Soal:
Ketika DPR melakukan interpelasi, ada yang berpendapat, bahwa DPR telah melakukan fungsi kontrol (muhâsabah). Benarkah, dengan interpelasi tersebut, fungsi muhâsabah benar-benar telah dijalankan oleh DPR? Kalau tidak, lalu sejauh mana batasan muhâsabah yang harus dilakukan terhadap penguasa?
Jawab:
Dalam pemerintahan demokrasi yang menganut sistem presidentil, bukan parlementer, seorang presiden, mewakili lembaga eksekutif, mempunyai hak yang sama dengan parlemen, yang mewakili lembaga legislatif; sebagaimana peradilan, yang mewakili lembaga yudikatif. Dalam sistem tersebut, parlemen tidak mempunyai hak untuk mengajukan mosi tidak percaya sehingga bisa menjatuhkan pemerintah. Meski demikian, sebagai konsekuensi dari prinsip pembagian kekuasaan (sparating power), parlemen tetap merupakan balancing power (kekuatan penyeimbang), baik terhadap kekuasaan eksekutif maupun yudikatif.
Interpelasi, yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, adalah salah satu bentuk hak lembaga legislatif (DPR) itu sebagai balancing power. Dalam sistem presidentil, interpelasi diartikan sebagai hak untuk mendapatkan informasi dan penjelasan atas kebijakan publik yang telah diambil dan dijalankan oleh lembaga eksekutif. Pertanyaannya, apakah dengan menggunakan hak interpelasi tersebut DPR benar-benar telah menjalankan fungsi muhâsabah (kontrol) sebagaimana yang dikehendaki oleh syariah?
Jawabannya: tentu belum. Mengapa? Karena muhâsabah adalah metode syariah yang telah dibawa oleh Islam untuk meluruskan penyimpangan penguasa dan mengembalikan-nya ke jalan yang benar. Parameter menyimpang atau tidak tentu saja syariah. Karena itu, fungsi muhâsabah bukan hanya hak bertanya, meminta penjelasan atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan penguasa, tetapi juga meliputi kewajiban untuk menghentikan penyimpangan (termasuk kezaliman), mengubah kemungkaran dan mengembalikannya pada jalan yang benar. Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ رَأَى سُلْطَانًا جَائِرًا مُسْتَحِلاًّ لِحَرَمِ اللهِ نَاكِثًا لِعَهْدِ اللهِ مُخَالِفًا لِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ يَعْمَلُ فِي عِبَادِ اللهِ بِالإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ فَلَمْ يُغَيِّرْ عَلَيْهِ بِفِعْلٍ وَلاَ قَوْلٍ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَدْخُلَهُ مَدْخَلَهُ»
Siapa saja yang melihat seorang penguasa yang zalim, menghalalkan yang diharamkan oleh Allah, menodai janji Allah, menyimpang dari sunnah Rasulullah saw., dan memerintah hamba Allah (sesama manusia) dengan dosa dan permusuhan, kemudian dia tidak mengubahnya, baik dengan ucapan maupun tindakan, maka telah menjadi hak Allah untuk memasukkannya di tempat yang sama. (HR at-Thabari dalam Târîkh-nya).
Jadi, tujuan muhâsabah adalah untuk mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, dan mengembalikannya ke jalan kemakrufan. Ini ditegaskan dalam firman Allah:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan serta menyuruh kemakrufan dan mencegah kemungkaran; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali ‘Imran [3]: 104).
Amar makruf dan nahi mungkar bukan hanya menampakkan ketidaksetujuan terhadap tindakan penguasa yang menyimpang, tetapi sekaligus membawa penguasa tersebut agar tetap terikat dengan perintah dan larangan Allah Swt.
Tugas dan fungsi muhâsabah ini juga merupakan tanggung jawab syariah, yang telah dipahami oleh para Sahabat dan kaum Muslim sejak Negara Islam berdiri pertama kali di Madinah. Mereka juga telah terbiasa melakukan muhâsabah kepada Rasulullah saw., antara lain seperti yang pernah dilakukan dalam kasus Shulh Hudaibiyyah (Perjanjian Hudaibiyah) dan pembagian ghanîmah Perang Hunain. Mereka pun telah melakukan muhâsabah terhadap para khalifah sepeninggal Nabi saw. Meski demikian, tak satu pun dari tindakan itu yang dinafikan oleh para Sahabat. Karena itu, selain sunnah Nabi, tugas dan fungsi muhâsabah ini juga telah menjadi kesepakatan di kalangan Sahabat (Ijmak Sahabat). Perhatikanlah, bagaimana ketegasan seorang Sahabat kepada Umar saat menjabat sebagai kepala negara (khalifah):
«لَوْ رَأَيْنَا فِيْكَ اِعْوِجَاجًا لَقَوَّمْنَاهُ بِحَدِّ سُيُوْفِنَا»
Kalau saja kami melihatmu melakukan penyimpangan maka kami pasti akan meluruskannya dengan pedang kami.
Kasus dukungan Pemerintah terhadap resolusi DK nomor 1747, yang notabene mendukung politik imperialisme negara-negara kafir adidaya untuk menghentikan hak Iran melakukan pengayaan uranium, dan penggunaan sanksi terhadapnya, jelas merupakan bentuk penyimpangan terhadap larangan Allah agar tidak memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum Muslim; sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran surah an-Nisa’ (4): 141. Alasannya, karena resolusi ini jelas merupakan alat untuk mencampuri, memonitor dan mendikte urusan kaum Muslim, khususnya
Jika demikian faktanya maka bentuk muhâsabah yang seharusnya dilakukan oleh DPR bukan hanya sekadar interpelasi, sebagaimana yang digambarkan di atas, tetapi harus lebih dari itu, yaitu mengoreksi kesalahan Pemerintah agar Pemerintah menghentikan dan mencabut dukungannya. Memang, ini merupakan bagian dari politik luar negeri, yang sebenarnya bisa dikembalikan pada faktor pengalaman (tajribah) dan kepiawaian (hibrah), sepanjang berkaitan dengan perkara yang mubah. Namun, jika ini terkait dengan hukum syariah yang bersifat mengikat, seperti menghalalkan yang haram, maka masalahnya tidak bisa dilihat dari aspek teknis (tajribah wa hibrah) semata, tetapi harus dilihat dari aspek hukumnya. Secara hukum, tindakan Pemerintah memberikan dukungan terhadap resolusi 1747 tersebut, menurut syariah Islam, jelas diharamkan, maka alasan teknis pun tidak bisa digunakan di sini. Karena itu, dalam ketentuan hukum Islam, pendapat DPR dalam hal ini bersifat mengikat, yang berarti wajib diikuti oleh Pemerintah; bukan hanya sekadar untuk didengarkan saja.
Hanya saja, kewenangan DPR, menurut syariah Islam, hanya sampai di situ. Setelah fungsi muhâsabah tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan di atas, DPR pun tidak bisa melakukan upaya lebih dari itu, seperti melakukan pemakzulan, misalnya. Pasalnya, tugas pemakzulan tersebut, menurut syariah Islam, bukan merupakan kewenangan DPR (Majelis Ummah), melainkan kewenangan Mahkamah Mazhalim. Mahkamah inilah yang diberi otoritas oleh syariah Islam untuk menghentikan kezaliman dan penyimpangan pemerintah, termasuk memberhentikan dan menggantikannya dengan orang lain yang lebih baik. Hanya saja, dalam sistem tatanegara seperti sekarang ini, tugas dan fungsi yang diperankan oleh Mahkamah Mazhalim tersebut tidak ada. Dalam konteks ini, tugas dan fungsi pemakzulan itu pun dikembalikan pada kehendak rakyat. Apalagi, konon penguasanya dipilih langsung oleh mereka. Wallâhu a‘lam.