Dalam kurun waktu lima tahun ini, Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 telah menghabiskan anggaran hingga Rp 11,8 triliun. Namun, besarnya anggaran tersebut berbanding terbalik dengan capaian kinerja parlemen yang relatif rendah.
Berdasarkan data Indonesia Budget Center (IBC), dari total anggaran Rp 11,8 triliun itu, sekitar 70 persen atau Rp 8,3 triliun dialokasikan untuk membiayai kegiatan anggota DPR. Adapun Rp 3,5 triliun lainnya untuk anggaran Sekretariat Jenderal DPR.
Dilihat dari anggaran setiap tahun, anggaran untuk kegiatan anggota DPR sesungguhnya terus naik.
Tahun 2010, anggaran DPR sebesar Rp 1,03 triliun. Pada 2011 naik menjadi Rp 1,17 triliun. Pada 2012, anggaran anggota DPR naik lagi menjadi Rp 1,51 triliun, tahun 2013 kembali naik menjadi
Rp 2,22 triliun, dan tahun 2014 naik lagi menjadi Rp 2,37 triliun.
Reses dan studi banding
Alokasi anggaran yang terus naik ini salah satunya digunakan untuk membiayai reses anggota DPR. Pada 2014, misalnya, anggaran reses DPR ditetapkan sebesar Rp 994,9 miliar atau Rp 1,7 miliar untuk setiap anggota DPR.
Dana reses itu naik empat kali lipat dari dana reses tahun 2010 yang ditetapkan Rp 411,3 juta untuk setiap anggota DPR.
Anggaran studi banding DPR juga naik setiap tahun. Pada 2013, anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan studi banding DPR Rp 248,12 miliar, naik sekitar 77 persen dari alokasi anggaran yang sama pada 2012, sebesar Rp 108,18 miliar.
Selain studi banding ke daerah, setiap tahun DPR juga studi banding ke luar negeri.
Kurang berprestasi
Besarnya anggaran yang dialokasikan selama lima tahun masa jabatan itu menimbulkan harapan DPR mampu melaksanakan fungsi pengawasan, penganggaran, dan legislasi dengan baik.
”Namun, kenyataannya, DPR kurang berprestasi. Fungsi pengawasan, penganggaran, apalagi legislasi, tidak berjalan dengan baik,” ungkap Roy Salam, peneliti IBC, di Jakarta, Minggu (16/2).
Menurut Roy, DPR justru mengusulkan hal-hal yang dianggap kontroversial, di antaranya usulan pengalokasian dana aspirasi untuk setiap daerah pemilihan dan pembangunan gedung
baru DPR yang kemudian dibatalkan setelah dikritik masyarakat.
Sementara dalam bidang legislasi, DPR tidak pernah berhasil memenuhi target legislasi. Pada 2010, DPR hanya berhasil menyelesaikan delapan dari target 70 RUU prioritas. Begitu pula tahun 2011, DPR hanya mampu menyelesaikan pembahasan 18 RUU dari target 93 RUU prioritas dan pada 2012 hanya 10 RUU dari target 64 RUU prioritas.
Kondisi tersebut masih berulang pada 2013 saat DPR hanya menyelesaikan pembahasan 7 RUU prioritas. Padahal, jumlah RUU yang diprioritaskan sebanyak 70 RUU.
Pada 2014, DPR menargetkan menyelesaikan 66 RUU prioritas. Namun, hingga saat ini baru menyelesaikan satu, RUU tentang Perdagangan.
BAKN DPR mengakui
Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Eva Kusuma Sundari, mengakui kinerja DPR tidak begitu berkorelasi dengan besarnya anggaran yang dialokasikan.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu melihat ada inefisiensi anggaran, khususnya dalam bidang legislasi.
Dalam menyusun draf RUU, Badan Legislasi (Baleg) tidak hanya mengundang para ahli dan pihak-pihak terkait untuk dimintai masukan, tetapi juga melakukan kunjungan kerja ke daerah- daerah, bahkan studi banding ke luar negeri.
Hal itu pulalah yang dilakukan panitia khusus (pansus) atau panitia kerja (panja) di komisi-komisi saat melakukan pembahasan tingkat satu bersama pemerintah. ”Jadi, ada dobel anggaran,” katanya.
Inefisiensi waktu juga terjadi. Waktu yang dibutuhkan Baleg untuk membuat draf RUU dan naskah akademik sering kali sama lamanya dengan pembahasan tingkat satu di tingkat pansus atau panja.
Kondisi itulah yang ditengarai sebagai salah satu penyebab rendahnya produktivitas DPR, terutama dalam melakukan fungsi legislasi. (Kompas.com, 17/2/2014)