Menurut Pengamat Ekonomi Politik dari UGM Revrisond Baswir awal masuk Amerika ke Indonesia untuk menjajah secara ekonomi dan politik pada Konferensi Meja Bundar.
“Pada konferensi itu, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia tetapi pengakuan itu disertai dengan tiga syarat ekonomi,” ungkapnya seperti dilansir Tabloid Media Umat: Demokrasi, Ekspor AS Paling Mematikan, Jum’at (21 Maret-3 April).
Pertama, Indonesia harus tetap mempertahankan keberadaan perusahaan asing di Indonesia. “Nah, sebagian perusahaan itu berasal dari Amerika, di antaranya adalah perusahaan minyak,” ujar Revrisond.
Kedua, Indonesia harus mengakui IMF. “Kita tahu persis bahwa Amerika pemegang saham terbesar di IMF,” tegasnya.
Ketiga, Indonesia harus bersedia menerima warisan utang dari Hindia Belanda. “Dan kita tahu juga waktu itu pihak Belanda berutang ke Amerika Serikat,” bebernya.
Menurutnya, kesepakatan dari konferensi yang berlangsung pada 1949 tersebut menjadi awal terjadinya transisi penguasaan Indonesia dari pihak Belanda ke pihak Amerika.
Semakin ganti rezim, semakin kuat cengkeraman Amerika di Indonesia karena terutama sekali adalah peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto. Karena di situ peralihan tidak terjadi secara normal. Tetapi didahului oleh kerusuhan politik sehingga timbul ‘kudeta’ yang sifatnya tidak hanya domestik.
“Karena bila dicermati, kita akan menemukan rekayasa yang sifatnya multinasional, yang dimotori oleh korporasi-korporasi asing untuk menyingkirkan Soekarno dan mendudukkan Soeharto,” katanya.
Lalu pemerintahan baru itu adalah pemerintahan boneka yang melakukan proses legalisasi berbagai hal. Maka terbitlah sejumlah UU, termasuk terbitnya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967. Kemudian disusul terbitnya UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perdagangan, dll.
“Melalui semua UU tersebut, terjadilah proses pendalaman cengkraman pihak asing di Indonesia. Itu berlanjut terus sampai sekarang,” simpulnya.
Menurut Revrisond, dalam peralihan Soekarno ke Soeharto juga Indonesia mendapatkan kucuran pinjaman utang besar-besaran, sehingga Indonesia terbenam dalam himpitan utang. Dalam situasi tertentu, negara menjadi sulit membayar.
“Pada awal era Soeharto tidak terasa, karena kita belum mulai membayar utang. Tetapi pada 1984, mulai terasa. Nah, tumpukan utang itu, dipakai alat oleh Amerika Serikat memaksakan perubahan UU,” ujarnya.
Contoh, pada 1998, Indonesia kesulitan bayar utang, maka pinjam utang lebih besar lagi kepada IMF. Melalui LoI, IMF memberikan syarat, oke akan dikasih pinjaman tetapi kamu harus buat UU ini, UU ini, UU ini, yang sesuai dengan selera Amerika.
Dengan demikian Indonesia sudah terbenam. “Satu, penguasanya penguasa boneka. Dua, kita terjerat ke dalam utang yang semakin dalam. Tiga, semakin banyak UU yang disusun sesuai dengan keinginan Amerika,” ungkapnya.
Di samping itu, sejak 1957 atau 1958, Amerika juga sudah masuk ke dalam pembentukan cara berfikir. “Pertama-tama, diberi beasiswa sekolah ke Amerika untuk mengenal apa itu kapitalisme. Setelah mereka pulang, mereka masuk ke dalam pemerintahan Soeharto untuk membuat UU.”
Jangan lupa, lanjut Revrisond, pada saat yang sama, mereka juga masuk ke dunia pendidikan. Lalu dari sanalah mereka mulai menyusun kurikulum, silabi, termasuk dengan memperbanyak pengiriman tenaga-tenaga pengajar untuk belajar ke Amerika Serikat.
Kembali ke Indonesia, mereka mengembangkan pendidikan tinggi dengan arah yang sangat jelas yaitu sebagai bagian praktik penguasaan Amerika Serikat di Indonesia, untuk semua disiplin.
“Dengan demikian, tidak hanya pemimpin dan UU-nya, perekonomiannya tetapi juga cara perfikirnya pun sekarang sudah bisa dikendalikan,” pungkas Revrisond.[] Joko Prasetyo