Kiris rasanya menatap kondisi pendidikan di negeri ini. Mutunya kian melorot dalam 60 tahun terakhir. Penelitian Human Depelomment Indeks (HDI) mengungkapkan, tahun 2004 pendidikan kita berada di urutan ke-111 dari 175 negara. Problem terjadi di sana sisi; mulai dari sarana yang tidak memadai1, membengkaknya anak putus sekolah, obral ijazah, jual-beli nilai, ketidakprofesionalan para pendidik,2 kebijakan Pemerintah yang anomali dan kurikulum yang gonta-ganti3 sampai pada output peserta didik dengan kualitas serba tanggung. Belum lagi kepribadian peserta didik yang terpecah dengan keahlian minim dan perilaku yang amburadul.
Segudang masalah pendidikan di Indoenisia tersebut hakikatnya berakar pada sistem kapitalisme-sekular yang diterapkan di negeri ini. Ideologi Kapitalisme meniscayakan sistem politik, ekonomi, termasuk pendidikan yang kapitalistik. Wajah pendidikan yang bersifat sosial berubah menjadi profit oriented. Prinsip kapitalisasi pendidikan ini telah menggeser visi mulia lembaga pendidikan menjadi sekadar alat untuk mencari keuntungan. Pada akhirnya pendidikan hanya menjadi komoditas ekonomi. Politik ekonomi laissez faire seperti yang diserukan Adam Smith—laissez faire, laissez passer, et le monde va lui meme—telah mewabah dan merasuki dunia pendidikan. Intinya: biarkan bebas; pemerintah jangan campur tangan dalam perekonomian, termasuk pendidikan.
Kapitalisasi pendidikan sesungguhnya berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktor utamanya, yaitu Trans National Corporations (TNCs), yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO yang menganut paham, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai sebagai hasil normal melalui kompetisi bebas. Mekanisme ekonomi benar-benar diserahkan pada pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah dan negara. Implikasinya, pemerintah dijauhkan dari campur tangan untuk meregulasi perusahaan-perusahaan swasta. Semua aspek mengalami liberalisasi dan kapitalisasi, termasuk bidang pendidikan. Proses otonomi kampus dan pencabutan subsidi pendidikan dilakukan karena dianggap akan menghambat persaingan bebas—dalam bidang pendidikan.
Implikasinya, di Indonesia pada tahun 2000 beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diubah bentuknya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Beberapa PT pavorit seperti UI, ITB, UGM, IPB kemudian berlomba-lomba membuka “jalur khusus” dalam menerima mahasiswanya. Biaya masuk naik mulai dari Rp 25 juta sampai Rp 150 juta. Seiring dengan berputarnya ekonomi kapitalis di negeri ini, kenaikan BBM, dan inflasi di sektor moneter, pada tahun ajaran 2005-2006 biaya pendidikan di perguruan tinggi maupun swasta naik lagi 5–10 % persemester.
Kepentingan Kaum Kapitalis Terhadap Pendidikan
Profitisasi pendidikan ini tidak lepas dari kepentingan para pemodal. Tujuannya tidak lain untuk semakin memperkokoh hegemoni sistem Kapitalisme di negeri ini. Kapitalisasi pendidikan merupakan paket yang tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan sistem kapitalis itu sendiri. Cengkeraman sistem kapitalis tidak akan mengakar ketika sistem pendidikan tidak dikapitalisasi. Kapitalisasi dunia pendidikan merupakan rangkaian dari kapitalisasi sumberdaya alam, listrik, kesehatan, dan sarana publik lainnya.
Terwujudnya SDM yang pro kapitalis adalah rangkaian kepentingan berikutnya. Manusia-manusia yang pro kapitalis, yakni manusia-manusia yang pro terhadap konsorsium ekonomi internasional seperti IMF dan World Bank, sangat diperlukan untuk memuluskan agenda-agenda kapitalis global di negeri ini. Pengamat ekonomi menengarai, bahwa tim ekonomi kita dari periode ke periode tidak jauh dari SDM yang pro kapitalis dengan julukan “Mafia Barkely”. Faktanya adalah tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) sekarang ini. Sebut saja Boediono sebagai Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian dan orang-orang di sekitarnya. Revrisond Baswir menganalisis bahwa posisi Boediono ketika dilamar SBY ke KIB beberapa waktu yang lalu adalah berkat prestasi Boediono dalam memperpanjang kontrak IMF dalam era Pemerintahan Megawati. Sebagaimana diketahui, kontrak IMF di sini mestinya berakhir pada akhir 2002. Namun, secara diam-diam Boediono berhasil memperpanjang kontrak IMF selama setahun hingga akhir 2003. (Republika, 5/12/2005). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pihak yang paling berpengaruh terhadap pelaksanaan perombakan KIB—dalam sektor ekonomi—pada akhirnya tetap IMF, Bank Dunia, dan jaringan perusahaan multinasional yang beroperasi di sini. KIB didominasi oleh para ekonom sahabat Boediono yang sering disebut Revrisond sebagai para ekonom neoliberal pemuja IMF.
Untuk selanjutnya SDM pabrikan sekolah kapitalis ini, sadar atau tidak, hanya menjadi antek-antek kapitalis. Banyak kalangan yang mensinyalir, akademisi yang serta-merta menyetujui perubahan status perguruan tinggi menjadi BHMN adalah antek-antek mereka. Dimenangkannya Exxon Mobile dalam mengelola sumber minyak di Cepu tidak luput dari upaya yang cukup gigih dari antek-antek kapitalis. Swastanisasi SDA, listrik, serta sarana publik lainnya adalah juga berkat anak bangsa yang menjadi antek-antek kapitalis. Diam-diam, antek-antek itu juga dengan licik berupaya mendorong percepatan pengesahan RUU Penanaman Modal—yang sangat menguntungkan kepentingan kapitalis asing—beberapa waktu yang lalu.
Hajat berikutnya dari kaum kapitalis adalah upaya memproduksi SDM murah yang mudah dieksploitasi. Paradigma pendidikan kapitalistik hakikatnya semakin mereduksi dan mengeliminasi nilai-nilai yang memanusiakan manusia dalam proses pendidikan. Sekolah dalam pandangan kapitalis tidak lebih dari pabrikan yang akan menghasilakan manusia-manusia dengan SDM yang murah dan mudah dieksploitasi. Biaya pendidikan yang mahal bagi masyarakat mamaksa berbagai perguruan untuk membuka “program khusus” untuk menghasilkan tenaga kerja yang “siap pakai”. Sekolah tidak lebih dari produsen tenaga kerja pesanan pasar. Lembaga pendidikan akhirnya lebih berorientasi pada bagaimana menjadikan anak-anak didiknya tenaga terampil, sementara faktor pembinaan kepribadian mereka cenderung terabaikan.
Orientasi pendidikan peserta didik pun tidak lebih dari: cepat lulus, segera mendapatkan pekerjaan yang layak, kawin, dan sesegera mungkin mengembalikan modal orangtua—walaupun dalam realitasnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kenyataan justru berbicara lain. Lulusan dari beberapa perguruan tinggi semakin menambah jumlah pengangguran.
Dampak Kapitalisasi Pendidikan
Penjajahan di negeri ini—dalam arti dominasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan—sesungguhnya belum berakhir. Kapitalisasi dunia pendidikan adalah wujud nyata penjajahan itu sendiri, bahkan merupakan bentuk pengokohan penjajahan. Dengan biaya pendidikan yang melangit, pendidikan yang bermutu hanya dapat diakses oleh orang-orang yang berduit saja. “Orang miskin dilarang sekolah!” Kondisi ini mirip sekali dengan zaman kolonial dulu. Pendidikan kolonial hanya menghendaki orang-orang dari golongan ningrat saja yang dapat mengenyam pendidikan. Kaum pribumi tidak boleh sekolah dan hanya tinggal di rumah menjadi buruh-buruh majikan. Dengan kondisi seperti ini, masyarakat miskin akan semakin miskin dan bodoh.
Pemikiran bahwa pendidikan bermutu memerlukan biaya yang tinggi adalah menyesatkan. Memang, pendidikan yang berkualitas dan bermutu memerlukan biaya dan fasilitas yang mahal, namun tidak berarti bebannya harus ditanggung oleh rakyat! Alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN—yang merupakan amanat konstitusi—sepertinya masih dalam angan-angan. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai sebuah produk hukum yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air ternyata tidak sepenuhnya ditaati oleh Pemerintah. Pasal (5) dengan tegas menyebutkan: …negara menjamin setiap warga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Untuk mewujudkan itu, dalam Pasal (49) dinyatakan: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
Pendidikan mahal juga memunculkan ekses-ekses sosial serius di lapisan masyarakat bawah. Yanto, seorang anak SD dari Garut, misalnya, bunuh diri hanya karena tak sanggup membayar SPP Rp 2.500. Seorang gadis gantung diri karena tidak dapat ikut karyawisata yang hanya Rp 11.000. Seorang ibu dianiaya akibat mencuri buah nangka muda karena sang anak meminta biaya untuk iuran sekolah. Tindak kekerasan juga akan sangat mudah terjadi karena tidak ada lagi lembaga yang akan mengajarkan manusia tentang arti keperibadian, moral, etika, serta saling hormat dan menghormati.
Problem kesenjangan sosial akhirnya semakin terbukan lebar. Yang kaya semakin kaya dan pintar; yang miskin semakin miskin dan bodoh. Orang miskin semakin terhambat untuk mendapatkan aktualisasi eksistensi kecerdasannya. Sungguh, inilah tontonan ketidakadilan yang sangat vulgar.
Dampak lain dari pendidikan kapitalistik-sekularistik adalah munculnya manusia-manusia sekular yang hidup dengan prinsip-prinsip sekular. Para pejabat dan penyelenggara negara yang berkhianat terhadap rakyat, menjadi antek-antek dengan cara menjual diri untuk kepentingan asing penjajah, tidak pernah berpihak kepada rakyat, adalah tontonan nyata SDM pabrikan pendidikan sekular. Tidak akan pernah ada rasa empati dari manusia yang seperti ini. Lulusan seperti ini tidak pernah akan bisa mengerti tentang permasalahan rakyat dan bangsa mereka.
Pengiriman beasiswa ke berbagai negara kapitalis mejadi contoh lebih kongkit dari manusia-manusia sekular yang dihasilkan oleh pendidikan kapitalis. Jane Paul Sartre, dalam buku Lesdamnes De La Terra karya Francois Nellino, menuturkan kepada kita tentang sistem dan penyiapan kaum terpelajar (tepatnya pseudo-Eropa) yang dilakukan Barat terhadap orang-orang Timur. Ia mengatakan:
Kita memilih beberapa orang pemuda Afrika dan Asia untuk kita kirim beberapa bulan lamanya ke Amsterdam, Paris, London dan Brussel (sekarang tambah AS dan Australia). Sesudah beberapa waktu mereka kita beri baju dengan model Eropa, kita suapkan istilah-istilah Eropa, dan kita kuliti mereka dari peradaban mereka. Sesudah itu, kita ubah mereka menjadi bebek-bebek dan kerbau-kerbau, dan itulah saatnya bagi mereka untuk siap dikirim pulang. Dengan demikian, mereka akan menjadi bebek-bebek yang setia menyuarakan segala sesuatu yang kita ucapkan tanpa mereka sendiri tahu artinya. Segala sesuatu yang kita kerjakan akan mereka ikuti, dan mereka bangga mengatakan bahwa telah berkata dan berbuat seuatu demi dirinya sendiri. Mereka itulah yang kita sebut dengan assimiles.
Wallâhu a‘lam. [Luthfi Hidayat; Dosen Universitas Muhammadiyah Sukabumi]
Catatan kaki:
- Di Jawa Barat tercatat 67 % dari 191.709 gedung sekolah rusak sehingga menduduki peringkat pertama di Indonesia yang memiliki jumlah gedung sekolah rusak terbanyak. Di Jawa Timur sebanyak 4.500 dari 22.000 gedung sekolah tingkat SD dan SLTA lebih gedung rusak, dan beberapa diantaranya ambruk dan roboh (Tempo Interaktif, 29 Juli 2004).
- Evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2004, dari 2,7 juta guru menunjukkan bahwa ketidaksesuaian ijazah yang mengajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan jika mengacu pada persyaratan yang ada. Guru SD tercatat 66,11 persen yang tidak memiliki ijazah sesuai ketentuan, guru SMP 39,99 persen, dan guru SMA sebanyak 34,08 persen. Selain itu, secara umum terdapat 15,21 persen guru pada berbagai jenjang pendidikan dasar dan menengah mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. Hasil survei dari Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka Toharuddin (Oktober 2005).
- Ada kurikulum 1994, CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBS (Kurikulum Berbasis Sekolah), tahun 2004 diganti dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tak lama berumur, tahun 2006 ganti lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan persiapan yang sangat tidak matang.