Oleh: KH M.Shiddiq al Jawi
Menjual belikan bayi hukumnya haram, merupakan dosa besar, dan sekaligus menunjukkan rusaknya masyarakat pada tingkat kerusakan yang hebat.
Keharamannya didasarkan pada hadits shahih yang mengharamkan jual beli manusia merdeka (bukan budak). Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits qudsi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : قال الله : ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة رجل أعطي بي ثم غدر ورجل باع حراً فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيراً فاستوفى منه ولم يعطه أجره
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: Allah berfirman: “Ada tiga golongan yang Aku (Allah) akan menjadi lawan mereka pada Hari Kiamat nanti; seorang yang bersumpah dengan menyebut nama-Ku lalu berkhianat, seorang yang menjual seorang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan hasilnya, dan seorang yang mempekerjakan seorang pekerja (lantas) ketika pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, orang itu tidak membayar upahnya.” (HR. Muslim: no 2114).
Berdasarkan dalil tersebut jelas haram memperdagangkan bayi seperti yang terjadi pada masa sekarang, karena bayi pada masa sekarang hakikatnya adalah orang merdeka, bukan budak. Alasan apapun tak dapat membenarkannya, misalnya ibu si bayi sedang dililit kesulitan ekonomi, atau harga penjualan itu hanya untuk biaya persalinan dan sebagainya. Semuanya adalah alasan batil yang tidak ada nilainya sama sekali dalam pandangan syariah Islam.
Dosanya akan semakin berlipat ganda, jika bayi itu adalah hasil dari hubungan helap atau zina. Karena perbuatan zinanya sendiri adalah dosa, apalagi kemudian hasil zinanya itu diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Tentu lebih besar lagi dosanya. Na’uzhu billah min dzalik.
Perdagangan bayi yang terjadi saat ini menunjukkan rusaknya masyarakat pada tingkat kerusakan yang hebat. Mengapa? Karena 2 (dua) alasan utama : pertama, masyarakat terbukti semakin pragmatis tanpa peduli lagi halal haram. Yang diutamakan hanyalah materi saja, walaupun harus melanggar syariah islam. Kedua, masyarakat semakin luntur penghargaannya kepada manusia, karena memperlakukan manusia tak lebih dari sekedar barang dagangan lainya semisal sapi atau kambing.
Namun perlu diingat, sikap pragmatis dan anti-kemanuisaan itu tak tumbuh dengan sendirinya di masyarakat muslim. Kedua nilai itu hanya dapat tumbuh subur dalam masyarakat demokrasi-sekuler seperti yang ada saat ini. Karena dalam masyarakat demokrasi sekuler yang tidak menjalankan syariah Islam sajalah, pragmatisme dan sikap anti-kemanusiaan akan menemukan lahan suburnya untuk tumbuh.
Karena itu, solusi untuk perdagangan bayi tidaklah cukup dengan penegakan hukum (law enforcement) oleh kepolisian dan aparat hukum lainnya, melainkan harus dilakukan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Dari masyarakat demokrasi-sekuler saat ini anti syariah Islam dalam hal sistem dan tatatan nilainya, menuju masyarakat Islami yang mengutamakan nilai-nilai kebajikan berdasarkan syariah Islam (bukan pragmatis), dan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, bukan anti-kemanusiaan seperti peradaban kafir penjajah dari Barat yang kejam dan biadab.