Penyebab Banjir Jakarta, dari Teknis hingga Ideologis

Prof Dr Ing Fahmi Amhar, profesor riset Badan Informasi Geospasial (BIG), menyatakan banjir Jakarta hanya bisa diselesaikan dengan ditegakkannya Khilafah, bila penyebabnya adalah masalah ideologis.

“Kalau benar masalahnya ideologis, maka benar bahwa usaha tuntas mengatasi banjir itu adalah mengganti ideologi itu dengan Islam. Dan sebuah negara yang ideologinya Islam, disebut Khilafah,” tegasnya kepada mediaumat.com, Selasa (21/1) melalui surat elektronik.

Karena, menurutnya, kalau banjir itu cuma insidental, maka itu persoalan teknis belaka.
Tetapi kalau banjir itu selalu terjadi, berulang, dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik.

“Kalau banjir sistemik itu dapat selesai dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru dan lain-lain, maka itu sistem teknis,” ungkapnya.

Namun kalau itu menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk atasi bencana, pejabat yang tidak kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dan lain sebagainya, Fahmi menegaskan, maka itu sudah terkait dengan sistem non teknis.

“Sistem non teknis kalau saling terkait dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa semua ini agar diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses demokratis, maka persoalannya sudah ideologis,” simpulnya.

Ia juga menjelaskan, mekanisme pasar berarti membiarkan semuanya pada hukum permintaan dan penawaran. Misalnya, kepemilikan tanah sepenuhnya tergantung pasar. Akibatnya, banyak orang yang tadinya punya empang, akhirnya empangnya dijual karena perlu uang. Dan oleh pembelinya, empangnya dikeringkan karena lebih menguntungkan untuk bikin real estate.

Sedangkan demokratis, lanjut Fahmi, artinya, semua peraturan diserahkan pada “kehendak rakyat”, yang seringnya rakyat hanya legitimasi saja, karena opini sudah dibentuk, dan wakil-wakil rakyat lebih mewakili kepentingannya sendiri.

“Proses demokratis juga membuat para politisi hanya berpikir 5 tahun ke depan. Masih mending kalau itu buat memikirkan rakyat dalam pembangunan yang berkelanjutan, kadang hanya memikirkan bagaimana agar balik modal, dan bagaimana nanti bisa terpilih lagi,” pungkasnya. (mediaumat.com, 21/1/2014)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*