dan tindakan orang beriman terhadap hal ini bahwa ini adalah bagian dari keyakinan yang mendasar. Sementara hal ini sering disalahpahami sebagai fatalisme, jika dipahami dengan benar pengetahuan bahwa hasil akhir, kemenangan atau kekalahan, penerimaan atau penolakan semuanya adalah dari Allah, merupakan mentalitas revolusioner yang membebaskan hamba Allah dari depresi dan rasa putus asa, keengganan penerimaan atas status quo, dan dari belenggu pragmatisme dan bantuan yang semuanya berbeda dengan perintah yang ditetapkan dalam sumber-sumber hukum Islam.
Kegagalan pemerintah Mursi bukanlah bahwa pemerintahannya tidak cukup pluralistik atau cukup pragmatis, meskipun ada propaganda kudeta di antara pihak oposisi liberal. Bisa dengan mudah dikatakan bahwa pemerintahannya terlalu banyak mengikuti kehendak orang-orang yang mencoba untuk mengakomodasi tren non-Islam seperti dari kaum sekuler, liberal, dan SCAF, dan bersikap eksklusif terhadap gerakan-gerakan Islam lainnya. Pemerintahannya lebih setuju untuk mengelola sisa-sisa sistem era Mubarak daripada melakukan perbaikan secara revolusioner. Ironisnya, adalah kaum sekuler di Mesir yang mengakui bahwa pluralisme hanya bisa berjalan jika berbagai kelompok berbagi pandangan mendasar yang sama tentang dunia dan politik, telah dipaksa untuk membuang pandangan itu dengan dalih hak istimewa netralitas yang diasumsikan dalam sekularisme sebagai hasil kemenangan Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu ketika mereka menolak untuk menanggapi tawaran Mursi sebelumnya, pemerintah junta sementara yang seluruhnya terdiri dari kaum sekularis sekarang sedang mencoba untuk mengecualikan Ikhwanul daripada mengakomodasi mereka meskipun dilakukan sejumlah kompromi ideologis dengan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP-yang merupakan sayap Ikhwan) yang dibuat sebelumnya. Ini adalah sesuatu yang terlambat diakui oleh juru bicara Ikhwan, yang menyadari bahwa mencari kompromi secara terus menerus berarti bahwa pada akhirnya mereka diatur agar tidak ada lagi. Mereka sekarang dihadapkan oleh suatu pilihan – untuk menjadi lebih mensejajarkan ke dalam sistem sekuler, atau kembali ke prinsip-prinsip yang berusaha mendirikan negara Islam yang harus diakui sebagai sebuah proyek revolusioner.
Dengan pemahaman politik yang “berakar spiritual” yang ada dalam pikirannya, terdapat kontradiksi yang jelas antara mencari solusi yang paling pragmatis dan akomodatif di dalam status quo – yang merupakan gejala mentalitas kalah yang mungkin dibuat lebih pesimis terhadap nasib atas gagalnya eksperimen pemerintahan Mursi – dan di sisi lain mencari solusi Islam secara komprehensif. Hal ini dikarenakan pada saat Muslim mengakui bahwa sementara dia bertanggung jawab atas tindakannya, adalah kehendak Allah yang akan menentukan hasilnya. Dengan kata lain, dia siap menjadi seorang revolusioner, yang bebas dari kepasifan yang muncul dari sikap fatalisme dan mengakui perannya adalah untuk mengejar perintah-perintah Allah, dan bahwa Allah akan membawa perubahan yang sangat dia inginkan – seperti yang tercantum dalam Quran (47:7) “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Di luar Negara-Bangsa
Hal ini mengarah ke titik final negara-bangsa, dan pemahaman yang tersirat bahwa hal itu adalah sesuatu yang deterministik dan tak terelakkan, suatu evolusi alami dari masyarakat manusia. Suatu studi kritis terhadap negara bangsa akan menyoroti bahwa tidak ada evolusi atau deterministik tentang hal itu sama sekali. Melainkan hal ini muncul dari keadaan tertentu dan peristiwa-peristiwa di Eropa setelah periode kekaisaran, yang saat itu banyak terdapat negara-kota dan kerajaan feodal, karena keputusan-keputusan yang diambil oleh para aktor politik di dalamnya. Penerapan hal ini di Timur Tengah terjadi setelah kekalahan Khilafah Utsmani dalam Perang Dunia Pertama, yang setelah keruntuhannya negara bangsa dipaksakan secara artifisial di wilayah tersebut. Dengan kata lain, itu hanyalah hasil dari usaha manusia, baik dalam penciptaan ideologi dan penyebaran dan pemaksaan ideologi itu kepada yang lain.
Tidak ada yang memaksa Muslim atau orang lain untuk menerima ini sebagai fait accompli (ketentuan yang harus diterima) yang tidak boleh ditentang – dalam kenyataannya ini adalah mengenai setiap kelompok Islam yang sejak penghancuran Khilafah, setidaknya dalam teori, memiliki tujuan akhir untuk melenyapkan konsep negara-bangsa karena tidak cocok dengan Islam, termasuk Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna. Untuk mewujudkan sebuah pemerintahan Islam, diharuskan dicabutnya dan dihapuskannya negara-bangsa, dan sebagai gantinya dibentuk konstitusi Islam yang tidak didasarkan pada batas-batas artifisial yang memisahkan orang-orang selain dari kepatuhannya terhadap hukum Islam. Kembali kepada paradigma Negara Islam (Darul Islam) mungkin tidak cocok dengan teori politik kontemporer yang didominasi oleh pemikiran Eropa, namun sejalan dengan teori politik Islam dan Islam normatif.
Menurut hukum Islam normatif, pembentukan kepemimpinan yang satu adalah orang yang pada akhirnya bertanggung jawab untuk menerapkan Islam atas orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya melalui lembaga yang umumnya dikenal sebagai Khilafah, atau imamah, atau Negara Islam, yang merupakan kewajiban dan tidak hanya masalah preferensi atau kompatibilitas dengan model negara yang saat ini diterima. Ini adalah masalah konsensus (ijma) dari semua mazhab dalam Islam, termasuk Syiah, yang perbedaannya tidak pada model kekhalifahan melainkan pada siapa yang harus diangkat sebagai khalifah.
Suatu Revolusi Awal Normatif
Sementara Shakir mencatat tidak adanya preseden (awal) konstitusi Islam dalam sebuah negara-bangsa, mungkin dia mengabaikan fakta bahwa negara-bangsa bukanlah lembaga Islam yang utama dan karena tidak adanya awal tersebut tidak hanya diharapkan tapi dituntut, dia juga tampaknya mengabaikan awal negara Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad di atas landasan konstitusional, yang kemudian menjadi panutan bagi para penerusnya, atau yang disebut Khulafa. Ada banyak literatur yang kaya teori politik dan pemikiran Islam sebagai bagian dari warisan Islam normatif, namun karena beberapa faktor hal ini diabaikan dalam studi bahkan oleh para ulama Islam yang mendukung teori politik Eropa-sentris.
Pembentukan sebuah negara Islam seperti di Timur Tengah akan menandai pecahnya warisan Perjanjian Sykes-Picot, dan dalam awal normatif (dan tuntutan) pembentukan khilafah tersebut akan memberikan massa kaum muslimin visi yang lebih tinggi dan keyakinan yang akan mereka ikuti pada saat mengorbankan kepentingan pribadi mereka.
Keadaan seperti itu juga akan memberikan para politisi sudut pandang dan kebijakan yang jelas, dan bukan kebingungan atas tercampurnya kebijakan dan kehendak yang terjadi ketika partai-partai Islam mencoba mengambil kendali kendaraan yang dibuat di atas dasar yang berbeda. Daripada mencoba memaksa melakukan “Islamisasi” dari negara-bangsa yang dibatasi oleh paradigma yang ada, negara Islam bisa membawa seperangkat norma-norma politik dan lembaga yang sepenuhnya baru.
Hal ini perlu dicatat di sini bahwa aspek yang paling akurat atas kegagalan teori Roy mengenai Islam politik adalah bahwa normalisasi partai-partai Islam dalam negara-bangsa yang sekuler secara efektif menjadikan proyek mereka mengenai Islam politik sebagai hal yang berlebihan, tapi dia salah ketika menyatakan bahwa Islam politik telah gagal. Sebaliknya, sesuatu yang paling bisa diklaim adalah bahwa proyek untuk meng-Islamisasi negara-bangsa sejauh ini telah gagal, dan jika Shakir ingin menarik kesimpulan apapun dari kehendak Allah atas hal ini akan lebih akurat untuk memahaminya seperti itu. Namun, penggulingan sistem saat ini, dengan digantikannya dengan bentuk sistim pemerintahan yang berbeda dan menyelesaikan masalah pasca-penjajahan, adalah proyek yang masih berlangsung.
Kesimpulan
Jenis analisis politik dengan “akar-spiritual” yang diperdebatkan oleh Shakir memiliki potensi untuk menjadi kekuatan yang membebaskan, jika dipahami dengan benar dan dalam paradigma Islam normatif. Tujuannya adalah untuk melakukan advokasi atas sebuah negara Islam yang didasarkan pada kontrak sosial antara pemerintah dan yang diperintah, bahwa penguasa ditunjuk dengan persetujuan dari yang diperintah untuk menjalankan urusan mereka menurut Islam, menjamin hak-hak semua warga negara Muslim dan untuk diperlakukan secara adil dan dengan proses yang wajar, tanpa campur tangan dalam urusan ibadah pribadi mereka dan perilaku pribadi, dimana ruang-ruang publik dan transaksi diatur menurut hukum Islam.
Langkah yang menuju pembentukan negara tersebut yang mengacaukan status quo yang diciptakan sebagai hasil imperialisme bisa berfungsi sebagai platform yang dianjurkan Shakir untuk bisa bekerja sama dengan kekuatan anti-imperium secara internasional baik di Amerika Selatan, Afrika dan Asia, dengan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk kembali membayangkan masa depan mereka dengan cara yang tidak dibatasi oleh penyempitan konsep pasca-kolonialisme dan politik destruktif nasionalisme. (rz)
Dr Reza Pankhurst (Twitter: @ rezapankhurst) adalah seorang cendekiawan politik dan sejarawan, yang mengkhususkan diri dalam masalah Timur Tengah dan gerakan-gerakan Islam. Bukunya yang terbaru, The Inevitable Khilafah? Sejarah Perjuangan Persatuan Islam Global, 1924 Hingga Sekarang, diterbitkan oleh Hurst dan tersedia. Dia adalah mantan tahanan politik di era rezim Mubarak.
Sumber : www.newcivilisation.com