Oleh Agus Suryana*
Satu hal yang sering luput dari perhatian kita sebagai seorang muslim adalah bahwa setiap diri kita akan senantiasa diawasi dan dicatat amal-amalnya apakah baik atau buruk oleh malaikat Raqib dan ‘Atid. Semuanya pasti tahu, ini bukanlah pengetahuan baru, bukan pula ilmu baru bagi kita, namun marilah sedikit meluangkan waktu untuk kembali menyadari dan mulai menginternalisasikan pada diri akan kesadaran tentang hal ini.
Kita sering lupa bahkan kebablasan dalam berperilaku di pergaulan sehari-hari, entah itu di masyarakat, tempat kerja, di sekolah, kuliahan, saat berbisnis, dll, kita sering mereduksi keberadaan Allah Swt yang maha mengawasi kita, dan para malaikat yang selalu mencatat setiap amalan-amalan kita, dengan “gagah berani” dan cukup percaya diri kita kadang melakukan berbagai pelanggaran hukum syara’ hanya karena kita jauh dari lingkungan Islami, lingkungan dakwah dan aktifitasnya, jauh dari rekan-rekan seperjuangan, kita merasa tidak diawasi oleh orang tua, ustadz, oleh musyrif, atau yang lainnya yang kita anggap menjadi panutan sehingga kita “takut” jika perbuatan maksiyat tsb ketahuan olehnya.
Taat Jika Ada yang Lihat
Saat bulan Ramadhan yang lalu kita begitu terasah dengan sikap muroqobah (senantiasa merasa diawasi oleh Allah swt dalam setiap aktifitas kita). Dalam kesempatan ceramah di bulan Ramadhan penulis sering bertanya kepada audiens “Beranikah hadirin sekalian untuk berbuka, makan-minum di siang hari yang dilakukan di kamar dengan pintu terkunci dari dalam dan dijamin tidak ada seorangpun yang mengetahui tentang apa yang kita lakukan, setelah kita makan-minum sepuasnya kita bersihkan mulut kita dan keluar dengan berpura-pula lemas sebagaimana orang yang shaum pada umumnya, saya jamin tidak ada orang yang tahu. Apakah hadirin berani melakukannya?” Dengan spontan dan mantap mereka menjawab “Tidaak!” kenapa? Karena satu alasan saja yakni kita merasa dilihat oleh Allah Swt, saat itu betapa kita mampu menghadirkan rasa takut yang luar biasa akan adanya pengawasan Allah Swt dan malaikat-Nya saat dihadapkan pada perbuatan maksiyat yang hendak kita kerjakan.
Tapi sangat disayangkan, bagi sebagian orang rasa takut itu justru hanya muncul di saat bulan Ramadhan dan hanya untuk satu perkara saja yakni takut berbuka shaum di siang hari tanpa ada udzur syar’i , sementara untuk ibadah dan muamalah lain yang dilakukan di bulan-bulan lainnya rasa takut itu tidak muncul. Taat jika ada yang melihat telah bergeser pada pemaknaan bahwa seseorang akan taat jika ada manusia yang melihat bukan karena ada Allah yang melihat.
Sebagai contoh, betapa banyak politisi muslim yang begitu semangat mengobarkan api permusuhan pada perjuangan penegakkan Syariah dan Khilafah Islam, padahal perkara ini adalah persoalan ma’lumun minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang tentang kewajibannya), pejabat yang korupsi dan memakan suap, penguasa sekular yang rajin menipu dan mendzolimi rakyat, fungsionaris partai Islam yang latah mengucapkan selamat hari raya agama lain demi mendongkrak konstituen menjelang pemilu dan agar dinilai pluralis serta toleran. Pertanyaannya dimanakah rasa takut mereka semua saat melakukan tindakan-tindakan tsb? Bukankah sebagiannya adalah yang mengerti dan sangat paham tentang Islam?
Sementara dilain pihak betapa banyak kaum muslim yang bisnis dan muamalahnya bergelimang riba, uang yang diperolehnya dari hasil “menyikut” orang lain, menipu, dan memanipulasi, tapi semuanya tetap bergeming, cuek saja, no hard feeling tidak punya perasaan apa-apa. Betapa banyak kaum muslim yang tidak menggigil ketakutan dengan dosa investasi yang harus ditanggungnya dari jutaan orang yang berbuat maksiyat—hatta dari kemaksiyatan yang dilakukan oleh orang yang tak pernah dikenalnya sekalipun—yang hingga hari ini tidak bisa dihukum berdasarkan syariah Islam karena ketiadaan Khilafah sebagai institusi pemegang sholahiyah (kewenangan) untuk menghukuminya, betapa banyak remaja muslim yang cuek bebek dengan pergaulannya yang liberal dan amburadul sampai (jangan lupa) betapa banyak para aktivis pengemban dakwah Islam yang pekerjaannya sampai “lupa ingatan” dan “lupa daratan”.
“Lupa ingatan” dalam arti bahwa sesungguhnya dia adalah pengemban dakwah yang di pundaknya tengah dipikul tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar tapi sering lalai, “lupa daratan” maksudnya bahwa dia telah kebablasan dengan kehidupan untuk mengejar dunianya sehingga dakwah tidak lagi menjadi poros dalam hidupnya, sehingga misi perubahan masyarakat dengan Islam menjadi telantar. Atas semua hal itu, maka lagi-lagi muncul pertanyaan, ainallah? dimana Allah (buat mereka)? Dimana Allah ketika kita “asyik” dengan perbuatan-perbuatan lalai dan maksiyat tsb?
Bertakwa Dimana Saja Berada
Sebagai bahan kontemplasi tentang apa yang telah diulas, sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengingatkan kita dengan sabdanya:
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja berada, apabila melakukan keburukan ikutilah segera dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapuskan keburukan dan bergaulah dengan manusia dengan pergaulan akhlak yang baik” (HR. Abu Dawud)
Yang menjadi poin pembahasan disini adalah “Ittaqillaaha haitsumaa kunta.. bertakwalah kepada Allah dimana saja berada…
Apa itu takwa? Menurut para ulama inti dari takwa itu ada tiga:
- Al khouf minal Jalil (takut kepada Allah zat yang maha gagah perkasa)
- Wal ‘amalu bi tandziil (mengamalkan wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt, mengamalkan aturan Islam, mengamalkan Syariat Islam)
- 3. Wal ‘isti’daadubirrohiil (mempersiapkan diri untuk perjalanan menghadapi hisab dari Allah Swt)
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja berada..” Memiliki makna bahwa kita harus takut kepada Allah, senantiasa taat kepada syariat-Nya, dan senantiasa mempersiapkan diri menghadapi hisab dari Allah haitsumaa kunta (dimana saja kita berada) baik ketika kita sedang di rumah, di angkot, sedang di kantor/tempat kerja, di kampus, sedang belajar, sedang di pasar, sedang ngobrol, saat di jalanan, sedang berbisnis, bahkan sedang di ruangan pengadilan-pun kita harus senantiasa bertakwa kepada Allah, harus takut kepada Allah, dan harus menerapkan aturan-aturan Allah Swt.
Jelaslah bahwa dalam setiap detik nafas kehidupan kita, kehadiran dan pengawasan Allah Swt wajib diyakini dan disadari oleh kita, sebab hanya dengan cara itulah rasa takut itu akan muncul, rasa takut yang akan menjadi hijab/penghalang atas segala kemaksiyatan yang berpotensi kita kerjakan di depan mata kita. Dengan demikian, kita berharap dengan hal tsb, Allah Swt akan mengangkat kita menjadi orang yang paling mulia di sisi-Nya. Wallahu Alam..
*Penulis, Penggiat Perubahan Berbasis Islamic Ideology, Penulis Buku “A Big Change”
Sumber: eramuslim.com (18/1/2014)