HTI Press, Bandar Lampung. Mendekati penghujung tahun 2013, DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Lampung mengadakan Halqah Islam dan Peradaban (HIP) Edisi Khusus Akhir Tahun pada Minggu (29/12/2013). Sebagai pembicara dari Ketua DPD I HTI Lampung Ir. Dudy Arfian serta Humas HTI Lampung H. Akhiril Fajri, S.E.
MC Mario membuka acara talkshow ini Pukul 20.00 s/d 22.00 WIB. HIP yang mengusung tema “Refleksi Akhir Tahun 2013: Raport Merah Rezim Sekuler, Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah” ini bertempat di Aula Lt.2 Gedung Graha Gading Karang, Bandar Lampung. Walau kondisi Bandar Lampung hujan pada malam hari, puluhan masyarakat, ulama dan tokoh dari wilayah Lampung tetap antusias menghadiri acara HIP ini.
DPD I HTI Lampung, Ustadz Setyabudi Daryono, M.Sy dalam sambutannya mengucapkan selamat dan terima kasih atas kedatangan hadirin pada malam hari yang gerimis, dengan keikhlasan hati “Semoga kita bersama-sama istiqamah berjuang di jalan Allah, para pejuang Syariah dan Khilafah”. Host Ahmad Fatoni, S.E kemudian mengambil alih jalannya acara dengan mulai memutar potongan film pendek yang menggambarkan kondisi Indonesia dan dunia Islam selama setahun terakhir.
Ir. Dudy Arfian mengatakan, Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk selalu melakukan muhasabah, sejauh apa capaian kita dalam kehidupan. Miris melihat realitas umat Islam yang hura-hura dalam gempita pergantian tahun. “Lihatlah keadaan sekarang, KPU Lampung mengatakan dana kampanye Lampung pada 2014 mencapai Rp400 miliar. Cost politic demokrasi sangat mahal. Uangnya dari mana kalau bukan uang rakyat? Partai politik seakan berlomba-lomba mengumpulkan pundi pundi demi persiapan pesta demokrasi 2014. Biaya politik yang sangat mahal ini mengakibatkan orang menghalalkan segala cara demi meraup suara. Dirjen Otda mengatakan 300 kepala daerah tersangkut korupsi. Bahkan bumper terakhir demokrasi, Mahkamah Konstitusi tersandung kasus korupsi,” ungkap Dudy.
Masyarakat makin apatis. Kita sering melihat coretan di belakang bak truk, “Isih penak jamanku to?” dengan grafiti Presiden Soeharto yang melambaikan tangan. Artinya, kehidupan kita bukan lebih baik, tapi memburuk, raportnya merah semua.
H. Akhiril Fajri menjelaskan beberapa catatan penting mengenai persoalan ekonomi Indonesia. “Karena masalah ekonomi terkait dengan bidang lain seperti politik, dan pemerintahan. Ekonomi adalah sub-bidang dari ideologi yang diterapkan oleh negara. Fakta menunjukkan, 80% dari total APBN yang Rp350 triliun digunakan negara hanya untuk membayar hutang ke IMF sebesar 200 triliun. Selain itu, sisanya 20% disunat oleh birokrat yang korup. Jalan jalan rusak, tidak menjadi perhatian,” ungkapnya.
Padahal menurutnya, Indonesia adalah negeri yang kaya. “Melimpahnya potensi sumber daya alam yang yang seharusnya dikelola negara malah diberikan ke investor asing. Dinas Kementerian Pertambangan dan Energi mengatakan di Lampung ada sumber daya substitusi tenaga listrik melalui geothermal. Letaknya di Ulubelu Tanggamus, tapi malah dikelola perusahaan multinasional Chevron. Sekedar catatan, Lampung terdaftar sebagai tingkat ekonomi paling miskin kedua setelah Aceh. Padahal merupakan sebuah kewajaran bila Aceh masuk dalam kategori terendah karena baru saja dihantam tsunami yang mengakibatkan perekonomian turut kolaps. Namun kondisi di Lampung saja sebegitu rendah tingkat perekonomiannya, apalagi keseluruhan provinsi di Indonesia?” ujar Akhiril.
Indonesia pada hakikatnya walau sudah merdeka namun masih dalam cengkeraman negara penjajah. “SDA kita dikuasai asing, subsidi bahan bakar minyak (BBM) disunat. Dampaknya ke kebutuhan pokok rakyat yang harganya melambung tinggi. Pengangguran terjadi dimana mana, kalau pengangguran banyak, kriminalitas meningkat.”
Akhiril Fajri kemudian menjelaskan, “Menurut beberapa pendapat pengamat, kita belum mampu mengelola sendiri SDA kita, padahal sebenarnya kita mampu. Misalnya di Blok Cepu, masyarakat merakit sebuah alat untuk mengebor minyak. Tanah kering, dicolok saja keluar semburan minyak. Hasil inovasi teknologi sederhana masyarakat kampung yang bergotongroyong ternyata mampu menghasilkan minyak yang sangat baik. Ini bukti bahwa sumber daya manusia (SDM) Indonesia itu sangat mampu, apalagi kalau penguasa negeri ini punya political will dan tentunya tekanan ideologi.”
Di Lampung Selatan ada pusat penggemukan sapi terbaik, terbaik pertama untuk wilayah Indonesia bagian barat, dan kedua secara nasional dalam bidang peternakan, lalu kenapa harus impor daging sapi? Pastilah sarat korupsi. Pada Konferensi KTT APEC kita diberi ucapan selamat hanya karena penyelenggaraan acaranya yang baik, tapi anehnya justru prestasi pengelolaan ekonominya dari negara lain. Di layar proyektor diperlihatkan peta Indonesia, namun tidak ada satu titik pun yang menunjukkan bendera Indonesia, yang ada malah bendera negara-negara imperialis asing seperti Amerika, Prancis, Inggris serta China.
Ir Dudy Arfian kemudian mengungkap, “Kita banyak memiliki varietas unggulan, tapi kenapa kita tidak bisa maju? Salah satu faktor penyebabnya adalah pupuk mahal, serta tidak ada kepastian panen, bibitnya juga belum tentu bibit unggul. Akhirnya, 1,7 juta ton kita impor. Ironisnya, ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kuota impor ini. Semua aset kita ini semakin diliberalisasi menjadi-jadi. Rektor UGM mengatakan 70% aset negara milik asing. Krakatau Steel punya Jepang. Telkomsel Indosat punya Singapura. Dari segi migas, sumur minyak kita hampir semuanya diambil oleh asing. 70% APBN kita untuk bayar hutang. Itupun 30% masih dikorupsi. Belum lagi mafia pajak. Mau jadi apa negeri ini?”
Ir Dudy Arfian mengungkap, “Parameter sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan pokok individu masyarakat. Yaitu memenuhi sandang pangan dan papan mereka. Kalau standar BPS, pendapatan dibawah Rp210 ribu baru dianggap miskin. Tapi menurut standar Bank Dunia dianggap miskin bila penghasilan masyarakat di bawah dua dollar per hari (Rp19ribu). Kalau ikut standar tersebut berarti 40% warga negara kita miskin. Pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia naik 6% lebih baik dari Singapura. Tapi itu hanyalah catatan di atas kertas.”
H Akhiril Fajri kemudian mengurai permasalahan, “Parpol punya kepentingan. Kontestan pemilu sering gontok-gontokan dan melakukan anarki dan kekerasan, justru lebih keras dari ormas-ormas Islam yang mereka tuduh melakukan aksi fisik. Dalam konteks politik demokrasi jelas, demokrasi bukanlah berasal dari Islam, seharusnya fatwa yang dikeluarkan MUI adalah fatwa untuk menegakkan syariah Islam, bukan fatwa haram golput. Jangan menyalahkan rakyat yang golput karena apatis melihat elit pemimpinnya. Semua tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia, juga liberalisasi agama, kebebasan bertingkah laku, kebebasan berpendapat dan kebebasan ekonomi atau kepemilikan.
Host Ahmad Fatoni, S.E berujar, “Kalau kita lihat dan bandingkan, sama dengan raport anak sekolah yang merah semua nilainya, biasanya karena faktor tidak belajar, guru yang tidak kompeten, teman yang tidak baik, atau sekolah yang tidak kondusif. Kalau kita evaluasi krisis ini, akar masalahnya sistem kapitalisme. Ideologinya sekular, memisahkan agama dari kehidupan. Misalkan saja kita tanya orang yang sedang berjudi, apakah mau masuk surga atau neraka? Pasti maunya masuk surga. Anehnya dia tidak mau berjalan di jalan yang bisa menghantarkan dirinya ke surga. Agama ternyata tak berperan dalam kehidupannya.”
Ir Dudy Arfian menjelaskan, kapitalisme sekular menggunakan demokrasi sebagai metode penjajahannya. Demokrasi asal muasalnya bukan dari Islam, tapi berasal dariYunani kuno. Filosof eropa yang frustasi akan zaman kegelapan (the dark age) kemudian mengadopsi demokrasi dari Yunani tersebut. Sebagian menolak peran agama untuk mengatur kehidupan (sekular) sebagiannya menolak agama sama sekali. Inilah yang menyebabkan keterpurukan umat Islam, “Solusinya adalah syariah dan khilafah!” tegasnya.
Host membuka sesi tanya jawab, Rudiyanto dari Pekalongan Lampung Timur menanyakan, “Kita melihat dan mendengar ternyata negeri kita ini adalah negeri para bedebah. Negeri yang subur agraris, tapi hasil taninya diimpor. Apa solusi instan mengurai masalah bagi masyarakat?” Penanya kedua Heru Setiawan dari Rajabasa, “kita tahu Indonesia negara hebat. Tapi kenyataannya terbalik. Kenapa kita tidak mengubahnya menjadi lebih baik dengan masuk ke dalam sistem sistem pemerintahan?” sedangkan penanya dari bandar Lampung Kris Agus Saputra menanyakan, “Bagaimana cara meyakinkan masyarakat yang sekuler ini?”.
Pemateri H Akhiril Fajri menjawab, “Solusi dari Hizb, setiap muslim harus terikat dengan aturan syariah Islam. Dasar kita adalah terikat dengan hukum Islam. Termasuk bagaimana metode perubahan menuju tegaknya syariah dan khilafah. Masalahnya, kalau perubahan instan atau tidak instan, itu belum jelas standarnya. Perubahan haruslah mengikuti metode Rasulullah SAW. Beliau SAW meyakinkan masyarakat kepada Islam, agama yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Rasul SAW membina para sahabat di rumah Arqam. Selanjutnya dakwah terjun ke masyarakat. Sehingga umat sadar dan mau berubah. Sampai akhirnya negara Islam tegak.
Akhiril menegaskan, proses perubahan tidak pernah terjadi secara menyeluruh dari dalam parlemen (demokrasi). Dia memberi contoh reformasi 1998, “Apakah terjadi dari dalam sistem? Tidak, tapi perubahan justru datang dari luar sistem. Front Islamic du Salut (FIS) di Aljazair ingin menegakkan syariah dari dalam sistem, dengan slogan, Aljazair sakit, obatnya adalah Islam, dan dokternya adalah FIS. Secara fenomenal FIS menang mutlak karena 80% rakyat memilih FIS. Tapi hal itu tak berlangsung lama, parlemen dibubarkan Perancis, anggota FIS ditangkapi, dipenjara dan sebagian terbunuh. Alasannya, tidak sesuai konstitusi demokrasi. Mayoritas umat tak mampu mengganti sistem. Dalam demokrasi pejuang Islam bukannya mewarnai tapi malah terwarnai. Karena demokrasi memandang kebenaran dari jumlah kepala, bukan isi kepala. Suara seorang pezina setara dengan suara seorang ulama.”
“Perjuangan yang instan, akan bertahan secara instan. Seharusnya perjuangan dilandasi dengan syariah mengikuti metode perjuangan Rasulullah. Ahlul Quwwah seperti penguasa, paramiliter, intelektual, ulama diseru untuk menerapkan Islam dalam sistem khilafah.”
Ir Dudy Arfian menambahkan, “Merubah seorang manusia butuh waktu, karena manusia bukan mesin yang bisa disetting seperti robot. Manusia bisa berubah karena pemikirannya. Perlu proses pembelajaran yaitu proses dakwah. Banyak yang tidak mengenal Islam sebagai suatu ideologi. Perjuangan tidak instan. Amien Rais misalnya, mengenalkan kata reformasi sejak 1987 ke kampus-kampus di Indonesia. Intinya adalah menggulingkan rezim Soeharto. Tapi Amien Rais tidak mengenalkan bagaimana konsep ekonomi reformasi dll. Juga tidak menyiapkan pengganti Soeharto, maka perjuangan reformasi menjadi gagal. Banyak yang kecewa. Oleh karena itu kita perlu wujudkan kesadaran umum dengan perjuangan yang terukur, dengan menegakkan khilafah.
Sesi tanya jawab kedua, salah seorang peserta HIP Eko Muryanto menanyakan “Menyongsong pemilukada, bagaimana sikap kita dan pendirian kita seharusnya menurut HTI? “ Lalu Herman Lampung Timur bertanya, apakah HT diboncengi pemerintah sekuler, karena tidak ada tindakan menjegal dakwah HT yang dikenal anti demokrasi dan tidak mengusung Pancasila.
Dudy Arfian menjawab, “Bagaimana memilih orang dalam Islam, haruslah memilih yang sesuai syariah dan kompeten. Tidak boleh memilih pemimpin yang korup dan anti Islam. Memilihnya berarti kita berkontribusi dalam dosa yang dilakukan pemimpin. Pilihlah orang yang bertaqwa. Tapi sebenarnya orang yang terpilih dalam parlemen juga menyesal. Karena sistemnya tidak menjamin ketakwaan, menjerumuskan orang-orang yang awalnya ikhlas memperjuangkan Islam menjadi ikut arus keburukan. Maka, sistemnya harus dirubah dulu menjadi sistem Islam. Bagaimana pemilu 2014 nanti ? Memilih dalam pemilu demokrasi berarti meneguhkan demokrasi sistem kufur. Apapun yang akan terjadi kalau kita memilihya, tetap berjalan atas apa yang sudah digariskan yaitu kapitalisme sekular. Aturan main sudah disiapkan.”
Dudy memberi contoh kenalannya yang kini menjadi pejabat pemerintah, “Ketika masuk dalam sistem, status seseorang menjadi berubah. Dari kendaraannya hanya motor butut, menjadi punya mobil mewah tiga buah. Akhirnya menikmati demokrasi. Dia memproteksi dirinya dan meneguhkan kedudukannya terhadap kritisme masyarakat dan menjadi status quo.”
Akhiril Fajri turut menjawab, tidak ada kepentingan HTI selain dorongan akidah Islam yang menginspirasi untuk aktivitas dakwah. HTI tidak diboncengi pemerintah sekuler. Justru HTI menjadi garda terdepan mengkritisi konsep demokrasi yang diterapkan pemerintah dan produk-produk undang-undang dan kebijakannya yang bertentangan dengan syariat dan menyengsarakan rakyat.
Dudy Arfian berpesan pada hadirin, “Di penghujung akhir tahun ini tepat untuk kita melakukan muhasabah dan introspeksi diri. Apakah memberikan kebaikan atau tidak. Secara pribadi introspeksi, apakah belum menjadi orang yang bertakwa, atau hanya menjadi penonton saj, atau ikut berjuang? Kita melihat kemiskinan, kriminalitas, demoralisasi, agama dicerai dari kehidupan, semua terjadi di hadapan kita. Ini harus diubah. Perlu gerakan perubahan kolektif. HTI sebagai gerakan politik menginisiasi bahwa Islam adalah sebuah jalan hidup. Sistem sosial, peradaban yang dibentuk oleh sebuah negara dan adidaya diterapkan oleh sebuah ideologi. Kita punya kekuatan untuk memimpin dunia kembali. Semoga tahun ini adalah akhir dari keburukan, dan 2014 adalah awal dari kebangkitan kaum muslim. []