Bunganya saja tahun ini yang harus dibayar oleh pemerintah mencapai Rp. 120 trilyun!
Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono kembali menorehkan prestasi. Bukan suatu yang bisa dibanggakan, tapi suatu beban yang harus ditanggung masyarakat yakni utang.
Data terbaru dari Kementerian Keuangan menunjukkan, rezim SBY menjadi rezim yang doyan utang. Akhir 2013 tercatat utang Indonesia membengkak hingga Rp 2.371,39 trilyun. Angka ini melonjak hingga Rp171 trilyun dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar Rp 2.200 trilyun, khususnya untuk pembiayaan “proyek-proyek pemerintah”.
Saat mulai SBY berkuasa posisi utang sebesar Rp.1.300 trilyun, dan sampai tahun 2013, posisi utang sampai se besar Rp 2.371,39 trilyun , Selama SBY memegang jabatan presiden, utang bertambah sekitar banyak Rp.1.071,39 trilyun.
Walaupun banyak kalangan yang menilai, utang Indonesia sudah membahayakan bahkan sudah masuk pada jerat utang sehingga membebani APBN yang pada akhirnya rakyat yang menjadi korban.
Namun logika di atas tak berlaku bagi Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, Hatta Rajasa. Besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut menyatakan semakin besar utang yang dimiliki negara justru kian bertambah baik di mata para lembaga maupun negara pendonor alias pemberi utang karena semakin banyak memiliki utang, maka Indonesia bakal dinilai semakin mampu melakukan pembayaran utang tersebut.
Alasan lain sering dikemukakan adalah rasio utang terhadap PDB dibandingkan dengan negara tetangga pun seperti Malaysia dan Thailand, keadaan utang Indonesia lebih baik. Rasio utang terhadap PDB Malaysia, misalnya, diperkirakan 41,6 persen. Untuk Thailand rasio ini diperkirakan 39,9 persen sedangkan Indonesia hanya sekitar 25 persen.
Tapi ingat… walaupun PDB Indonesia tinggi, rasio gininya juga tinggi mendekati 0,5. Rasio gini menunjukkan kesenjangan pendapatan antara yang kaya dan miskin sangat tinggi. Berdasarkan data yang ada, 0,22 persen orang Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasional. Sebesar 87 persen aset yang dikuasai itu berupa lahan tidur, padahal pada saat yang sama, 80 persen petani kini tak punya tanah (lihat http://bisniskeuangan.kompas.com). Jadi terdapat kesenjangan yang luar biasa walaupun PDB besar tapi dihasilkan dari sekitar 20 persen orang Indonesia.
Alasaan lain, utang itu perlu sebagai pengungkit ekonomi untuk menggerakkan perekonomian. “Ya, kalau utang itu dalam batas-batas yang wajar bisa menjadi pengungkit tapi kalau ngutang-nya sudah tidak waras seperti ada sisa lebih anggaran tapi tetap ngutang, ada sumber lain seperti Sumber Daya Alam yang begitu melimpah tapi malah diserahkan kepada para kapitalis asing, maka akan menjadi pengungkit yang kebablasan akhirnya yang diungkit bukan terangkat malah masuk jurang!” kata Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim.
Menurutnya, utang selalu membebani APBN dan menjadi alat politik para kapitalis dan yang lebih bahaya lagi dalam pandangan Islam utang dengan riba kategori dosa besar yang akan mengundang azab Allah SWT. Bunganya saja tahun ini yang harus dibayar oleh pemerintah mencapai Rp. 120 trilyun!
Arim menyatakan, saatnya negeri ini terbebas dari utang. Tapi selama sistem yang diterapkan di negeri ini sistem ekonomi kapitalis dan rezimnya—termasuk DPR karena bertambahnya utang setiap tahunnya merupakan kontribusi DPR—neoliberal maka negeri ini akan tetap menjadi negara pengutang. “Anggaran selalu direkayasa untuk defisit agar bisa ditutupi oleh utang,” katanya.
Solusinya, kata Arim, tidak ada jalan lain selain mencampakkan sistem dan rezim sekuler dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam dalam naungan Daulah Khilafah. [] LM
Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 121