APEC, Alat Penjajahan Ekonomi (Negara) Kapitalis

Bagi AS, Asia Pasifik kini menjadi kawasan terpenting di dunia baik dari sisi politik maupun ekonomi.

Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Forum akan berlangsung di Bali 1-8 Oktober 2013. Selain dihadiri para kepala negara anggota APEC, forum itu akan menjadi ajang pertemuan 1.200 CEO dari berbagai negara.

Seberapa pentingkah APEC ini sebenarnya? Bila disimak lebih mendalam, ada misi utama forum ini yakni menjadikan APEC sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi global yang kini ini masih berada dalam fase pelemahan serta melanjutkan pencapaian misi organisasi tersebut yaitu liberalisasi sektor perdagangan dan investasi yang telah dicanangkan pada deklarasi Bogor tahun 1994 silam. Dalam deklarasi tersebut, disepakati perdagangan bebas dan terbuka untuk negara-negara industri anggota APEC berjalan pada 2010 dan negara-negara berkembang pada tahun 2020. Salah satu capaian APEC adalah adalah hambatan perdagangan intra negara-negara APEC telah turun dari 17 persen pada tahun 1989 menjadi 6 persen pada 2010.

Gabungan negara-negara anggota APEC yang terdiri atas 21 negara tersebut melingkupi 40 persen populasi dunia, 50 persen perdagangan dunia dan 56 persen total PDB dunia. Meskipun demikian kekuatan masing-masing negara anggotanya jika diukur dengan PDB—tentu sangat timpang. AS dan Cina merupakan dua raksasa ekonomi yang menguasai 19 persen dan 15 persen PDB  dunia atau lebih dari sepertiga kekuatan ekonomi dunia. Sementara Indonesia hanya dua persen saja.

Besarnya potensi ekonomi tersebut tentu saja merupakan incaran negara-negara besar. AS dan Cina misalnya saling berebut untuk menancapkan pengaruhnya melalui forum-forum APEC. Bagi AS, sebagaimana yang dinyatakan oleh Obama, Asia Pasifik kini menjadi kawasan terpenting di dunia baik dari sisi politik maupun ekonomi. Maklum, 60 persen ekspor AS mengalir ke negara-negara anggota APEC. Selain itu, kawasan tersebut juga merupakan salah satu pusat investasi AS baik investasi langsung maupun di sektor finansial. Pada 2012 misalnya, nilanya mencapai 25 persen dari total investasi negara tersebut.

Di Indonesia, investasi perusahaan-perusahaan AS merambah berbagai sektor. Di sektor migas misalnya ada Cevron, Conocophillips, Exxon Mobile yang menguasai 52 persen pengelolaan minyak di Indonesia. Di sektor pertambangan ada Newmont Mining dan Freeport-Mcmoran. Di sektor pertanian ada Monsanto, Dupon dan Chargill. Selanjutnya di sektor perbankan dan investasi ada Citigroup dan JP Morgan. Di bidang perhotelan ada Hyat Group dan Mariot dan ratusan perusahaan multinasional lainnya seperti: Philips Morris, Kraft, dan Cocacola.

Oleh karena itu, tidak heran jika AS sangat berambisi agar target-target dari APEC segera terealisasi. Bahkan untuk mempercepat agenda liberalisasinya, AS terus mendesak agar negara-negara APEC bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). Kesepakatan-kesepakatan tersebut menjadi sangat penting bagi AS. Apalagi  saat ini, negara tersebut masih dalam fase pemulihan akibat krisis ekonomi, sehingga peningkatan volume perdagangan dan investasi menjadi semakin penting agar pengangguran di negara tersebut dapat ditekan. Lebih dari itu, meskipun APEC merupakan forum kerjasama ekonomi, namun sikap politik AS dan negara-negara kuat lainnya juga kerap disusupkan untuk dijadikan sebagai agenda bersama seperti perang melawan terorisme.

Jerat Negara Maju

APEC sebagaimana halnya perjanjian ekonomi bilateral dan multilateral lainnya, menjadikan liberalisasi sebagai doktrin utama. Liberalisasi perdagangan, jasa dan investasi dipandang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara sekaligus mampu mendorong peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya, realitas yang terjadi  tidak seindah  teorinya.

Liberalisasi investasi misalnya telah menciptakan berbagai krisis ekonomi dan keuangan yang hingga melanda negara-negara kapitalisme. Berbagai paket reformasi struktural dan kebijakan yang dijalankan justru menimbulkan kegoncangan baru. Paket stimulus ekonomi Bank Sentral AS (quantitative easing), berupa pembelian surat-surat berharga oleh bank Sentral AS dengan ‘mencetak’ triliunan dollar AS, justru berefek pada inflasi dan fluktuasi tajam mata uang dan bursa saham negara-negara di dunia termasuk Indonesia.

Di sisi lain, kalaupun ada manfaat dari pemberlakuan liberalisasi, maka yang paling diuntungkan adalah negara-negara kapitalis yang telah maju. Dengan kekuatan politik dan ekonomi yang mereka miliki, berbagai cara mereka tempuh agar tetap menangguk untung dari perjanjian tersebut. Sektor pertanian negara-negara AS dan Uni Eropa misalnya  hingga kini terus mendapatkan subsidi besar. Sebaliknya mereka terus mendesak agar negara-negara berkembang membuka kran impor mereka. Tidak heran, jika negara agraris seperti Indonesia harus bergantung pada pangan impor seperti kedelai yang 90 persennya berasal dari AS. Stabilitas ekonomi Indonesia juga sangat rapuh sebagaimana indikator sosialnya seperti kemiskinan dan pengangguran yang juga sangat buruk.

Dengan demikian, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang lebih superior. Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain, struktur perekonomian negara-negara berkembang terus didesain agar terus bergantung kepada negara-negara maju tersebut. Akibatnya, mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh. [] M Ishak/LM HTI

BOKS

Liberalisasi, Haram!

Liberalisasi ekonomi tentu saja haram dalam pandangan Islam, sebab ia telah menjadi sarana yang ampuh bagi negara-negara kufur untuk mencengkeramkan ideologi dan pengaruhnya terhadap negeri-negeri Islam.

Padahal hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa:  “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. An Nisa 141).

Di sisi lain, APEC dan berbagai perjanjian ekonomi yang dipropagandakan AS dan negara-negara Barat sejatinya tidak lain merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (al-hurriyah al-milkiyyah). Ini ditandai dengan kebebasan untuk memproduksi dan memperdagangkan berbagai barang dan jasa, kebebasan untuk berinvestasi di sektor riil dan non riil, di samping kebebasan mobilitas manusia khususnya tenaga kerja. Hal-hal demikian, tentu saja sangat bertentangan dengan Islam yang mengharuskan segala kegiatan ekonomi terikat pada hukum syara’. [] (M. Ishak)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*