Kematian Perlahan Rakyat Suriah

Di saat masyarakat internasional melakukan tawar-menawar atas senjata kimianya, Bashar al-Assad membunuh ribuan orang dengan kelaparan.

 Oleh : Anne Applebaum

LONDON-Untuk imajinasi modern, tidak ada yang begitu menakutkan seperti senjata berteknologi tinggi. Film horor kita dipenuhi dengan tabrakan pesawat, virus hasil rekayasa genetik, dan komputer jahat yang telah mengambil alih pesawat ruang angkasa. Mimpi buruk keamanan kita adalah pada nuklir, kimia, dan senjata biologi. Frasa yang kita gunakan untuk menggambarkan kengerian pada masa ini adalah, “senjata pemusnah massal,” yang menyiratkan tindakan kejam zaman modern, suatu penemuan yang sangat inovatif yang dapat membunuh ribuan orang dalam sekejap.

Namun suatu hal baru yang menakutkan, adalah tampaknya kita lupa bahwa ada cara yang jauh lebih lama untuk membunuh banyak orang. Tentu saja ada senjata pemusnah massal tipe kuno dan berteknologi rendah yang bahkan tidak memakai mesiu, apalagi alat mematikan yang kita tidak begitu peduli sebagai sebagai senjata konvensional. Metode ini disebut “kelaparan.”

Di Eropa pada abad pertengahan, kelaparan adalah konsekuensi de facto dari suatu pengepungan. Tentara akan mengelilingi suatu benteng atau tembok kota, mencegah makanan masuk dan kemudian menunggu. Penduduk kota akan menjadi lemah. Mereka akan kehilangan rambut dan gigi. Lalu, mereka kemudian akan menyerah, atau mati dalam jumlah besar.

Pada abad ke 20, para diktator menggunakan kelaparan bukan hanya sebagai taktik pertempuran tetapi juga untuk membunuh orang-orang yang tidak bisa menerima visi mereka atas sebuah masyarakat yang ideal. Sebelum beralih memakai metode yang lebih “industrial”, Hitler menggunakan kelaparan untuk membunuh orang-orang Yahudi: tentara Nazi menutup mereka di dalam ghetto, lalu menutup pintu-pintunya, dan menembak anak-anak yang mencoba menyelundupkan makanan masuk melalui gorong-gorong. Stalin menggunakan kelaparan untuk membunuh para petani Ukraina: Tentara Soviet menyita gandum mereka, merampas makanan dari tempat penyimpanan makanan mereka, dan memblokir jalan-jalan sehingga tidak bisa dijangkau oleh mereka. Seperti pada Abad Pertengahan, orang-orang Yahudi dari ghetto Łódź dan para petani dari wilayah Kharkiv itu menjadi lemah, kehilangan rambut dan gigi, dan kemudian mati. Jutaan orang dibunuh, tanpa bau gas sarin atau partikel plutonium.

Saat ini, “dipaksa mati kelaparan” terdengar seperti sesuatu film berita lama. Namun tidak demikian. Saat ini, pada abad ke 21, diktator Suriah Bashar al-Assad sekali lagi memanfaatkan hal itu. Sementara masyarakat internasional tawar-menawar atas senjata kimia nya, senjata yang merupakan mimpi buruk abad modern, dia mencontoh abad pertengahan dan para pendahulunya di abad ke 20 dan dengan sengaja memaksa ribuan orang mati kelaparan.

Karena dia mengatakan dia tidak ingin memberi makan kepada para pemberontak bersenjata, truk-truk yang penuh dengan bantuan pangan sekarang parkir di luar kota yang terkepung itu di Homs, dimana warga sipil yang tidak diketahui jumlahnya tidak memiliki persediaan makanan untuk beberapa minggu. Efeknya adalah sama seperti mereka berada di ghetto Łódź. Seorang pendeta Belanda yang masih tetap berada di dalam kota itu menggambarkan orang-orang menjadi gila karena kelaparan: “Bayi-bayi adalah yang paling menderita. Ibu-ibu menyusui tidak bisa memberi makan kepada bayi-bayi mereka karena mereka terlalu lemah karena kelaparan. Kami mencari ke mana-mana untuk menemukan susu, dan ketika kami menemukannya, kami mencampurnya dengan air.”

Pada saat yang sama, sekitar 20,000 orang pengungsi yang tinggal di kamp Yarmouk di dekat Damaskus juga menjadi lemah, kehilangan rambut dan gigi, dan menjadi sekarat. Selama kelaparan di Ukraina pada awal tahun 1930-an, orang-orang yang kelaparan memakan serangga, daun-daunan, dan rumput untuk bertahan hidup. Di Yarmouk sekarang orang-orang memakan kucing, kaktus, dan rumput untuk bertahan hidup. Salah satu seorang saksi mengatakan bahwa sebagian orang di sana hanya minum air. “Kadang-kadang kami melakukan ini … minum air dengan ditambah gula atau garam dan kembali tidur. Namun, ketika anda pergi ke jalan anda akan menemukan tetangga anda… mereka sudah mati. “Di sini juga pemerintah menolak untuk membiarkan masuk kendaraan-kendaraan bantuan, dengan alasan bahwa “teroris” sedang mencari perlindungan di dalam kota.

Yang lebih buruk lagi adalah ketika perang berlanjut, tindakan politik dengan membuat kelaparan ini menjadi lebih kompleks. Untuk membalas dendam atas pengepungan Homs, para pejuang Suriah memblokasi beberapa desa dekat Aleppo. Di tempat-tempat lain blokade pemerintah longgar, meskipun semua orang tahu mereka bisa memperketatnya jika harus. Perang dengan taktik kelaparan adalah perang taktik yang ‘sangat berguna dan alat politik’. Tidak hanya itu hal ini menjadikan tentara pejuang kekuarangan senjata, kelaparan akan benar-benar dapat menghilangkan lawan. Orang-orang yang kelaparan atau mati-tidak akan melawan.

Di atas segalanya, kelaparan, berbeda dengan senjata kimia, berguna dalam perang ini karena tidak menjadi perhatian tertinggi di dunia internasional. Sejumlah menteri luar negeri telah mengutuk penggunaan teknik kelaparan di Suriah, Namun, sejauh ini belum memicu kampanye publik atau liputan media massa. Taktik ini tidak menimbulkan perdebatan tentang intervensi kemanusiaan. Dan inilah alasannya mengapa teknik ini terus berlangsung: Bagi para pelakunya, ini adalah bentuk pembunuhan yang lebih lambat dan lebih aman daripada penggunaan bom nuklir. Namun bukan berarti hal ini kurang mematikan bagi para korban. (rz/slate.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*