Sebanyak 51,3 persen responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya di Pilpres 2014
Kekhawatiran banyak kalangan tentang bakal sepinya partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014 mulai terbukti. Banyak pengamat dan survei menduga masyarakat jenuh dengan penyelenggaraan pemilu, apalagi tidak ada perubahan signifikan dari hasil pemilu itu.
Survei terbaru Indonesian Riset Institute (Insis) memprediksikan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden 2014 menurun dibandingkan Pilpres 2009 menjadi 51,3 persen. Tingkat partisipasi pemilih cenderung turun sebesar 2-20 persen dan itu menurun pada pilpres.
“Sebanyak 51,3 persen responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya di Pilpres 2014,” kata peneliti Insis Mochtar W Oetomo di Jakarta, Ahad (12/1).
Ia menjelaskan, dalam survei itu disebutkan sebanyak 38,22 persen responden tidak menjawab. Selain itu, sebanyak 10,46 persen responden tidak akan menggunakan hak pilihnya. “Pertanyaan diajukan sebelum responden memiliki referensi nama tokoh nasional atau sebelum pertanyaan soal popularitas diajukan kepada responden,” ujarnya.
Mochtar menjelaskan, sebanyak 59,9 persen responden menjawab tidak tahu ketika ditanya akan menggunakan hak pilihnya atau tidak pada Pilpres 2014. Selain itu, sebanyak 9,06 persen responden menilai ingin perubahan, 8,31 persen memilih karena kewajiban sebagai warga negara, dan 8,13 persen memiliki kesadaran karena memiliki hak pilih.
Ia menilai, tingkat partisipasi pemilih dalam pilpres terus menurun sejak 2004. Menurut Mochtar, dalam Pilpres 2004 putaran pertama, partisipasi pemilih sebanyak 78 persen, dan di putaran kedua menurun menjadi 75 persen. “Lalu di Pilpres 2009 tingkat partisipasi pemilih sebanyak 72,10 persen,” katanya.
Merespon hal tersebut, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rokhmat S Labib mengatakan, masyarakat sudah terlalu sering mendapatkan janji kosong dalam pemilu. Setiap partai politik pun telah menikmati kekuasaan pasca reformasi namun perubahan itu tidak didapatkan oleh masyarakat.
“Dari situlah masyarakat akan beranggap untuk apa nyoblos kalau kemudian masyarakat tidak mendapatkan manfaat apapun,” ujarnya kepada Media Umat.
Menurut Rokhmat, adanya partai baru pun tidak akan membuat masyarakat tertarik sebab yang ada hanya menampilkan partai baru namun sosok yang ada merupakan orang lama. “Masyarakat sudah hafal bahwa apa yang mereka bawa merupakan janji kosong,” terangnya.
Hal ini juga membuktikan ketidakpercayaan publik pada demokrasi. Rakyat melihat kebijakan penguasa yang berasal dari partai-partai tidak berpihak pada rakyat. Rokhmat mencontohkan kebijakan kenaikan Harga BBM yang sangat menyengsarakan rakyat.
“Mereka mengatakan kami ini wakil rakyat, lalu bagaimana rakyat mau terima kalau mereka diwakili oleh orang-orang yang menindas mereka, dan masyarakat sudah mengetahui bahwa pangkal kesengsaran ini semua karena demokrasi?” jelasnya.
Hizbut Tahrir, lanjutnya, yang membawa semboyan, dan tema-tema yang menjanjikan umat seperti hidup sejahtera di bawah naungan khilafah itu berbeda dengan jargon partai politik yang ada. Sebab, hal itu berasal dari Alquran dan Sunnah. Kata Rokhmat, jika umat ingin mendapatkan kebaikan dunia akhirat tidak lain kecuali mengikuti hukum Allah.
“Kami juga tidak membawa pesan global tapi juga pesan terperinci bagaimana Islam itu diterapkan dalam sebuah negara,” tuturnya.
Peluang perjuang syariah dan khilafah pun, menurut Rokhmat, sangat besar didukung masyarakat, sebab penduduk masyarakat itu mayoritas Muslim. “Dan inilah kita sampaikan kepada umat, bahwa anda adalah Muslim dan memiliki sumber hukum dari Allah yang akan menyejahterakan Anda, ini tidak sulit selama umat Islam disentuh keimanannya,” pungkasnya. (mediaumat.com, 15/1/2014)