Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Tak banyak yang mengetahui hubungan dan kedekatan kedua kerajaan.
Aceh dan Turki. Dua wilayah yang terpisahkan oleh ribuan kilometer jaraknya. Namun, dua pemimpin wilayah ini pernah menjalin hubungan erat ratusan tahun lalu.
Tak main-main, hubungan tersebut bisa memberikan pengaruh yang besar pada eksistensi kerajaan kala itu. Hingga meninggalkan berbagai bekas dan manfaat positif yang mengakar hingga kini di masyarakatnya.
Proses dan hubungan antardua kerajaan ini sangat panjang dan unik. Menurut aktivis kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) Thayeb Loh Angen, peristiwa ini tertoreh dalam sejarah masyarakat Aceh dan belum semua masyarakat Indonesia mengetahuinya.
Hubungan yang terjalin ini sangat penting bagi perkembangan kerajaan Aceh dan Islam di nusantara. “Hubungan antara Aceh Darussalam dengan Turki Usmani (Ottoman Turkish) adalah sejarah panjang yang masih berpengaruh sampai sekarang,” ujarnya.
Pada sekitar abad ke-16, menurutnya, Aceh kala itu sedang dalam keadaan genting. Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai telah runtuh. Akhirnya, kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya membentuk federasi dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Aceh Darussalam.
Keadaan genting ini ditambah dengan datangnya tentara Portugis ke wilayah ini. Untuk itu, demi memperkuat posisinya di mata dunia, Kerajaan Aceh berinisiatif mencari dukungan pada kerajaan Islam yang terbesar di dunia, yaitu Turki Usmani atau yang dikenal dengan Dinasti Ottoman. “Aceh mencari sekutu yang kuat untuk menghadapi Portugis yang datang ke wilayahnya,” ujarnya.
Hal ini diperjelas dengan sebuah buku tulisan peneliti sosiologi Muslim dari Istanbul, Turki, yang bernama Dr Mehmet Ozay. Ia menulis sejarah hubungan dua kerajaan ini pada bukunya yang baru diluncurkan pada 26 Desember dengan judul Kesultanan Aceh dan Turki-Antara Fakta dan Legenda.
Dalam buku tersebut dijelaskan, sultan ketiga Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Sultan Ali Mughayat Syah al-Qahhar, melakukan tindakan monumental kala itu.
Sang sultan mengirimkan utusan, di antaranya, bernama Omar dan Hussain, untuk menemui pejabat Kesultanan Ottoman pada 7 Januari 1565 dengan membawa sejumlah besar komoditas berharga ke Konstantinopel. “Peristiwa tersebut dikenal dengan lada sicupak,” tulis intelektual Muslim ini.
Saat utusan Aceh tiba di Konstantinopel pada 1565, Sultan Turki Usmani pada saat itu, Sulaiman, sedang memimpin pasukan dalam peperangan melawan Hungaria di medan perang Szigetwar di Eropa Timur.
Menanti masa berlangsungnya peperangan tersebut serta mangkatnya Sultan Sulaiman menyebabkan utusan Aceh itu menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel.
Dengan usaha sendiri, mereka menyewa tempat dan menafkahi diri mereka sendiri dengan menjual komoditas yang mereka bawa bersama dengan hadiah yang akan dipersembahkan kepada sultan.
“Setelah Selim II, putra Sultan Sulaiman, selesai dilantik, barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan untuk melakukan kunjungan resmi ke Istana, yakni dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki,” tulis Ozay.
Untuk menafkahi diri mereka selama berada di Turki, mereka terpaksa menjual semua komoditas lada yang mereka miliki, termasuk bagian yang sebenarnya telah mereka niatkan untuk dihadiahkan kepada sultan.
Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak (segenggam) dan itulah yang dapat mereka tawarkan kepada sultan yang baru saja naik takhta. Dalam pertemuan resmi tersebut, sultan Turki Usmani memutuskan untuk mengupayakan bantuan militer ke Aceh yang di antaranya termasuk sebuah meriam yang secara simbolis dinamakan lada sicupak.
Menarik juga untuk mencari tahu apakah utusan Aceh tersebut ada yang membuat tulisan mengenai kehidupan, pengalaman, pengamatan mereka, dan lain-lain selama mereka menghabiskan waktu yang cukup lama di Konstantinopel. Mengenai hal ini, masih perlu untuk ditelusuri dan diungkap.
Peristiwa lada sicupak ini meningkatkan hubungan politik-militer antara kekuatan Timur Tengah dan mitranya di Asia Tenggara. Upaya sultan Aceh tersebut sangat berpengaruh hingga mengalihkan perhatian Konstantinopel dari Samudera Hindia wilayah barat ke Sumatra, Asia Tenggara.
Sultan Turki Ottoman tidak meminta Aceh supaya mengirim upeti tahunan yang biasanya diminta dari masing-masing negara pengikut sebagaimana lazimnya tradisi pada masa itu.
“Bantuan ini bukanlah semacam belas kasihan yang diberikan oleh pusat kekuasaan di Istanbul, tetapi suatu pertimbangan politik secara khusus sebagai hibah politik kepada Kesultanan Aceh untuk menyempurnakan kedaulatannya,” tulisnya.
Meriam Lada Sicupak
Setelah menerima kedatangan rombongan dari Aceh walau hanya menyerahkan sedikit lada saja, mereka mendapatkan kepercayaan dari Sultan Turki Usmani saat itu, yakni Selim II.
Dia setuju untuk mengirimkan bantuan berupa tentara dengan rombongan beberapa kapal ke Aceh. Dalam penyerahan secara simbolisnya, peneliti sosiologi Muslim dari Turki, Dr Mehmet Ozay, menulis bahwa Sultan Turki menyerahkan sebuah meriam sebagai simbolis pengiriman bantuan. “Meriam tersebut dikenal sebagai meriam Lada Sicupak,” tulisnya.
Rombongan yang dikirimkan oleh Sultan Turki tersebut tidak sepenuhnya bekerja untuk melakukan peperangan langsung melawan Portugis, seperti yang dibutuhkan Aceh.
Namun, mereka juga membuat lembaga pendidikan militer dan melatih rakyat serta pasukan Aceh agar bisa menguasai taktik dan strategi peperangan yang andal. Mereka juga mengajarkan rakyat Aceh untuk membuat meriam dan membuat kapal yang bisa menampung meriam di dalamnya.
Karya lama Aceh berjudul Hikayat Meukuta Alam yang disampaikan sebagai cerita lisan tentang hubungan Aceh dan Turki menegaskan, Meriam Lada Sicupak tersebut dilindungi di Aceh sampai pecah Perang Belanda pada 1874. Ada beberapa artikel yang menceritakan meriam ini yang diterbitkan pada pertengahan abad ke-20 di Istanbul.
Sayangnya, bukti simbolis hubungan antara Aceh dan Turki itu, menurutnya, nasibnya sungguh menyedihkan. Selama fase kedua invasi Belanda di Banda Aceh, meriam ini dan beberapa meriam lainnya diambil oleh tentara Belanda dan kemudian dikirim bersama dengan artefak-artefak lainnya ke negara asal mereka di Eropa.
Meriam-meriam ini sebenarnya bukan hanya aset dan warisan budaya yang tak ternilai harganya, tetapi juga merupakan bukti konkret hubungan antara Aceh dan Turki.
Sumber: republika.co.id (25/3/2014)
Catatan redaksi : Khilafah Utsmani dalam beberapa tulisan sering disebut kerajaan Ustmani atau Imperium Ustmani. Dalam pandangan Hizbut Tahrir istilah yang paling tepat adalah Khilafah Utsmani, kerena perbedaan antara sistem Khilafah dengan Kerajaan dan Imperium.