‘Pengantin Anak-anak’ , Narasi Islamofobia dan Tanggapan Kesepakatan

Kasus seorang pria Muslim berusia 26 tahun yang menikahi seorang gadis berusia 12 tahun yang dilaporkan pekan lalu telah menarik banyak perhatian media dan komentator serta tanggapan dari dalam komunitas Muslim. Kasus ini, seperti yang dilaporkan, melibatkan seorang pria Lebanon berusia 26 tahun yang menikahi seorang gadis berusia 12 tahun yang dipilih dan mendapat persetujuan dari ayahnya. Polisi telah menangkap ayah dan suami dan gadis itu ditahan di tempat ‘perawatan’ Departemen Layanan Keluarga dan Masyarakat.

Dalam kaitan ini, Hizbut Tahrir Australia menekankan hal-hal berikut kepada masyarakat :

1. Kita seharusnya jangan melompat kepada kesimpulan tentang kasus ini sebelum fakta-faktanya jelas. Laporan-laporan media, yang diterima apa adanya, bukanlah sumber yang shahih dalam hal ini. Sementara fakta-fakta yang luas mungkin benar, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kunci tentang persetujuan, kemungkinan pemaksaan, kematangan gadis itu, maksud dari saudara  laki-lakinya, dan semacamnya lah, yang akan menentukan diterimanya moral atas kejadian ini atau sebaliknya, masih tidak jelas. Dalam kasus ini melompat kepada kesimpulan yang berdasarkan asumsi tidak dibenarkan.

2. Suatu perbedaan yang jelas perlu ditarik antara ‘hukum negara’ yang’ sekuler dan Hukum Islam (Syariah). Hukum yang pertama bukanlah dasar penilaian moral. Sesuatu yang ilegal menurut hukum barat tidak membuatnya menjadi bermoral. Selanjutnya, hukum sekuler tidak berdiri, dengan cara apapun, untuk menghakimi Hukum Islam. Hukum ini, dengan cara apapun , tidak memenuhi syarat atau bisa mengubahnya. Hukum ini tidak dapat mengizinkan apa yang Allah larang atau melarang apa yang diizinkan Allah. Kedaulatan adalah milik Allah, bukan hukum negara manapun.

Ini tidak berarti bahwa kita bisa bebas melanggar hukum negara, namun perbedaan antara kedua undang-undang itu harus sangat jelas dalam pikiran kita. Pada dasarnya, ini adalah masalah pengakuan iman. Kita mendapatkan moral, nilai-nilai dan hukum dari Islam. Adapun siapa saja yang melanggar hukum sekuler, dia bertanggung jawab atas tindakannya dan hukum yang akan berurusan dengan dia sesuai dengan aturannya.

3. Kesejahteraan putri-putri kami adalah hal yang sangat penting dan merupakan tanggung jawab yang serius pada ayah dan saudara-saudaranya , khususnya yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Hal ini mungkin dianggap baik oleh para ayah atau para imam karena realitas modern, para gadis tidak boleh menikah sebelum mereka mencapai usia tertentu, meskipun dibolehkan Syariah bagi mereka untuk menikah ketika mencapai pubertas. Hal ini bukan masalah. Namun, hal ini tidak bisa dipaksakan secara universal dan tidak bisa juga izin dari Syariah dilarang secara umum. Disini, kita harus membedakan antara menetapkan hukum dan mengubah hukum.

4. Reaksi media dan komentar mengenai hal ini mudah ditebak. Seperti halnya dengan semua masalah-masalah Islam atau kaum Muslim,  laporan beritanya menjadi sensasional dan ideologis-antagonis. Kritik pada kasus ini – walaupun realitas hal ini secara moral dapat diterima atau sebaliknya – adalah berdasarkan tindakan rasis yang sama, narasi Islamophobia di mana kritik terhadap jilbab, niqab, makanan halal, poligami dan begitu banyak keyakinan dan praktek-praktek Agama Islam menjadi subyek serangan dan sindiran sensasional yang ceroboh. Dalam kasus ini, adalah lembaga suci pernikahan yang sedang direndahkan oleh ketidakjujuran yang menghubungkannya dengan penyimpangan seksual dan pelecehan anak.

Kita harus memperjelas bahwa nilai-nilai liberal sekuler Barat tidak mewakili moralitas yang lebih tinggi dan Barat tidak dalam posisi untuk mengkuliahi kaum Muslim tentang moral atau nilai-nilainya. Sebaliknya, hukum di negara-negara demokrasi sekuler modern seperti Australia penuh dengan ketentuan subjektif yang terang-terangan salah. Hubungan seksual di kalangan ‘anak-anak’ (bahkan di beberapa negara ketika mereka masih berusia 10 tahun) diberikan sanksi hukum sementara perkawinan tidak. Hubungan di luar nikah antara orang dewasa diterima secara hukum, tapi poligami adalah kejahatan. Usia minimal untuk menikah ditentukan secara subyektif dan berbeda dari satu negara ke negara lain dan bahkan dari negara bagian ke negara bagian lain.

Sebagian orang mungkin akan terkejut ketika mengetahui bahwa jika kasus ini terjadi hanya beberapa ratus kilometer di selatan negara, sang terdakwa tidak akan bertanggung jawab atas setiap pelanggaran seksual, sehingga diberikan pengecualian yang relevan seperti yang dibuat dalam Undang-undang Victoria (Crime Act 1958 S 45 ( 3 )), yang kebetulan tidak ada di ada bandingannya di negara bagian New South Wales! Hal ini mengungkapkan sifat konyol hukum pada tipe-tipe masalah ini dan, pada gilirannya, dari mereka yang membuat penilaian moral atas dasar tersebut.

5. Pendekatan dengan melompat kepada kesimpulan dengan mengutuk dugaan atau menyalahi tindakan kaum Muslim adalah tidak dibenarkan, sikap defensif dan kontra-produktif. Tujuannya juga mungkin untuk mempertahankan citra Islam tetapi pendekatan ini berakhir pada narasi dimana Islam dan kaum Muslim diserang . Sebaliknya, kita harus mengadopsi pendekatan yang lebih tegas dengan mempertanyakan kritik dan narasi yang mendasari dan mengungkap hal ini apa adanya.

Sangat mengecewakan bahwa suara-suara yang sama yang terburu-buru untuk mengutuk tindakan individu muslim dan mengekspresikan kemarahan moral tidak memberikan apapun, kecuali keheningan yang memekakkan telinga, ketika umat Islam secara kelembagaan bersalah – kasus-kasus seperti kasus Yusuf dan Amira, Semoga Allah merahmati mereka, dan tindakan keras yang lebih luas kepada umat Islam yang berkaitan dengan Suriah dapat menjadi contoh terbaru.

Kantor Media Hizbut Tahrir Australia
13 Februari 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*