Popularitas dan Kapabilitas

Bulan Maret 2014 ini adalah bulan yang mendebarkan bagi sekitar 1,6 juta orang yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pusat maupun Daerah. Pada bulan ini kesibukan mereka pasti makin meningkat. Apalagi menjelang hari pencoblosan 9 April nanti. Inilah waktu tersisa yang mereka punyai sebelum Hari-H. Mereka harus memastikan wajahnya betul-betul dikenal oleh publik di Daerah Pemilihan (Dapil)-nya. Apa boleh buat, ini pemilihan wakil rakyat yang kontestasinya memang ditentukan oleh tingkat popularitas. Anda mungkin saja punya segudang kemampuan, tetapi kalau tidak populer, jangan harap bisa sukses dalam pertarungan. Sebaliknya, meski kemampuannya pas-pasan, jika populer, mungkin Anda dengan mudah melenggang ke gedung parlemen.

Idealnya memang orang yang kapabel juga populer, atau figur yang populer juga memiliki kemampuan.  Namun, ketika dua syarat itu tidak bisa dipenuhi sekaligus, yang terpenting tetaplah popularitas. Karena itu bisa dimengerti bila kemudian banyak partai memajukan para pesohor (selebritis) dari kalangan artis sebagai caleg karena mereka sudah lebih dulu populer. Tak penting bagaimana mereka jika dulunya, misalnya, adalah pesohor yang gemar mengumbar aurat. Berhubung mau jadi caleg, pakaiannya diubah jadi agak sedikit sopan, dan yang jadi caleg partai Islam, sekarang memakai kerudung.

Bila popularitas sudah dipunyai, bagaimana dengan kapabilitas? Itulah yang jadi soal.

Pernah sekali waktu seorang caleg pesohor perempuan diundang untuk sebuah acara talk-show di sebuah tivi swasta nasional. Namun, alih-alih mengundang simpati dan dukungan, acara itu justru betul-betul menjadi pertunjukan kebodohan. Dalam acara yang tampak sengaja dirancang untuk mengungkap isi kepala para caleg pesohor, apa mau dikata, ketika ditanya apa visi dan misi partainya, sang pesohor itu menjawab berputar-putar tidak jelas. Merasa menjadi pecundang, partai tempat ia menjadi caleg bergegas menyampaikan pembelaan, tetapi dengan sebuah pembelaan yang juga cukup konyol. Katanya, kecerdasan orang tidak bisa diukur dari cara ia menjawab. Lah, kalau bukan dari cara menjawab, lantas diukur dari apa?

++++

Begitulah, popularitas—atau kerennya sering disebut elektabilitas—saat ini seolah menjadi perkara yang amat menentukan karena dipercaya ampuh penambah kursi partai. Maka dari itu, aneka cara ditempuh para caleg untuk meningkatkan popularitas. Yang paling lazim adalah dengan memasang foto diri besar-besar disertai slogan-slogan penarik hati di berbagai tempat di Dapilnya. Juga dengan menyelenggarakan aneka kegiatan dan memberikan ragam sumbangan. Ada yang mengadakan kursus-kursus keterampilan. Ada yang blusukan kesana kemari, sambil menebar bibit tanaman atau ikan.

Bencana alam juga tak luput dari perhatian. Dengan berusaha tetap terlihat tulus, para caleg itu pun  bergegas membantu rakyat yang tengah terkena musibah. Tak segan mereka menembus banjir, berbasah-basahan dalam hujan, hadir di tengah para pengungsi untuk menyampaikan sumbangan atau turut serta membersihkan mushalla atau tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya. Katanya, semua itu dilakukan sebagai bentuk kepeduliannya kepada rakyat dan untuk lebih mendekatkan diri dengan konstituen. Namun intinya, ya itu tadi, untuk meningkatkan popularitas. Tak penting, apakah usaha itu relevan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nanti ketika menjadi anggota legislatif (aleg) atau tidak. Apa hubungan antara penyelenggaraan kursus-kursus keterampilan, penanaman bibit tanaman atau bibit ikan dengan tugas di bidang legislasi, budgeting dan check and balances? Peduli rakyat?

Kalau betul para anggota legislatif itu peduli rakyat, mengapa ketika dulu BBM naik, mereka diam saja, malah mendukung? Mengapa pula dari tangan mereka lahir peraturan perundangan seperti UU Migas, UU Perdagangan, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan lainnya yang merugikan rakyat dan negara ini?

Sebagian partai Islam mengklaim dirinya sebagai pembawa aspirasi umat. Namun, dimana suaranya ketika umat dizalimi oleh aparat di berbagai tempat? Dimana juga suaranya ketika umat semakin terjepit secara ekonomi akibat peraturan perundangan  seperti UU SJSN dan UU BPJS, dan kebijakan Pemerintah yang semena-mena memalak rakyat? Dimana juga dukungan mereka untuk seruan penegakan syariah dan khilafah? Bukankah itu adalah seruan yang haq? Koq tidak terdengar respon positif mereka?  Sebagian dari mereka malah seperti menghindar dari seruan ini. Mungkin mereka khawatir bakal dicap fundamentalis atau radikal sehingga dijauhi oleh pemilih abangan atau non-Muslim.

Jadi jelas sekali, semua usaha tadi hanyalah untuk mengejar popularitas. Apapun boleh dilakukan, termasuk menabrak prinsip-prinsip agama. Lihatlah, untuk mengejar popularitas, ada partai yang mengaku berbasis massa Islam dengan mantap mengucapkan Selamat Natal bahkan menyelenggarakan Perayaan Natal Bersama. Juga ketika Hari Raya Imlek, mereka ramai-ramai mengucapkan selamat dengan ungkapan khas Imlek. Padahal sudah banyak kalangan penganut Konghucu sendiri yang mengkritik ucapan itu sebagai ucapan yang sangat meterialistis khas komunitas Cina Hongkong. Fatwa MUI yang melarang menghadiri Perayaan Natal Bersama diabaikan begitu saja. Semua dibuang demi popularitas.

++++

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan popularitas, namun mestinya harus diimbangi dengan kapabilitas. Sebagai wakil rakyat, tupoksi mereka sesungguhnya ada di level kebijakan makro, bukan pada pelaksanaan mikro. Untuk masalah pertanian misalnya, tupoksi mereka terkait kebijakan soal pertanian, bukan soal bagaimana cara bercocok tanam. Yang paling penting adalah dalam konteks apa tupoksi wakil rakyat itu dilakukan. Bagi seorang Muslim, mestinya tupoksi itu dalam konteks Islam dan terkait dengan Islam.

Dalam Islam, pemilihan wakil rakyat pada dasarnya termasuk bentuk wakalah (perwakilan). Wakalah hukum asalnya mubah (boleh).  Dalam wakalah ada 3 unsur penting. Pertama: adanya dua pihak yang berakad yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl). Kedua: perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil mewakili muwakkil. Ketiga: bentuk redaksi akad perwakilannya (shighat tawkîl).

Dari 3 unsur tadi, yang bakal menentukan apakah wakalah itu Islami atau tidak adalah amal atau aktivitas yang diwakilkan oleh rakyat kepada wakil rakyat yang dipilih.  Harus diingat bahwa setiap Muslim wajib taat dan terikat dengan syariah Islam, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini adalah konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT. Tidak boleh seorang Muslim mengharamkan yang telah Allah halalkan atau menghalalkan apa yang telah Allah haramkan. Karena itu,  memilih orang dan memberi dia hak untuk menetapkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang tidak bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah tak ubahnya seperti menjadikan orang itu sebagai tuhan selain Allah SWT. Itu jelas merupakan dosa besar. Wakalah seperti itu adalah wakalah yang batil karena bertentangan dengan akidah Islam.

Jadi, apa guna popularitas dan kapabilitas jabatan wakil rakyat jika semua itu justru nantinya bakal menjerumuskan kepada dosa dan kehinaan hidup di Akhirat kelak? Sayang sekali, kebahagiaan yang kekal abadi nanti dikorbankan hanya untuk kesenangan yang sementara kini. [M. Ismail Yusanto]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*