Oleh : Abu Nasir, Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kobar
Di tengah suasana peringatan kemerdekaan RI ke 68, penulis teringat pernyataan kontroversial yang dilontarkan Menteri Keuangan Chatib Basri. Mantan Kepala BKPM ini pernah mengatakan “Kantongi dahulu nasionalismemu. Tidak ada tempat lagi bagi nasionalisme dan kedaulatan ekonomi di tengah terang benderangnya arus globalisasi”. Hal ini disampaikan Chatib dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa waktu lalu, sebagai tanggapannya kepada para ekonom pengritik pemerintah yang disebutnya ekonom berpikiran sempit dan picik. (m.itoday.co.id). Meskipun tidak sependapat, penulis hanya ingin mengatakan bahwa apa yang disampaikan Chatib sesungguhnya merupakan fakta sekaligus kritik terhadap nasionalisme itu sendiri. Bukan hanya dalam konteks ekonomi, namun mencakup segala aspek. Kita mungkin masih ingat, ketika terjadi krisis ekonomi pada 1998, para pengusaha dalam negeri yang asli WNI dan dibesarkan di Indonesia malah ramai ramai menarik modal ke luar negeri. Para pengusaha tidak lagi berpikir dampak dari keputusan tersebut yang akan semakin memperparah kondisi ekonomi dalam negeri. Penulis berkeyakinan dalam otak para pengusaha tersebut tidak terlintas sedikitpun rasa nasionalisme selain menyelamatkan kepentingan usaha masing masing. Dalam konteks kekiniian, kita pun menyaksikan para pemimpin di negeri ini yang ngakunya nasionalis justru kerap mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang. Sebut saja era presiden Mengawati dari partai yang terkenal nasionalis, namun tega melego Indosat dengan harga murah ke Singapore technologies Telemedia (STT) yang merupakan anak usaha Temasek Holding Company, MNC (Multi National Corporation) asal Singapura. Padahal, kebijakan tersebut menjadikan negara buntung dan mengancam kedaulatan negara. Era kepemimpinan presiden SBY setali tiga uang. Tanpa rasa berdosa, pemerintahan SBY menjual blok kaya minyak di Cepu ke operator asing Exxon Mobil dan bukan sebaliknya, menyerahkan pengelolaan ke Pertamina selaku perusahaan milik negara. Padahal, Gerakan Rakyat Penyelamat Blok Cepu (GRPBC) memperkirakan negara akan mengalami kerugian setidaknya Rp51 triliun berupa kehilangan pendapatan selama 10 tahun masa eksplorasi apabila ExxonMobil menjadi operator Blok Cepu (antaranews.com). Dari sisi regulasi, undang undang yang lahir dari gedung wakil rakyat mengusung semangat neo liberal dan mezalimi rakyat. Sebut saja UU Perkebunan, UU Minerba, UU Migas, UU Penanaman Modal, dan sebagainya.
UU liberal itu membenarkan penguasaan sumber daya alam kepada swasta bahkan asing. Begitu pula UU liberal itu juga membenarkan pemberian hak pengusahaan hutan dan perkebunan dalam skala yang sangat luas. Selanjutnya melalui berbagai peraturan di bawahnya, hak konsesi pertambangan, pengusahaan hutan atau pengusahaan lahan perkebunan diberikan untuk area yang sangat luas mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hektar.
Akibanya, perusahaan perusahaan asing seperti Exxon, Caltex, Newmount dan lain lain semakin mudah menguasai dan mengeksploitasi kekayaan Indonesia. Lantas, apakah model pemimpin semacam itu dapat dikatakan nasionalis ? Yang tak kalah penting, mengapa begitu sulit untuk menjadikan nasionalisme sebagai dasar kehidupan bernegara ? Jangan jangan apa yang disampaikan Chatib Basri ada benarnya bahwa nasionalisme sudah tidak relevan lagi dalam era globalisasi saat ini. Sebab, para pemimpin dan institusi negara yang seharusnya menjadi contoh dan model bagi penerapan nasionalisme, justru menjadi garda terdepan dalam mengacak acak rasa nasionalisme itu sendiri.
Jika kita renungkan secara mendalam, ada dua persoalan mendasar mengapa kemudian nasionalisme semakin terkikis bahkan sirna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, dari sisi kelahiran konsep nasionalisme itu sendiri yang muncul dan disebarkan bukan sebagai alat pemersatu dan pendorong kemajuan sebuah bangsa. Nasionalisme yang lahir dari Barat justru disebarkan sebagai racun untuk memecah belah dan menciptakan konflik antar wilayah. Nasionalisme menurut Hans Kohn diartikan sebagai keadaan pada individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air.
Fakta sejarah umat Islam –yang sering dilupakan atau sengaja dikaburkan- menunjukkan bahwa paham nasionalisme ini memiliki peran penting untuk meruntuhkan dan memecah belah wilayah Daulah Khilafah (negara kesatuan kaum muslimin). Akibat paham nasionalisme, Negara Islam yang sebelumnya bernaung di bawah panji tauhid, di bawah satu negara Khilafah Islamiyah akhirnya dipecah-pecah menjadi sekitar 70 negeri-negeri kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Petaka ini diawali dengan runtuhnya Daulah Utsmaniyah di Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk –Laknatullahalaih- pada tahun 1924 masehi. Sebagai gantinya, Kemal Attarturk kemudian mendirikan negara Turki modern yang berbasis sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain nasionalisme adalah melemahkan umat. Nasionalisme terbukti menghilangkan kepedulian umat terhadap sesama saudara muslim. Negeri-negeri Islam menjadi santapan empuk bangsa-bangsa imperialis. Setiap negara harus menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan seorang diri. Dengan dalih bahwa itu bukan masalah dalam negeri dan kita tidak berhak campur tangan persoalan dalam negeri negara lain menjadikan umat Islam tidak peduli terhadap nasib saudara saudaranya di berbagai belahan dunia yang sedang tertindas. Saat Palestina dibantai, Muslim Rohingya merintih, Suriah menangis dan Mesir bergejolak, tak ada yang bisa kita lakukan. Jangankan membela, untuk sekedar bersedih dan merasa iba pun barangkali tidak pernah terlintas dalam pikiran kita. Sudah begitu, para pemimpin dalam negeri dan negeri-negeri Arab hanya membela sebatas retorika tanpa pernah melakukan tindakan nyata.
Nasionalisme telah mematikan kehirauan umat Islam di suatu negara kepada umat Islam di negara lainnya. Padahal umat Islam di mana pun sejatinya adalah saudara satu akidah yang wajib dibela. Nasionalisme juga bertentangan dengan Islam, sebagaimana sabda Rasululullah saw., ”Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada ‘ashabiyah; bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah; bukan termasuk umatku orang yang mati atas dasar ‘ashabiyah (nasionalisme dan kesukuan).” (HR Abu Dawud).
Allah SWT juga berfirman:
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).
Alasan kedua, secara faktual konsep nation state yang bertumpu pada nasionalisme ternyata semakin tidak rasional dalam era globalisasi saat ini. Tengok saja, negara negara di Eropa justu menghapus sekat sekat nasionalisme dalam bidang ekonomi dengan menyatukan mata uang euro pada 4 Januari 1999. Sebelas anggota Uni Eropa (EU), yakni Austria, Belgia, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, Luksemburg, Belanda, Portugal, dan Spanyol, berharap satu mata uang ini akan meningkatkan integrasi Eropa dan meningkatkan perekonomian (nationalgeographic.co.id). Negara negara tersebut sadar bahwa dalam menghadapi tantangan global saat ini tidak bisa bertumpu pada kekuatan sendiri dan harus saling bersinergi dengan negara negara kawasan. Secara tidak langsung mereka ingin mengakui bahwa nasionalisme tidak cukup ampuh menopang eksistensi sebuah bangsa.
Penyatuan mata uang euro menjadi bukti bahwa konsep penyatuan negara negara kecil / nation state dalam satu negara kesatuan dengan wilayah yang luas bukanlah ide utopis . Sebab, jika Eropa bisa bersatu secara ekonomi, maka sangat mungkin kelak akan bersatu secara politik dan pemerintahan. Ini menjadi bukti bahwa konsep negara kesatuan dalam Islam yakni Khilafah Islamiyah ternyata merupakan ide cemerlang yang mampu menjawab tantangan segala zaman. Padahal, konsep pemerintahan Islam ini lahir pada 14 abad yang lalu. Maha Besar Allah SWT yang telah menyempurnakan dan menurunkan Islam sebagai panduan dan solusi hidup sepanjang masa.
Terlebih lagi, secara teologis umat Islam juga diwajibkan hidup dalam satu kepemimpinan seorang khalifah dalam institusi Negara Khilafah, bukan justru mengadopsi konsepsi nation state yang dipimpin oleh puluhan presiden atau raja seperti saat ini. Sabda Nabi saw., “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim). Karena itu racun nasionalisme yang telah menciptakan konsep nation state ini sudah selayaknya dibuang jauh-jauh dari pemikiran umat. So, simpan nasionalisme di kantongmu. []
Dimuat di harian Borneonews, Senin/19/8/2013
karena pejabat yang dan “wakil rakyat” terpilih berkat partai politk, maka pejabat dan “wakil rakyat” berkepentingan demi kelangsungan hidup partai politiknya, dari mana lagi uang untuk partai politiknya kalau bukan dari pengusaha, kepentingan negara dan rakyat dikorbankan yang penting dirinya dan partainya selamat, nasionalismen “non sense” = omong kosong