Barangkali tak banyak orang yang tahu tentang Islam di Polandia. Siapa sangka Polandia adalah negara yang memiliki andil penting dalam perang terakhir Khilafah Utsmaniyah di Vienna, Austria pada 12 September 1683. Kisahnya, selama dua bulan, ibukota Austria dikepung tentara Utsmani (Ottoman) dan kemenangan sudah hampir jatuh ke tangan mereka. Namun, Kaisar Austria kemudian mendapat bantuan dari Polandia yang dipimpin oleh Jan III Sobieski. Kepungan tentara Ottoman bisa dilawan dan mereka terpaksa mundur dari medan pertempuran.
Di tengah populasi penduduk yang 99 persen beragama Katolik, populasi Muslim Polandia terbilang sangat sedikit. Dari sekitar 38 juta penduduk Polandia, populasi Muslim di sana kurang lebih sekitar 40.000 jiwa, hanya sekitar 0,001 persen. Tidak banyak masjid yang didirikan, terhitung ada enam Islamic Center yang memiliki fasilitas lengkap, salah satu terbaiknya ada di kota tempat penulis tinggal, Wrocław (baca: Vrocwav).
Jangan dibayangkan masjid di sana didirikan dengan kubah dan menara. Hanya rumah empat lantai yang beralih fungsi menjadi masjid. Tentu di sana tidak diizinkan mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Di masjid inilah Muslim di sekitar Wrocław berkumpul untuk shalat fardhu, shalat Jumat, belajar bahasa Arab, belajar Islam, dll.
Di lantai tiga terdapat publishing house yang menerjemahkan buku-buku keislaman ke dalam bahasa Polandia. Termasuk di dalamnya menerjemahkan Alquran dan hadist. Ruangan tempat anak-anak kecil belajar Islam dan ruang kelas berada di lantai yang sama.
Di samping kanan masjid terdapat sebuah toko yang menjual daging halal serta di sebelah kirinya berdiri sebuah restoran halal. Setiap hari Jumat pemilik restoran ini menyediakan makanan gratis bagi jamaah setelah shalat Jumat. Masjid menjadi pusat aktivitas keislaman di sana.
Perkembangan Islam di Polandia meski terhitung lambat namun ada kemajuan. Diperkirakan setiap dua bulan ada satu warga asli Poland yang masuk Islam. Semua ini tak lepas dari upaya umat Islam yang tergabung dalam Poland Muslim League, semacam persatuan Muslim di sana.
Saya berkesempatan mewawancarai Dr Ali Abi Issa, pimpinan Muslim League yang sudah 25 tahun menetap di Poland. Melihat adanya penduduk asli Poland yang masuk Islam di tengah mayoritas penduduk beragama Katolik, tentu menimbulkan rasa penasaran.
Ali Abi Issa menjelaskan, rata-rata sebelum seseorang memutuskan masuk Islam, ada sebuah fase di mana dia ‘kehilangan Tuhan’ kemudian melakukan pencarian. Istilah lainnya ignostik atau atheis secara tidak langsung. Pada saat tersebut ada beberapa orang yang menemukan hakikat Tuhan yang benar di Islam melalui diskusi dengan komunitas Islam, sebelum kemudian akhirnya bersyahadat. Inilah kemudian yang terus dilakukan. Mereka menunjukkan kebenaran dalam Islam lewat diskusi, bukan memaksa mereka untuk mengganti agama Kristen dengan pertumpahan darah seperti yang ditakutkan oleh kaum islamophobia.
Polandia termasuk negara yang toleran dan banyak penduduknya tidak terlalu ambil pusing dengan perbedaan. Namun ada sebagian orang yang terpengaruh oleh isu islamophobia yang dihembuskan media. Inilah yang kemudian menjadi tantangan terbesar dari Muslim di Polandia serta negara Eropa lainnya.
Sebelum peristiwa 9/11 umat Islam di Eropa bisa hidup tanpa menghadapi banyak masalah. Namun saat ini mereka hidup di tengah islamophobia yang terus meningkat. Isu yang dihembuskan media bahwa Islam menekan perempuan, tega membunuh orang yang berbeda agama, dll, turut memengaruhi sikap mereka terhadap Islam. Muslimah berhijab sering menjadi pusat perhatian. Terkadang mereka menjadi pembicaraan di tram atau di kendaraan umum. Banyak di antara mereka yang berpikir khimar (kerudung) adalah simbol ketertindasan perempuan. Bahkan mereka menganggap bahwa Muslimah berhijab adalah korban pemukulan dan kesewenang-wenangan suami setiap harinya.
Shalat di tempat umum tidak dilarang meski tetap akan menjadi pusat perhatian. Sebuah berita di televisi lokal mengabarkan bahwa ada seorang wanita yang ketakutan melihat seorang Muslim shalat di kereta sebelum kemudian dia menghubungi polisi. Hidup di tengah islamophobia mengajari Muslim di sana untuk terus berupaya menunjukkan sisi Islam yang sebenarnya. Aktivitas di masjid dan persaudaraan yang kuat sesama Muslim turut menguatkan mereka dengan identitas Islamnya.
Hal terakhir yang penulis tanyakan kepadanya adalah tentang persatuan umat Islam. Ia dengan tegas menjawab : “Kita tak akan bisa melindungi kehormatan Islam tanpa adanya sebuah institusi Islam yang kuat. Ini bisa berarti persatuan antar seluruh negara Muslim di dunia. Mungkin seperti khilafah. Ya, banyak orang yang merasa takut dengan khilafah atau pemimpinnya (Khalifah). Tapi kita membutuhkannya. Muslim yang tidak menerimanya, berarti dia belum memahami Islam. Tanpanya, negara Muslim di dunia tak akan mampu melindungi kehormatan Muslim di Palestina, Suriah, atau Rohingya. Bagi saya, siapapun yang menjadi khalifah nantinya, baik itu Erdogan atau Mursi, saya akan menghormatinya dengan sepenuh hati. Saya pun tidak masalah jika nanti pusatnya ada di Malaysia, Eropa, atau di manapun. Jika orang merasa takut dengan kata khilafah, mari kita sebut saja dengan United Muslim Nation. Hal yang terpenting adalah kita membutuhkannya.” [Fitria Miftasani, Kontributor Media Umat , Mahasiswa Erasmus Wrocław University of Technology, Polandia)
Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 121