Menjadi Saksi yang Adil

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (TQS al-Nisa’ [4]: 135).

 

Bertindak adil merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Sikap tersebut wajib dilakukan terhadap siapa pun, termasuk terhadap diri, orang tua, dan kerabat mereka. Baik terhadap orang kaya maupun orang miskin. Sikap ini dilakukan seorang Muslim, ketika dia menjadi saksi maupun menjadi qadhi. Dalam semua keadaan itu, sikap adil harus tetap adil. Sebaliknya, berpaling dari sikap adil diancam dengan hukuman yang setimpal.

Inilah di antara yang diterangkan ayat ini.

 

Bersikap Adil kepada Siapa pun

Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisth syuhadâa lil-Lâh  (wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan menjadi saksi karena Allah). Khithâb ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman. Menurut Ibnu Katsir, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin untuk menjadi qawwâmîn bi al-qisth.

            Kata al-qawwâmîna merupakan shighah mubâlaghah (bentuk penyangatan) dari kata al-qâim (yang melaksanakan). Itu artinya, banyak melakukan dan berulang-ulang. Bukan sesekali atau beberapa kali. Perbuatan yang dilakukan adalah al-qisth fî al-syahâdah (bersikap adil dalam memberikan kesaksian). Dijelaskan al-Zamakhsyari, qawwâmîn bi al-qisth (bersungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan).

Sebagamana dijelaskan para mufassir, seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Syaukani, dan lain-lain, pengertian al-qisth adalah al-‘adl (bersikap adil). Oleh karena itu, menurut Ibnu katsir, mereka jangan condong ke kanan atau ke kiri. Tidak terpengaruh –dalam menjalankan agama-Nya—oleh celaan orang para pencela dan tidak dipalingkan oleh orang yang memalingkan darinya. Hendaklah mereka menjadi orang-orang yang saling membantu, menolong, menguatkan, dan mendukung dalam urusan tersebut.

Dinyatakan pula oleh al-Baghawi, maksud ayat ini adalah: “Jadilah orang yang memberikan kesaksian dengan adil.” Ibnu Abbas, sebagaimana dinukil al-Baghawi, berkata tentang ayat ini: “Jadilah kalian para penegak keadilan dalam kesaksian dengan siapa pun.”

Semua itu dilakukan dengan lil-Lâh (karena Allah). Artinya, untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah SWT. Demikian penjelasan al-Syaukani. Atau, seperti dikatakan al-Zamakhsyari, memberikan kesaksian untuk keridhaan Allah sebagaimana telah diperintahkan kepadamu untuk menegakkannya.

Menurut Ibnu Katsir, perintah tersebut juga disebutkan dalam QS al-Thalaq [65]: 2. Artinya, hendaklah dalam memberikan kesaksian itu dilakukan untuk mencari keridhaan Allah. Ketika itu dilakukan, maka kesaksian itu akan adil benar, dan steril dari penyimpangan, perubahan, dan penyembunyian.

Ditegaskan dalam ayat ini: Sikap adil diberlakukan kepada siapa saja, bahkan terhadap dirinya sendiri. Allah SWT berfirman: Walaw álâ anfusikum (biar pun terhadap dirimu sendiri). Pengertian Walaw álâ anfusikum dalam konteks ayat ini adalah al-iqrâr ‘alâ nafsihi (memberikan pengakuann atas dirinya). Demikian penjelasan al-Zamakhsyari. Dikatakan Ibnu Jarir, ayat ini berarti: Dan tegakkanlah kesaksian atas dasar kebenaran, dengan mengatakan kebenaran tentangnya.

Sikap yang adil juga dilakukan dalam memberikan kesaksian atas semua orang tua dan kerabatnya. Allah SWT berfirman: aw al-wâlidayn wa al-aqrabîn (atau ibu bapak dan kaum kerabatmu). Diterangkan Ibnu Katsir: Sekalipun kesaksian itu merugikan orang tua dan kerabat. Maka janganlah kamu mempertimbangkan mereka dalam itu. Namun berikanlah kesaksian dengan benar, meskipun menimpakan bahaya atas mereka. Sebab, kebenaran merupakan hakim (yang memutuskan) atas segala sesuatu.

Disebutkan kata orang tua karena adanya kewajiban birr al-wâlidayn (berbuat baik terhadap mereka). Di samping itu, mereka adalah manusia yang paling mereka cintai. Sedangkan disebutkan kerabat, karena mereka adalah orang-orang yang cenderung untuk dicintai dan bersikap ta’ashshub.

            Menurut al-Qurthubi, tidak ada perbedaan di kalangan ahli ilmu mengenai absahnya ayat ini, bahwa kesaksian anak kepada kedua orang tuanya berlaku dan tidak birr al-wâlidayn. Bahkan termasuk birr al-wâlidayn adalah memberikan kesaksian atas mereka dan melepaskan mereka dari kebatilan. Ini merupakan makna firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (TQS al-Tahrim [66] 6)

Kemudian Allah SWT berfirman: in yakun ghaniyy[an] aw faqîr[an] (jika ia kaya atau pun miskin). Obyek yang dibicarakan masih tentang orang yang diberikan kesaksian. Diterangkan Ibnu Jarir, ayat ini berarti: “Janganlah kamu condong dalam kesaksianmu kepada orang kaya atas orang miskin karena kekayaannya; tidak pula kepada orang miskin atas orang kaya karena kemiskinannya, sehingga kamu bersikap tidak adil. Sebab, Allah SWT telah menyamakan antara hukum orang kaya dan miskin dalam perkara yang diwajibkan kepadamu, wahai manusia, dalam memberikan kesaksian kepada mereka masing-masing dengan adil.”

Kemudian ditegaskan: Fal-Lâh awlâ bihimâ (maka Allah lebih tahu kemaslahatannya). Bahwa Allah SWT lebih memperhatikan orang yang kaya dan fakir itu dan menginginkan kemaslahatan bagi mereka. Demikian penjelasan al-Zamakhsyari. Diterangkan juga oleh al-Thabari, bahwa Allah awlâ bihimâ dan lebih berhak daripada kamu karena Allah SWT adalah pemilik keduanya dan lebih berhak kepada mereka kamu daripada kamu lantaran Dia lebih mengetahui apa yang maslahat buat mereka dan semua urusan lainnya daripada kamu. Oleh karena itu, urusanmu adalah menyamakan mereka dalam kesaksian, baik yang merugikan atau menguntungkan mereka.

Itu artinya, jangan sampai karena merasa kasihan terhadap orang miskin, lalu membuat kesaksian yang meringankan atau membela kepentingan mereka. Juga, jangan sampai karena berharap mendapatkan pemberian dari orang kaya, lalu membuat kesaksian yang condong kepada mereka. Apa pun akibatnya, kesaksian yang benar harus diberikan. Jika bicara kasihan dan kemaslahatan terhadap orang yang diberikan kesaksian, maka Allah SWT  lebih mengetahui atas mereka.

Allah SWT berfirman: Falâ tattabi’û al-hawâ ‘an ta’dilû (maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran). Artinya, janganlah hawa nafsu, ashabiyyah, dan kebencianmu kepada orang lain meninggalkan sikap adil dalam perkara dan urusan kalian. Namun, tetaplah kalian bersikap adil dalam keadaan apa pun, sebagaimana disebutkan dalam QS al-Maidah [5]: 8). Demikian penjelasan Ibnu Katsir.

 

Ancaman bagi Orang yang Tidak Adil

Allah SWT berfirman: wa in talwû aw tu’rudhû (dan jika kamu memutarbalikkan [kata-kata] atau enggan menjadi saksi). Dijelaskan oleh Mujahid dan para ulama salaf lainnya, kata talwû artinya menyimpangkan dan mengubah kesaksian. Kata al-layy berarti al-tahrîf wa ta’ammadu al-kadzib (melakukan penyimpangan dan sengaja berdusta). Makna tersebut terdapat dalam QS Ali Imran [3]: 78. Sedangkan al-i’râdh berarti kitmân al-syahâdah wa tarkihi (menutupi dan meninggalkan kesaksian). Larangan atas perbuatan tersebut juga disebutkan dalam QS al-Baqarah [2] 283.

Kemudian ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Fa innal-Lâh kâna bimâ ta’malûna Khabîr[an] (maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan). Pengertian al-khabîr adalah ’âlim muthalli’ (yang mengawasi). Kemudian Dia membalas atas apa yang kamu kerjakan. Kalimat ini merupakan ancaman kepada siapa pun yang memutarbalikkan fakta dan bertindak tidak adil dalam kesaksiannya.

Ditegaskan al-Syaukani, ini merupakan ancaman keras bagi siapa pun yang tidak memberikan kesaksian sebagaimana apa yang diwajibkan kepadanya. Ayat ini berlaku umum, baik bagi qadhi maupun para saksi. Adapun untuk saksi, maka disebutkan secara jelas. Sedangkan qadhi, adalah dengan berpaling dari salah seorang yang berperkara.

Demikianlah. Setiap Mukmin diwajibkan untuk memberikan kesaksian dengan adil, tanpa melihat siapa pun yang diberikan kesaksiaannya. Jika itu dijalankan, maka Allah SWT akan memberikan pahala dan rida-Nya kepada kita. Namun jika kita bersikap sebaliknya, maka dia akan mendapatkan siksa yang setimpal. Masih enggan bersikap adil? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar

  1. Setiap Muslim diwajibkan untuk bertindak adil dalam memberikan kesaksiaan terhadap siapa pun
  2. Kecintaan, kebencian, dan kasihan terhadap seseorang tidak membolehkan seseorang meninggalkan sikap adil. Sebab, Allah lebih mengetahui kemaslahatan terhadap mereka.
  3. Meninggalkan sikap adil diancam dengan hukuman yang setimpal.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*