HTI Press. Bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1435 H, Selasa (5/11) Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Jambi menyelenggarakan diskusi publik bertema ‘Peran Media dan Intelektual dalam Mengawal Perubahan Indonesia’. Acara yang dihadiri sekitar 300 peserta yang didominasi oleh kalangan mahasiswa ini berlangsung di Aula RRI Jambi.
Diskusi publik tersebut menghadirkan tiga pembicara yakni Mohd Haramen (Pimred Jambi Ekspres), Busyarifal (Kepala Pemberitaan LPP RRI Jambi), dan Mujiyanto (Redpel Tabloid Media Umat Jakarta). Satu narasumber dari kalangan intelektual yang sedianya hadir ternyata berhalangan.
Haramen menyebut, media massa sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari bisnis. Media mengemban ideologi pasar karena hidupnya media massa tergantung pada selera pasar. Apa maunya pasar, katanya, itulah yang disajikan oleh media massa. “Media sekarang telah menjadi industri/bisnis,” katanya.
Busyarifal menilai, media massa memiliki aturan main berupa undang-undang. Di sana ada UU Pokok Pers, juga ada kode etik jurnalistik. Yang dengan itu, menurutnya, media sangat kecil untuk melakukan kesalahan. Sebagai lembaga penyiaran publik, RRI sangat menjaga pemberitaannya. Dan kini RRI terbuka bagi semua kalangan untuk mengisinya.
Sementara itu, Redpel Tabloid Media Umat Mujiyanto dalam presentasinya menyoroti kondisi terpuruk Indonesia dalam segala bidang. Kondisi itu sudah berlangsung lama dan belum ada perubahan yang signifikan kendati pemerintahan telah berganti beberapa kali. Permasalahan itu berpangkal pada kesalahan sistem, yakni kapitalis sekuler.
Menurutnya, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Dalam kaitan, peran media massa dan intelektual sangat besar. Ia menekankan, bagaimanapun awak media dan juga kaum intelektual adalah seorang Muslim. Mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengubah keadaan itu menjadi baik. Dan perubahan yang hakiki hanya terwujud jika kaum Muslim kembali kepada sistem Islam. “Inilah pelajaran hijrah Nabi SAW, berpindah dari sistem jahiliah kufur kepada sistem Islam secara kaffah,” jelasnya.
Diskusi mengundang banyak peserta bertanya. Mereka antara lain mempertanyakan tentang media massa yang kini telah berubah menjadi lembaga bisnis, bagaimana tips memilih media yang benar, dan mengapa HTI tidak menduduki kekuasaan untuk mengubah kondisi sekarang ini, serta peran intelektual. Ada juga yang mempertanyakan mengapa media massa membiarkan tayangannya mengumbar aurat.
Menanggapi beberapa pertanyaan itu, Mujiyanto menjelaskan, sesungguhnya kaum Muslim telah memiliki tolok ukur yang jelas dalam menyikapi sebuah berita. Tolok ukur itu adalah Islam. Dengan tolok ukur inilah kaum Muslim tidak akan gampang diarahkan opininya oleh media massa sekuler yang ada menjauh dari nilai-nilai Islam.
Ia mengingatkan, media massa tidak bebas nilai. Media memiliki agenda di balik pemberitaannya kendati media memiliki kode etik jurnalistik. “Coba perhatikan bagaimana banyak media massa memberikan soal Islam, banyak yang negatif dan stigmatif,” katanya.
Menurutnya, munculnya kemaksiatan di media massa apakah itu buka aurat, ikhtilat, gaul bebas dsb tidak bisa dilepaskan dari sistem yang ada. “Memang tidak ada UU yang melarang itu. Ya beginilah sistem sekuler,” jelasnya.
Tentang perjuangan Hizbut Tahrir, ia menjelaskan, saat ini HTI sedang berjuang untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam wujud khilafah. Hizb, katanya, memahami betul bahwa itu tidak akan terjadi jika tanpa ada kekuasaan. Maka Hizb, mengajak seluruh kaum Muslim berjuang mewujudkan kekuasaan yang menerapkan Islam tersebut seraya mencari dukungan dari ahlul quwah agar mereka menolong HT memperoleh kekuasaan itu. [] sandi/MI HTI Jambi