Sudah tak terhitung banyaknya imbauan, bahkan kritik, untuk menggenjot kinerja anggota Parlemen di Senayan. Tetapi, hasilnya belum tampak. Sekeras apa pun meneriakkan kritik itu, gaungnya seolah tak sampai kepada para anggota Dewan.
Tingkat kehadiran anggota DPR justru makin jeblok, dengan torehan prestasi minim. Lihat saja sidang-sidang DPR yang digelar sepanjang 2014 ini. Tudingan bahwa DPR “sakit” mendapatkan gambaran gejala yang nyata.
Ruang rapat semakin sering kosong, paripurna beberapa kali sulit mencapai kuorum. Anggota Parlemen lebih banyak turun ke daerah pemilihan masing-masing. Dalih mereka, menemui konstituen, mengamankan suara. Soal etika sudah entah ke mana.
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Siswono Yudho Husodo mencatat lebih dari 90 persen anggota DPR saat ini kembali mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif untuk Pemilu 2014. Artinya, dari 560 anggota DPR, 501 di antaranya kembali mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR lagi pada periode 2014-2019.
Siswono tak menampik bahwa tingkat kehadiran anggota DPR merosot tajam sepanjang 2014. BK DPR sebenarnya telah secara khusus membahas masalah ini bersama pimpinan DPR dan sembilan ketua fraksi di Parlemen. Namun, kata dia, tetap saja instruksi itu bak angin bertiup, berlalu, tak menapak.
Barangkali, persoalan ini tak terasa mengganjal bila sejak awal DPR bekerja sesuai harapan publik. Minimal, menyelesaikan program legislasi nasional. Faktanya, baru 20 dari 77 rancangan undang-undang (RUU) dalam program legislasi nasional yang rampung selama masa sidang 2013.
Pada dua bulan 2014, baru tiga RUU yang diselesaikan, dari 66 RUU yang ditargetkan untuk program legislasi nasional tahun ini. “Kalau ditanya, secara pribadi saya justru sangat tidak puas dengan kinerja DPR,” kata Siswono, Selasa (25/2/2014).
Buruk sistem partai politik
Menurut pengamat sosiologi politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, ada dua penyebab jebloknya tingkat kehadiran anggota DPR. Kedua penyebab itu adalah buruknya sistem yang dijalankan semua partai politik dan menipisnya komitmen dari setiap anggota DPR.
Dengan mekanisme suara terbanyak untuk seseorang terpilih menjadi anggota legislatif dalam Pemilu Legistif 2014, kata Arie, seharusnya partai dapat peka mencium kekhawatiran semua calon anggota legislatif petahana. Fakta yang terjadi sangat berbeda, partai abai dan akhirnya semua calon itu berjalan sendiri-sendiri mengupayakan perolehan suara tinggi untuk pemilu legislatif.
“Jadi ada kepentingan kolektif caleg incumbent (petahana). Maka tidak cukup dengan kritik, tidak mempan. Di sini pemilih harus hati-hati dalam memilih, perbanyak informasi mengenai caleg-caleg itu,” ujar Arie.
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menuturkan hal senada. Baginya, tak ada yang mengejutkan jika tingkat kehadiran anggota DPR semakin merosot karena mayoritas anggota DPR kembali mencalonkan diri dan sibuk menemui konstituen di dapil masing-masing.
Menurut Hamdi, jebloknya kinerja DPR juga merupakan hasil dari buruknya mekanisme partai dalam menentukan kader yang akan diajukan sebagai calon anggota legislatif. Umumnya partai tidak mengajukan kader terbaik, tetapi malah terjebak dalam kultur oligarki alias memprioritaskan kader populer atau yang kuat dari sisi finansial.
“Anggota DPR kita belum sampai mikirin etika, hanya takut pada fraksinya karena rakyat tak punya kewenangan untuk memberhentikan antarwaktu. Badan Kehormatan (DPR) juga tidak bergigi, akhirnya kita teriak mengkritik juga tak terdengar,” kecam Hamdi.
Dalam sebuah kesempatan, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku kewalahan menggenjot tingkat kehadiran anggota DPR. Dia menganggap ada salah kaprah ketika kesibukan di daerah pemilihan justru mengorbankan tugas pengawasan dan legislasi di Parlemen.
Terpisah, Ketua BK DPR Trimedya Panjaitan meminta masyarakat terus memantau kinerja anggota DPR yang maju sebagai calon anggota legislatif. Dia berharap masyarakat jeli dan tak memilih anggota DPR yang pemalas dan bermasalah. “Orang-orang malas tidak usah dipilih lagi. Rakyat sudah tahu mana anggota DPR yang bolos, yang bermasalah, dan partainya yang bermasalah,” ucap Trimedya.
DPR sejatinya adalah lembaga, bukan orang per orang. Lembaga ini memiliki beragam fungsi, termasuk pengawasan, untuk menyeimbangkan kebijakan pemerintah agar selalu berpihak pada rakyat.
Melalui 560 anggota DPR, rakyat dari ujung timur sampai barat Nusantara berharap aspirasi mereka terjembatani. Namun, apa mau dikata, bila kritik sudah tak mampu menggelitik, ketika para wakil rakyat lebih sibuk “berjualan diri” agar terpilih kembali? (kompas.com, 26/2/2014)