APEC: Pintu Eksploitasi dan Kontrol (Bagian 1)

Keikutsertaan dalam APEC: Capaian Makro Yang Semu

 

Pertemuan APEC tahun ini diselenggarakan di Bali 1-8 Oktober.  Gelaran ini merupakan puncak dari rangkaian pertemuan APEC selama setahun ini yang dimulai sejak Desember tahun lalu.

KTT  APEC ini mengusung tema “Resilient Asia Pacific, Engine of Global Growth –Asia Pasifik yang Tangguh sebagai Mesin Pertumbuhan Global” dengan tiga prioritas: Pertama, attaining the Bogor Goals (pencapaian target Bogor) yaitu perluasan perdagangan dan investasi, serta reformasi struktural. Kedua, sustainable Growth with Equity (pertumbuhan berkelanjutan disertai pemerataan) dengan fokus pada pada daya saing global sektor UKM, inklusi finansial, ketahanan pangan dan kesehatan. Ketiga, promoting connectivity (mendorong konektifitas) dengan fokus pada isu konektifitas fisik termasuk pengembangan dan investasi infrastruktur dan konektifitas kelautan, konektifitas institusional dan konektifitas antar orang.

Ini untuk kali kedua, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan KTT APEC.  Yang pertama pada tahun 1994 diselenggarakan di istana Bogor yang menghasilkan deklarasi Bogor yang berisi Bogor Goals.  Bogor Goals itu meliputi:

1. Menciptakan sistem perdagangan dan investasi yang bebas, terbuka dan adil di kawasan tahun 2010 untuk ekonomi maju dan 2020 ekonomi berkembang.

2. Memimpin dalam memperkuat sistem perdagangan multirateral yang terbuka, meningkatkan liberalisasi perdagangan dan jasa, mengintensifkan kerjasama ekonomi di Asia-Pasifik.

3. Mempercepat proses liberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan dan investasi yang lebih jauh, meningkatkan arus barang, jasa, modal secara bebas dan konsisten dengan GATT (sekarang WTO).

Di situs APEC ketiga prioritas itu dijelaskan lebih detil.  Attaining the Bogor Goals (pencapaian target-target Bogor). Para ahli ekonomi APEC akan melanjutkan usaha untuk menjaga momentum untuk liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi, yang merefleksikan komitmen para pemimpin APEC pada 1994, dengan kerangka kerja dari deklarasai Para Pemipin APEC Bogor dan Statement par apemimpin ekonomi APEC pada 2010 di Yokohama. Para ekonom akan lebih jauh menerjemahkan komitmen itu menjadi kerja yang solid untuk mencapai integrasi ekonomi regional yang lebih tipis di kawasan Asia Pasifik.

Usaha untuk mencapai target-target Bogor itu akan dilakukan melalui usaha guna menciptakan integrasi ekonomi regional yang lebih dalam, seperti 1. Penguatan sistem perdagangan multilateral; 2. Liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi; 3. Pembangunan kapasitas operasi pada LAISR/ANSSR.

Prioritas kedua, Achieving Sustainable Growth with Equity (mencapai pertumbuhan berkelanjutan disertai pemerataan).  APEC bekerja dibawah progres Strategi Pertumbuhan Para Pemimpin 2010 yang dideklarasikan di Yokohama.  Para ekonom APEC akan terus menjaga pertumbuhan bagian dari keberlanjutan pertumbuhan itu dan menjamin pertumbuhan itu bersifat inklusif.

Dengan beragamnya tingkat negara anggota APEC dalam hal kemampuan dan daya tahan menghadapi krisis ekonomi global, penyelarasan upaya akan difokuskan pada pemberdayaan ekonomi, keterlibatan stakeholders dan pemanfaatan potensi yang belum dimanfaatkan.

Penyelarasan upaya ini penting untuk mengatasi dan mengurangi berbagai kerentanan dari dalam dan luar kawasan, dan yang semua stakeholder akan berbagi buah dari pertumbuhan.

APEC 2013 akan lebih memfokuskan usahanya pada respon komprehensif terhadap tantangan ekonomi dan keuangan dunia yang muncul.

Ini akan dilakukan dengan meningkatkan daya saing global UKM melalui inovasi dan menekankan produktivitas perempuan dalam perekonomian, sebagaimana juga bekerja untuk memastikan inklusi keuangan, penguatan ketahanan pangan dan meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan.

Prioritas ketiga, Promoting Connectivity (mempromosikan konektifitas).  Komitmen untuk meningkitkan konektifitas rantai pasokan seperti yang sudah dideklarasikan ole para pemipian APEC di Singapura tahun 2009 merupakan kerangka pengetahuan pada pentingnya penguatan konektiftas di kawasan. Prioritas ini akan bersesuaian dengan usaha konkret untuk menautkan pusat pertumbuhan dan pengembangan pusat pertumbuhan bau di kawasan sedemikian untuk meningkatkan output dan produktifitas kawasan.

APEC dapat memberikan nilai tambah yang potensia dengan mempromosikan konektifitas dan semua dimensinya untuk kerja ini.  Usaha pada koektifitas akan fokus pada konektiftas fisik, konektifitas institusional dan konektifitas antar orang.  Usaha APEC untuk memperkuat konektifitas akan dilakukan melalui pengembangan infrastruktur, mempromosikan dan memfasilitasi investasi infrastruktur, termasuk infrastruktur utuk konektifitas di samudera Pasifik sebagai jalur utama diantara ekonomi di kawasan.  Perdagangan dan investasi telah lebih jauh diliberalisasi, sementara orang telah diberdayakan, maka konektiftas akan menjadi hal yang lebih pentig untuk mengintegrasikan ekonomi kawasan.

Staf Ahli Menlu RI Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Wahid Supriyadi, menjelaskan bahwa Indonesia memberikan proposal impelemntasi ketiga konektifitas itu (5/4/2013). Menurutnya, ketiga konsep tersebut dapat menjadi acuan untuk mengakomodasi arus dan pergerakan barang-jasa serta individu di wilayah lintas Pasifik, termasuk Asia dan Amerika Selatan. Konektivitas fisik merupakan pembangunan infrastruktur perdagangan, perjalanan, energi, dan telekomunikasi yang dapat memudahkan arus ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Konektivitas institusional melingkupi isu-isu perdagangan dan investasi yang besifat tidak langsung atau behind the border issues. Dalam konteks institusional juga dibahas mengenai koordinasi antarinstitusi, mekanisme, dan proses ekonomi di APEC, seperti reformasi regulasi. Adapun konektivitas perorangan melingkupi pegerakan antarpenduduk dan kalangan profesional di APEC yang didorong dengan pariwisata, pendidikan, dan mobilitas tenaga kerja.

Jadi inti dari misi APEC adalah mewujudkan secara penuh liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik, termasuk di dalamnya pergerakan bebas barang dan jasa, orang dan juga modal.  Misi itu sudah diusung selama 24 tahun sejak dibentuk pada tahun 1989.  Selama itu ternyata negeri ini lebih banyak buntung daripada untung.

Capaian Makro

Perekonomian kawasan APEC tumbuh lebih tinggi dari rata-rata dunia.  Kawasan APEC periode 2003-2012 rata-rata tumbuh 7,39 persen dan nilai perdagangan internasional APEC tumbuh rata-rata 11,69 persen lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan dunia 11,44 persen.  Sementara nilai aliran investasi asing langsung ke APEC juga naik rata-rata 19,83 persen pertahun.

Selama ikut APEC ekonomi Indonesia juga tumbuh cukup tinggi.  Ketika menyampaikan RAPBN 2014 (16/8/2013) presiden SBY mengklaim sejumlah capaian ekonomi 2004 – 2013 (republika.co.id, 16/8/2013).  Ekonomi Indonesia periode 2004-2009 rata-rata tumbuh 5,5 persen per tahun. Pada periode 2009 – Juni 2013, ekonomi tumbuh rata-rata  5,9 persen per tahun.

PDB Indonesia meningkat dari US$ 1.177 per kapita pada tajun 2004 menjadi US$ 2.299 per kapita pada 2009, dan naik lagi menjadi US$ 3.592 per kapita pada 2012.  Pada periode yang sama angka pengangguran terbuka turun dari 9,86 persen pada 2004 menjadi 5,92 persen pada Maret 2013.  Dan berikutnya angka kemiskinan pun turun dari 16,66 persen atau 37,2 juta orang pada 2004 menjadi 11,37 persen atau 28,07 juta orang pada Maret 2013.

Data BPS, pendapatan nasional tiga tahun terakhir meningkat tajam, dari Rp 5.718,35 triliun tahun 2010, lalu Rp 6.660,23 triliun tahun 2011 dan berikutnya Rp 7.544,15 triliun tahun 2012.  Pendapatan perkapita 2000 – 2012 naik drastis, yakni Rp 6,12 juta tahun 2000, Rp 9,16 juta tahun 2004, Rp 18,77 juta tahun 2008, Rp 23,76 juta tahun 2010 dan naik menjadi 30,52 juta tahun 2012. Artinya, tahun 2012 tiap orang penduduk berpenghasilan Rp 2,5 juta perbulan. Semua angka itu mengindikasikan rakyat Indonesia makin makmur, benarkah?

Hanya Capaian Semu

Nyatanya, angka-angka di atas sekedar capaian makro yang lebih bersifat semu.  Fakta dan data pada tataran riil justru menunjukkan negeri ini lebih banyak buntungnya.

Faktanya masih ada 28,07 juta lebih orang yang miskin, dengan kriteria pengeluaran kurang dari Rp 259.520  per orang perbulan.  Bahkan data lain leih tinggi.  Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di bawah koordinasi Wapres angka jumlah orang miskin di Indonesia tahun 2012 – 2013 mencapai angka 96 juta jiwa. Angka ini naik signifikan dari angka 76,4 juta jiwa di tahun sebelumnya (lihat, nasional.kontan.co.id, 17/01/2013). Sementara itu jumlah keluarga miskin yang mendapat jatah raskin sebanyak 15,5 juta rumah tangga atau 62 juta orang (asumsi, satu rumah tangga terdiri dari empat orang).

Produk Domestik Bruto Indonesia memang terus mengalami kenaikan dari tahun  ke tahun.  Namun kenaikan nilai riil PDB itu tidak sefantastik kenaikan angkanya.  Hal itu bisa dilihat dengan membandingkan kenaikan PDB atas dasar harga berlaku dengan kenaikan PDB atas dasar harga konstan tahun 2000, seperti dalam tabel berikut:

Tabel Perbandingan PDB Atas Dasar Harga Berlaku dengan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Rp triliun)

PDB

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011*

2012**

PDB atas dasar harga berlaku

2. 295,83

2.774,28

3.339,22

3.950,89

4.948,69

5.606,20

6.446,85

7.422,78

8.241,86

PDB atas dasar harga konstan 2000

1.656,52

1.750,82

1.847,13

1.964,33

2.082,46

2.178,85

2.314,46

2.464,68

2.618,14

Ket: * Angka sementara; ** Angka sangat sementara; Diolah dari data BPS dengan pembulatan

 

Data ini menunjukkan pada periode 2004 – 2012bahwa PDB atas dasar harga berlaku mengalami kenaikan hampir empat kali lipat tepatnya 3,59 kali.  Namun jika dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, pada periode yang sama kenaikan PDB tidak sampai dua kali lipat, hanya 1,58 kali.  Kenaikan atas dasar harga konstan 2000 mencerminkan kenaikan riil nilai dari PDB.  Itu artinya, pada periode 2004-2012 secara nominal PDB naik empat kali lipat tepatnya 3,59 kali. Namun secara nilai sebenarnya hanya naik tidak sampai dua kalinya yaitu hanya 1,58 kali.  Jadi pada dasarnya tingkat kesejahteraan agregat seluruh penduduk Indonesia hanya 1,58 kali selama sembilan tahun. Jadi peningkatan kemakmuran yang sebenarnya ternyata jauh di bawah peningkatan nominalnya.

Fakta itu akan lebih ironis lagi jika ditambah fakta bahwa kenaikan tiu ternyata tidak merata, melainkan hanya dinikmati oleh sebagian kecil dari penduduk, khususnya hanya oleh kelompok kaya.  Hal itu bisa dilihat dari rasio gini dan data sebaran nilai rekening tabungan di bank umum.

Pertumbuhan ekonomi ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya.  Sebab, ekonomi tumbuh disertai naiknya kesenjangan pendapatan yang bisa dilihat dari naiknya rasio gini (diukur 0-1, makin tinggi artinya kesenjangan pendapatan makin tinggi. Angka nol artinya semua orang memiliki secara sama rata.  Angka satu artinya satu orang mendaat semua sementara yang lain tidak mendapat sama sekali).  Berdasarkan data BPS, angka rasio gini terus naik dari 0,32 tahun 2002, lalu menjadi 0,357 tahun 2009, lalu naik lagi menjadi 0,38 tahun 2010 dan tahun 2012 naik menjadi 0,41. Angka terakhir ini artinya, 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 16,88 persen dari total pendapatan, sementara 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari total pendapatan.  Artinya sekitar separo dari total pendapatan nasional hanya dinikmati oleh 20 persen penduduk.

Kenyataan lebih ironis justru diperlihatkan oleh data sebaran rekening tabungan di bank umum.  Data itu bisa dilihat dari data yang dirilis oleh Lembaga Penjamin Simpanan berikut ini.

 

 

Dari data tersebut bisa dilihat pada posisi Juli 2013 jumlah rekening di bank umum sebanyak 127.785.384 rekening (126.731.081 rekening rupiah dan 1.054.303 rekening valas) dengan total nilai simpanan rekening rupiah Rp 2.843 triliun dan rekening valas Rp 544,92 triliun.  Namun yang menyolok adalah jumlah rekening dengan nilai dibawah 100 juta rupiah sebanyak 124.715.215 rekening atau 97,6 persen dari total jumlah rekening dengan total nilai rekening hanya Rp 541,948 triliun atau 16 persen dari total nilai seluruh rekening.  Itu artinya 97,6 persen dari total jumlah rekening hanya menguasai 16 peren dari total nilai tabungan.  Sementara itu rekening dengan nilai 2 – 5 miliar rupiah sebanyak 101.738 rekening atau 0,08 persen dari total jumlah rekening, total nilai tabungannya 320,548 triliun atau 9,46 persen dari total nilai seluruh tabungan; dan rekening diatas 5 miliar berjumlah 58.113 rekening dengan nilai 1.484,812 triliun atau 43,83 persen dari total nilai tabungan.  Itu artinya 0,13 persen dari jumlah seluruh rekening (0,08% rekening 2-5 M dan 0,05% rekening > 5 M) menguasai 53,9 persen dari total nilai seluruh tabungan.  Data itu juga memperlihatkan 2,4 persen dari jumlah seluruh rekening ternyata menguasai 86 persen dari total nilai seluruh tabungan.

Data sebaran nilai tabungan itu memperlihatkan adanya kesenjangan yang jauh lebih buruk dari apa yang digambarkan oleh rasio gini.  Hal itu mengingat meski jumlah rekening mencapai 127 juta lebih atau sekitar setengah dari jumlah penduduk, bukan berarti itu menggambarkan kue ekonomi yang dinikmati setengah dari penduduk.  Sebab satu orang banyak yang memiliki beberapa rekening baik di bank yang sama atau di bank yang berbeda.  Diperkirakan dari jumlah penduduk Indonesia kurang dari 20 persen yang memiliki akun perbankan.  Mereka yang tidak memiliki rekening bank jumlahnya jauh lebih besar atau sekitar 80 persen lebih.  Ada banyak faktor yang membuat mereka tidak memiliki akun bank.  Bisa jadi kebanyakan disebabkan tidak memiliki uang yang harus disimpan di rekening bank.  Karena itu data sebaran rekening tabungan itu memperlihatkan betapa buruknya pemerataan pendapatan di tengah masyarakat Indonesia, jauh lebih buruk dari apa yang ditunjukkan oleh rasio gini.

Angka rasio gini dan sebaran rekening tabungan di bank umum itu jika dikaitkan dengan peningkatan PDB dan pertumbuhan yang sering dibanggakan sebagai prestasi perekonomian negeri ini, justru memberikan gambaran yang sungguh ironis.  Sebab itu artinya peningkatan PDB dan pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir kecil dari masyarakat.  Maka tidak salah jika dikatakan bahwa peningkatan PDB dan pertumbuhan itu hanya membuat orang kaya makin kaya sementara orang miskin tetap miskin atau bahkan bertambah miskin.  Inilah diantara hasil dari keikutsertaan dalam APEC selama ini.

Semua itu menunjukkan bahwa capaian tolok ukur makro yang selalu dibanggakan nyatanya tidak menggambarkan kondisi riil yang ada di tengah masyarakat.  Kondisi sebenarnya yang ada di negeri ini, secara makro tampak membaik dan makmur, tapi realitanya sebaliknya.  Dengan terus menjejalkan prestasi makro ini kepada masyarakat yang merasakan fakta yang berbeda, seolah menyelesaikan masalah orang yang sedang kesulitan, miskin dengan cara disuruh membayangkan bahwa kita ini membaik, dan makin makmur, seraya dikatakan kepada orang itu bahwa semua itu akan menetes kepadanya.   Maka selayaknya tolok ukur makro tidak dijadikan tolok ukur utama dan berhenti sampai di situ saja. Melainkan harus lebih fokus pada tolok ukur secara mikro dan kondisi riil di tengah masyarakat.  Bagi masyarakat, tidak ada gunanya dikatakan total pendapatan semua orang sangat besar, sementara itu nyatanya hanya dikuasai segelintir orang.  Yang penting bagi masyarakat adalah mereka bisa benar-benar merasakan peningkatan kemakmuran. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman – LS HTI]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*