Jelang pemilu 2014 fatwa “keharaman” golput kembali jadi sorotan. Pro-kontra terus terjadi baik dari sisi istidhlal (dasar penetapan hukumnya) maupun relevansinya bagi kemaslahatan umat. Mengingat alih-alih menyelesaikan masalah, kondisi negri ini semakin hari semakin terpuruk, meski lima tahun sudah fatwa ini dipertahankan dan diikuti seruan-seruan serupa dari MUI diberbagai daerah. Sebagai contoh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Samarinda mengeluarkan fatwa haram golput atau tidak memilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur 2013-2018.
Dari sisi isi, fatwa MUI sebagai hasil Melalui forum Ijtima’ Ulama yang diselenggarakan pada 24 – 26 Januari 2009 lalu di Padang Panjang, Sumatera Barat, menyatakan bahwa, pertama: Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Kedua: Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Ketiga: Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat. Keempat: Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Kelima: Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Selanjutnya fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Relevansi fatwa
Dari point-point di atas jelas, bahwa fatwa ini lebih ditunjukan kepada masyarakat. Padahal kerusakan (fasad) yang terjadi di negeri ini adalah buah dari penerapan sistem demokrasi sekuler. Dengan kata lain, seandainya seluruh masyarakat berpartisipasi dalam pemilu itu tidak menjamin negeri ini menjadi baik. Justru sebagian masyarakat (tidak seluruhnya) menjadikan golput sebagai ungkapan protes terhadap kepemimpinan yang ada. Meski hal ini tentu tidak menyelesaikan persoalan namun hal itu dianggap akan mengurangi legitimasi kerusakan pengaturan yang dilakukan para pemimpin terpilih. Sebaliknya, “memaksa” masyarakat berpartisipasi dalam pemilu berarti melegitimasi kerusakan kepemimpinan yang ada. Karenya tak heran sejak fatwa ini dikelurkan muncul berbagai tanggapan penolakan.
Pengamat politik Indobarometer M. Qodari bahkan menilai, dengan fatwa tersebut MUI telah melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia. “Kalau mereka dilarang untuk golput, hal itu justru menjustifikasi sistem politik yang tidak baik. Fatwa harusnya menganjurkan pada kebaikan,” jelas Qodari (Detik.com, 26/1/2009).
Komentar tajam juga dilontarkan oleh pengamat politik dan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy. Menurut Noorsy, MUI tidak konsisten dalam berpijak mengeluarkan fatwanya. Sebab, Pemilu yang dilakukan dengan basis individual atau demokrasi liberal merupakan pemikiran Barat. Karenanya, Noorsy menambahkan, alasan dan argumen rasional MUI lemah. “Fatwa MUI kali ini pun gagal merujuk al-Quran dan Hadis. Kalau fatwa ini mempertimbangkan kebaikan, berarti MUI mengabaikan kebenaran ajaran dan kecerdasan masyarakat,” tegasnya. (Detik.com, 27/01/2009)
Betul saat ini fenomena golput terjadi-mana. Angka partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pilkada semakin menurun. Dalam pemilu 2009 angka golput (hak pilih yang tidak datang ke TPS dan surat sura tidak sah) hampir mencapai 40 persen, yakni 67 juta suara dari sekitar 171 penduduk yang tecacat memiliki hak memilih.Bahkan dibeberapa daerah angka lebih besar lagi. Pilgub Sumut 2013 misalnya, angka partisipasi hanya 48,5 persen. Dengan demikian, angka golput mencapai 51,5 persen. Hal yang sama terjadi di Jawa Tengah, angka partisipasi pemilihnya 52 persen.
Fakta-fakta diatas menunjukan bahwa sistem politik itu sudah tidak berjalan. Kalau dikembalikan kepada sistem demokrasi yang menganut konsep kedaulatan dan kehendak rakyat, maka seharusnya fakta diatas itu dibaca sebagai ungkapan protes masyarakat.Kemungkinan masyarakat menghendaki sebuah perubahan yang lebih mendasar.
Dalam kacamata Islam perubahan mendasar itu adalah penerapan hukum-hukum Islam yang dengannya kemaslahatan umat bisa diwujudkan. Bukan dengan mempertahankan sistem demokrasi yang menyengsarakan rakyat dan membuat mereka tidak percaya terhadap pemimpinnya.
Jadi seharusnya MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman terlibat dalam sistem sekuler serta kewajiban menerapkan syariat bagi setiap orang yang terpilih menjadi pemimpin. Justru fatwa inilah yang sejalan dengan fatwa MUI sebelumya tentang keharaman sekularisme dan liberalisme.
Pijakan fatwa
Persoalan halal-haram dalam Islam bukanlah perkara sepele, menetapkan sesuatu yang mubah menjad haram sama tercelanya dengan menetapkan suatu yang haram menjadi mubah. Disamping itu, selain menyoal relevansinya dengan persoalan di tengah-tengah masyarakat, yang lebih penting adalah mencermati pijakannya. Sebab fatwa pijakannya dalil, bukan kepentingan, meski banyak orang menilai bahwa unsur politiknya yang justru lebih kental.
Dalam penetapannya fatwa tentang golput ini berpijak pada beberapa dalil Al-Quran hadis Hadis, kaidah-kaidah fiqih dan pernyataan para fuqaha.
Dari Al-Quran, yaitu surat surat an-Nisa : 59 yang artrinya, “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu.”
Sementara dalil dari hadis Rasulullah Saw di antara hadis riwayat al-Bukhari yang artinya, “Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah waktunya;” dan hadis riwayat Ahmad yang artinya, “Tidak halal bagi tiga orang yang bepergian kecuali mereka mengangkat di antara mereka seorang pemimpin.”
Di antara kaedah fikih adalah kaedah yang artinya, “Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib” dan kaedah yang artinya, “Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sebagaimana mestinya), seyogianya tidak ditinggalkan semuanya.”
Salah satu kutipan dari al-Mawardi artinya, “Kepemimpinan (al-imamah) merupakan tempat pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia, dan memilih orang yang menduduki kepemimpinan tersebut hyukumnya adalah wajib menurut ijma`.”
Perkara yang Harus Dicermati
Penarikan kesimpulan berupa butir-butir fatwa di atas dari dalil-dalil ini ada beberapa hal yang perlu dicermati.Pertama: Tentang wajibnya mengangkat kepala negara, sebagaimana menjadi poin dari seluruh pijakan fatwa ini (baik dalil alquran, as-sunnah, kaidah fiqih dan ushul fiqh, serta kutipan pendapat fuqaha sebagaimana disebutkan diatas) bukanlah pendapat baru dalam Islam melainkan sudah menjadi kesepakatan fuqaha di masa lalu. Para sabahat sendiri menangguhkan pemakaman Nabi saw. dari hari Senin sampai ke hari Rabu karena menjaga kevakuman pemimpin. Perintah Al-Quran untuk taat kepada pemimpin menuntut keharusan adanya pemimpin yang dipatuhi. Karena itu, para ulama dari dahulu, seperti al-Baghdadi (w.429 H), al-Mawardi (w.450 H), Ibn Hazm (w.456 H), Ibn Khaldun (w. 708 H) sampai para ulama belakangan semua menyatakan wajibnya mengangkat kepala negara untuk menegakkan agama dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan umat.
Namun perlu digarisbawahi bahwa kewajiban ini merupakan fardhu kifayah (kewajiban kolektif), bukan fardhu a’in yang membuat seluruh umat Islam wajib terlibat dalam proses pengangkatannya. Karenanya para fuqaha kemudian membagi pemba’itan itu kedalam dua hal. Yakni bai’at in’iqad (proses pengangkatan khalifah hingga ia sah menjadi pemimpin kaum muslimin) yang hukumnya fardhu kifayah, dan bai’at tho’at (keta’atan terhadap pemimpin yang sudah sah menjadi khalifah) yang hukumnya fardhu a’in bagi setiap indivivu muslim. Sehingga penggunaan kaidah “mâlâ yatimmul wâjib illa bihi fa huwa wajib” dalam kontek keikutsertaan seluruh warga negara dalam proses pemilu tidak tepat. Sebab, keta’atan terhadap pemimpin seharusnya sudah bisa diwujudkan bila ada sebagian umat Islam yang melakukannya.
Itupun jika pemerintah yang diangkat pemimpin yang diangkat itu menerapkan syariah hingga ia patut diata’ati. Bila tidak, seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi saat ini, dimana pemerintah yang ada diangkat bukan untuk menerapkan hukum Allah Swt, melainkan hukum buatan akal manusia, maka kaidah “mâlâ yatimmul wâjib illa bihi” lebih tepat digunakan dalam rangka mengganti sistem yang ada saat ini dengan sistem Islam, bukan malah melegitimasi kerusakan yang ada.
Kedua: Kaidah yang menyatkan:
“ما لا يدرك كله لا يترك جله”
“Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sebagaimana mestinya), seyogianya tidak ditinggalkan sebagian (besarnyanya)”
Sebelum mengguanakan kaidah ini perlu kita dudukan terlebih dahulu bawah, pertama: kaidah ini adalah kaidah fiqih bukan kaidah ushul seperti kaidah “mâlâ yatimmul wâjib illa bihi fa huwa wajib”. Para ulam sendiri berbeda pendapat tentang penggunaan kaidah fiqih dalam berijtihad. Sebab pada dasarnya kaidah fiqih adalah rowabith al-furu’ al-fiqhiyyah al-mutasyabihah (simpul dari beberapa hukum fiqih yang memeliki kemiripan). Sehingga sebagian ulamanya menyebutnya dengan dhowabit fiqhiyyah (patokan atau setandar fiqih) atau al-asyasbah wa an-nazhoir (sesuatu yang memiliki kemiripan dan persamaan). Dengan kata lain kaidah fiqih keberadaannya setelah hukum-hukum fiqih, menggabungkan hukum-hukum yang memiliki kemiripan dalam satu kaidah, bukan sebagai dasar fiqih. Ini adalah pendapat Imam al-haromain al-juwaniy dari (Lihat: ghiyastul umam, lil Imam a-Juwaini, hal 260), Ibnu daqîqil ‘Îd sebagai mana dinukil Ibnu Farhun (Lihat: ad-Dîbâj al-madzhab, libni farjhun al-malikiy, juz 1 hal. 74), Ibnu Nujaim sebaigaiman dinukil al-hamawiy (lihat: ghamz uyunil bashoir, lil Hamawiy, juz 1 hal. 38).
Kedua: Meski kaidah ini sangat masyhur dan banyak digunakan dalam beristidlal secara langsung, namun sulit kita temukan dalam kitab-kitab fiqih klasik. Yang ada adalah kaidah yang hampir semaknanya denganya yakni kaidah:
“إذا كان رِضا الخلق معسور لايدرك، كان ميسورُه لا يترك”
“Bila keridhoan Kholik yang sulit itu tidak dapat dicapai, maka yang mudah darinya tidak boleh ditinggalkan” Lafadz ini dinyatakan oleh Abi Thoyyib as-Su’lukiy (404 H)
“العجز عن بعض الواجبات لا يسقط ما بقي منها”
“Ketidakmampuan untuk melaksanakan sebagian kewajiban tidak menggugurkan kewajiban lainnya” Dinyatakan oleh Imam al-mawardi (450H)
“المقدور عليه لا يسقط بسقوط المعجوز”
“(kewajiban) yang mampu dilaksanakan tidaklah gugur bersama kewajiban lain yang tidak dapat dilaksanakan”. Dinyatakan oleh Imam al-Haromain al-Juwainiy (478H) yang kemudian lafadz beliu ini masyhur disingkat dengan:
“الميسور لا يسقط بالمعسور”
“Yang mudah tidak bisa gugur karena yang sulit”
‘Ala kulli hal, seandanya kaidah-kaidah ini bisa digunakan secara langsung dalam ber-istidlal (meski sebagian ulama menolaknya sebagaimana dijelaskan di poin pertama), tentu kaidah ini tidak bisa diterapkan dalam kasus pemilu.
Alasannya, mengangkat pemimpin hukumnya fardhu kifayah, dan itu bisa dilakukan oleh sebagian kalangan kaum muslimin. Tidak harus seluruh umat Islam. Pelaksanaan kewajiban ini telah tuntas dilakukan, bila yang dimaksud hanya sekedar adanya pemimpin. Namun bila yang dimaksud adalah mengankat pemimpin yang amanah dan diangkat untuk menerapkan sistem syariah, tentu tidak bisa dilakukakan saat ini mengingat sistem yang diterapkan bukan sistem Islam, meski seluruh warga negara berpartisipasi dalam pemilu. Jadi ukurannya bukan hanya sekedar individu pemimpin tapi sistem yang akan diterapkan setelah seseorang itu jadi pemimpin.
Kewajiban ini tentu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebab menerapkan sistem yang tidak sesuai dengan Islam hukumnya haram. Sementara setiap orang yang terpilih dalam pemilu itu harus menerapkan seluruh perundang-undangan yang berlaku. Hal itu berarti melegitimasi penerapan hukum yang bukan berasal dari Allah SWT.
Seorang pemimpin terpilih jelas ia tidak bisa hanya menerapkan hukum-hukum yang sesuai dengan Islam dan meninggalkan sebagian yang lain yang jelas bertentangan dengan Islam sehingga dikatakan ini yang maqdur (bisa dilakukan), sementara hukum Islam yang lain ma’juz (belum bisa dilaksanakan). Tidak, sekali lagi bukan hanya itu. Ia wajib melaksanakan seluruh perundangan baik itu sesuai dengan Islam atau bertentangan dengan Islam. (Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia)