Pada tahun 187 H, Khalifah Harun ar-Rasyid menerima surat dari Kaisar Romawi, Nakfur (Nicephorus I [802-811 M]). Surat ini berisi pembatalan kesepakatan yang ada antara kaum Muslim dan Ratu Irene (797-802 M), Ratu Romawi.
Bunyi surat itu sebagai berikut:
“Dari Nakfur, Kaisar Romawi kepada Harun, Raja Arab. Sesungguhnya Ratu yang berkuasa sebelum saya telah memosisikan kamu laksana burung garuda raksasa, sedangkan dia sendiri memosisikan dirinya sebagai burung elang sehingga membuat dirinya membawa harta-hartanya kepadamu. Ini karena lemahnya seorang wanita dan kebodohannya. Jika kamu selesai membaca surat ini, maka kembalikanlah harta yang telah dia serahkan kepadamu sebelum ini. Jika tidak, maka pedanglah yang akan bermain untuk menyelesaikan permasalahan antara aku dan kamu.”
Ketika membaca surat ini, Khalifah Harun ar-Rasyid sangat tersinggung dan marah, sehingga tidak ada satu orang pun yang sanggup melihat wajahnya, dan berbicara dengannya. Orang-orang yang ada di sekelilingnya langsung berpencar, karena takut terkena marah. Lalu, ia meminta tinta, dan segera menulis surat balasan. Surat balasan itu berbunyi:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Harun ar-Rasyid, Amirul Mukminin, kepada Nakfur, Anjing Romawi. Saya telah membaca surat kamu dengan jelas, wahai anak wanita kafir. Sebagai jawabannya, bukanlah apa yang kamu dengar, tetapi apa yang akan kamu lihat. Salam.”
Sang Khalifah pun berangkat pada hari yang sama, dan terus merangsek hingga ke Asia Kecil, hingga mencapai puncaknya tatkala ia menaklukkan Heraklius. Peristiwa ini merupakan peperangan yang sangat masyhur, sekaligus merupakan penaklukan yang sangat gemilang. Akhirnya, Nakfur minta dilakukan perundingan damai dengan cara membayar upeti tiap tahun. Khalifah agung itu pun menerima tawaran itu.
Sayangnya, tatkala kembali ke Riqqah, Anjing Romawi itu pun kembali menjilat ludahnya, mengingkari janjinya sendiri. Dengan anggapan, tidak mungkin Harun ar-Rasyid akan melakukan serangan kembali di musim dingin. Akhirnya, sang Khalifah agung ini kembali menyerang Romawi, hingga sampai ke teras Istana Kaisar Romawi yang tolol itu. Begitulah, wibawa penguasa kaum Muslim di mata musuhnya, yang sanggup menyumbat mulutnya dengan jihad, hingga tujuannya tercapai, dan mulutnya tidak lagi bisa mengingkari kesepakannya.
Abu al-‘Atahiyyah, dalam bait syairnya, melukiskan dengan indah peristiwa itu:
“Ketahuilah, Heraklius telah menyeru untuk hancurkan dirinya
Oleh raja yang bijak dan penuh nurani
Harun berangkat dengan membentangkan kematian
Dengan kilatan pedang yang begitu tajam..
Sedangkan panji-panji berkibar sebagai tanda kemenangan
Laksana awan yang bergerak dengan demikian kencang..
Pada tahun yang sama, Khalifah Harun ar-Rasyid telah membebaskan seluruh kaum Muslim yang menjadi tawanan Romawi, di seluruh wilayah Romawi, sehingga tidak ada lagi seorang Muslim pun yang tersisa menjadi tawanan mereka. [dinukil dari Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi, hal. 349-350]
Sangat kontras dengan penguasa di negeri kaum muslim sekarang.