Dengan mengambil contoh kasus krisis 2008, Analis Keuangan dan dosen pasca sarjana University of Wales Jamal D Harwood menyatakan model ekonomi kapitalisme rentan krisis. “Model ekonomi kapitalisme rentan krisis,” ungkapnya dalam konferensi intelektual Muslim internasional JICMI 2013, Ahad (15/12) di Gedung Smesco, Gatot Subroto, Jakarta.
Di hadapan sekitar 1800 intelektual Muslim yang hadir dari Indonesia dan enam negara lainnya, analis ekonomi yang memiliki pengalaman lebih dari 25 tahun di bidang keuangan (JP Morgan dan Credit Suisse) tersebut menyanggah anggapan krisis 2008 telah berakhir.
“Setidaknya ada sepuluh indikator ekonomi yang menunjukkan bahwa krisis masih terjadi sejak terjadinya di tahun 2008,” ungkap analis yang kerap muncul di majalah Time, Press TV Inggris, dan Islam Channel tersebut.
Kesepuluh indikator tersebut adalah: pasar derivative masih tumbuh; klaim pemulihan ekonomi oleh media sebenarnya tidak tepat karena belum dikoreksi oleh tingkat inflasi; meski pemerintah rezim kapitalisme mengklaim mengendalikan pasar, ini tidak terjadi, karena secara mendasar pasar kapitalisme memang selalu memiliki siklus bisnis yang tidak stabil.
Pemerintahan terus mengeluarkan biaya untuk menyenangkan pemilih menjelang pemilu sehingga defisit anggaran makin parah; utang Amerika adalah nomor satu di dunia; uang kertas terus dicetak; inflasi terus meningkat; angka pengangguran dimanipulasi dengan tidak lagi menghitung orang yang cari kerja terlalu lama, dan banyak sekali pekerjaan baru yang sifatnya hanya part time bukan full time; ketergantungan terhadap tunjangan sosial meningkat dan upah tidak mampu mengejar inflasi.
Berdasarkan pengkajiannya yang mendalam bersama Hizbut Tahrir, ia pun setuju dengan solusi yang ditawarkan Islam. Lantaran, selain secara imani memang wajib diamalkan, secara praktis pun syariah Islam memang mampu memberikan solusi yang tuntas untuk mengakhiri krisis ekonomi.
Di antaranya adalah dengan adanya stabilitas ekonomi. “Islam tidak mengenal pergantian pemimpin dengan pemilu berkala seperti sistem kapitalisme, yang mengakibatkan manipulasi dan manuver politik demi pemenangan,” ungkapnya.
Alasan lain yang dipaparkannya adalah ekonomi Islam berbasis non riba; alat tukar yang stabil yakni menggunakan emas dan perak; pelarangan penumpukan kekayaan; peraturan pajak yang berbeda dengan kapitalisme; Islam tidak mengenal pajak pendapatan, tetapi pajak pada kekayaan (zakat); judi dilarang; reformasi pertanahan, tidak boleh ada tanah nganggur.
Dan yang tak kalah pentingnya, ungkapnya menekankan, reformasi peraturan sistem keuangan/perdagangan. “Dalam Islam kekayaan bukan tujuan utama hidup tetapi mencari ridho Allah, sehingga ketaatan kepada peraturan Allah dan cara mencapai kekayaan selalu menyatu,” tegasnya.
Menurutnya Islam pun mereformasi bantuan sosial. “Dalam Islam, keluarga besar (bukan hanya keluarga inti) bertanggung jawab utama untuk kesejahteraan anggotanya. Negara membantu kebutuhan dasar saja bagi yang memang tidak mampu,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo