SJ:Wanita dalam Hadits “Tujuh Golongan Yang Dinaungi Allah Dalam Naungan-Nya Pada Hari Tidak Ada Naungan Kecuali Naungan-Nya”

بسم الله الرحمن الرحيم

 

Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau

 

Jawaban Pertanyaan: Wanita dalam Hadits “Tujuh Golongan Yang Dinaungi Allah Dalam Naungan-Nya Pada Hari Tidak Ada Naungan Kecuali Naungan-Nya”

Kepada Khilafa Islamia

 

Pertanyaan:

Assaslamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Dalam hadits dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, beliau bersabda:

«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الإِمَامُ العَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ، أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ»

“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: imam yang adil; pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya; laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid; dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah bertemu dan berpisah karena Allah; laki-laki yang diminta oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu ia berkata: aku takut kepada Allah; laki-laki yang bersedekah ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya; dan laki-laki yang mengingat Allah dikala sendirian lalu kedua matanya berurai air mata.” (Muttafaq ‘alayhi)

 

Kenapa tidak disebutkan wanita dalam topik-topik ini –dikhususnya penyebutan laki-laki di dalamnya-, artinya laki-laki disebutkan secara khusus dalam semua kondisi tersebut dan tidak disebutkan wanita?

Saya mohon penjelasan tuntas, dan semoga Allah memberkahi Anda dan menguatkan Anda dengan pertolongan-Nya.

 

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahatullâh wa barakâtuhu.

Sebelum menjawab Anda tentang hadits mulia tersebut, dan kenapa tidak disebutkan wanita, saya sebutkan dahulu hal-hal berikut:

  1. Ada uslub menurut orang Arab yang disebut uslub at-taghlîb. Yaitu seruan menggunakan redaksi mudzakar (laki-laki) dan di dalamnya juga masuk redaksi muanats (perempuan) dengan at-taghlîb. Seperti firman Allah SWT:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا﴾

“Hai orang-orang yang beriman”

Jadi di dalamnya juga masuk muanats (perempuan).

Misal lain, apa yang telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.: Nabi saw bersabda:

«أَيُّمَا رَجُلٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا، اسْتَنْقَذَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ»

“Laki-laki siapapun yang membebaskan seorang muslim, Allah akan menyelamatkan dengan setiap organ laki-laki yang dimerdekakan itu, organ orang yang memerdekakan itu dari api neraka.”

 

Ini juga berlaku atas wanita dengan uslub at-taghlîb. Artinya “wanita siapapun yang memerdekakan seorang muslim …”

Contoh lain, hadits an-Nasai tentang zakat onta … dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ إِبِلٌ لَا يُعْطِي حَقَّهَا فِي نَجْدَتِهَا وَرِسْلِهَا»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا نَجْدَتُهَا وَرِسْلُهَا؟ قَالَ: «فِي عُسْرِهَا وَيُسْرِهَا، فَإِنَّهَا تَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَغَذِّ مَا كَانَتْ وَأَسْمَنِهِ وَآشَرِهِ، يُبْطَحُ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ فَتَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا، إِذَا جَاءَتْ أُخْرَاهَا أُعِيدَتْ عَلَيْهِ أُولَاهَا فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فَيَرَى سَبِيلَهُ…»

“Laki-laki siapapun memiliki onta yang tidak diberikan haknya pada najdah dan rislu-nya.” Mereka bertanya: “ya Rasulullah, apakah najdah dan rislu-nya itu?” Beliau menjawab: “pada kemudahan dan kesukarannya. Maka dia datang pada Hari Kiamat kelak seperti berjalan cepat dulunya, gemuk dan kurusnya, ia ditelungkupkan untuk onta itu di dataran tanah rendah lalu onta itu menginjaknya dengan kuku-kuku kakinya, jika datang yang terakhir maka dikembalikan lagi terhadapnya onta yang pertama, pada hari yang kadarnya lima puluh ribu tahun sampai selesai diputuskan diantara manusia sehingga diketahui jalannya…

 

Hadits ini juga berlaku pada wanita dengan uslub at-taghlîb jika wanita itu tidak menyucikan onta yang dia miliki.

  • Seperti Anda lihat, lafazh mudzakar atau ar-rajul (laki-laki) dengan uslub at-taghlîb berlaku atas lafazh muanats atau al-mar`ah (perempuan) pada kondisi secara umum.

 

  1. Akan tetapi uslub at-taghlîb ini tidak diberlakukan jika dibatalkan oleh nash:

Misalnya, firman Allah SWT:

﴿كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ﴾

“Telah diwajibkan atas kalian berperang dan itu kalian benci” (TQS al-Baqarah [2]: 126)

 

Seruan disini dengan redaksi mudzakar (laki-laki). Akan tetapi at-taghlîb tidak diberlakukan di sini sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ini juga mencakup wanita dengan uslub at-taghlîb dengan lafazh “kutiba ‘alaikunna al-qitâl –telah diwajibkan atas kalian para wanita berperang-“. Sebab ini dibatalkan oleh nash lain yang menjadikan jihad sebagai kewajiban atas laki-laki. Ibn Majah telah mengeluarkan dari Habib bin Abi Amarah dari Aisyah binti Thalhah dari Aisyah ummul mukminin ra., ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ، لَا قِتَالَ فِيهِ: الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ»

“Aku katakan, “ya Rasulullah apakah wajib atas wanita berjihad?” Nabi saw menjawab: “benar, mereka wajib jihad, tidak ada perang di dalamnya: al-hajj dan umrah.”

Artinya, bahwa jihad dengan makna perangnya tidak fardhu atas wanita.

Misal lain, firman Allah SWT:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (TQS al-Jumu’ah [62]: 9)

 

Yakni bahwa diharamkan bagi laki-laki terus dalam jual beli pada waktu adzan Jum’ah. Di sini tidak berlaku uslub at-taghlîb. Artinya tidak diharamkan bagi wanita berjual beli pada waktu adzan Jum’at. Sebab shalat Jum’ah tidak fardhu bagi wanita dikarenakan sabda Rasulullah saw yang dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn dari Abu Musa dari Nabi saw, beliau bersabda:

«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»

“Shalat Jum’ah adalah hak wajib bagi setiap muslim dalam jamaah kecuali empat golongan: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit

Al-Hakim berkata: “ini adalah hadits shahih menurut syarat asy-syaykhayn,” dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

 

  1. Berdasarkan hal itu, kita pahami hadits tersebut (yang ditanyakan) sebagai berikut:

Nash hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahîh-nya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:

«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الإِمَامُ العَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ، أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ»

“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: imam yang adil; pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya; laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid; dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah bertemu dan berpisah karena Allah; laki-laki yang diminta oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu ia berkata: aku takut kepada Allah; laki-laki yang bersedekah ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya; dan laki-laki yang mengingat Allah dikala sendirian lalu kedua matanya berurai air mata.”

 

Hadits ini berlaku dengan uslub at-taghlîb atas wanita terkait lima golongan dari tujuh golongan yang tidak dibatalkan oleh nash lain. Jadi hadits ini berlaku atas seorang pemudi yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya …, berlaku atas dua orang wanita yang saling mencintai karena Allah … dan wanita yang diminta laki-laki … dan wanita yang bersedekah … dan wanita yang mengingat Allah dikala sendiri lalu berurai air mata kedua matanya

Akan tetapi uslub ini tidak berlaku atas imam yang adil dan laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid, sebab keduanya dibatalkan oleh nash:

Adapun imam yang adil, maka uslub at-taghlîb tidak berlaku sebab wanita tidak memegang pemerintahan seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw dalam hadits al-Bukhari dari Abu Bakrah, ia berkata: “ketika sampai kepada Rasulullah saw berita bahwa penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau bersabda:

«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»

“Tidak akan pernah beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada wanita

 

Maka wilâyah al-amri yakni al-hukmu (pemerintahan) tidak boleh dilakukan oleh wanita, Sedangkan selain pemerintahan seperti al-qadha’ (peradilan), pemilihan khalifah, wanita memilih dan dipilih dalam majelis ummah, dan yang tugas-tugas masyru’ lainnya yang bukan termasuk pemerintahan maka boleh untuk wanita… Ini berarti bahwa kalimat al-imâm al-âdil (imam yang adil) tidak mencakup wanita. Meski demikian ada beberapa mufassir yang menakwilkan al-imâm al-âdil dengan makna ar-râ’iy al-âdil (penggembala –pemelihara- yang adil) sehingga berlaku atas wanita sesuai nash hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Abdullan bin Umar ra., ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا…»

“Setiap kalian adalah pemelihara dan setiap kalian bertanggungjawab atas pemeliharaannya, seorang imam adalah pemelihara urusan rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya, dan seorang laki-laki adalah pemelihara pada keluarganya dan dia bertanggungjawab atas pemeliharan (urusan)nya, dan seorang wanita adalah pemelihara di rumah suaminya dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaan (urusan)nya…

Akan tetapi yang lebih rajih bahwa at-taghlîb di sini tidak berlaku di mana kalimat al-imâm al-âdil yang lebih rajih pada al-hâkim (penguasa), dan itu tidak berlaku bagi wanita.

Adapun “dan laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid” maka dibatalkan oleh nash yang memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih afdhal dari shalatnya di masjid. Hal itu karena hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dari Abdullah bin Suwaid al-Anshari, dari bibinya Ummu Humaid isteri Abu Humaid as-Sa’idi bahwa ia datang kepada Nabi saw dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي»

“ya Rasulullah, aku suka shalat bersama Anda.” Nabi menjawab: aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, tetapi shalatmu di rumahmu lebih baik untukmu dari shalatmu di kamarmu, dan shalatmu di kamarmu lebih baik untukmu dari shalatmu di dar-mu dan shalatmu di dâr-mu lebih baik untukmu dari shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik untukmu dari shalatmu di masjidku.”

Begitulah, lima dari tujuh golongan dalam hadits tersebut berlaku atas wanita dengan uslub at-taghlîb. Sedangkan imam yang adil dan orang yang terpaut hatinya pada masjid, tidak berlaku sebab keduanya dibatalkan dengan nas dan berikutnya disini tidak diberlakukan uslub at-taghlîb.

Untuk menyempurnakan faedah, saya sebutkan apa yang ada di Fath al-Bârî oleh Ibn Hajar penjelasan hadits al-Bukhari yang disebutkan di atas, khususnya penutup tafsir hadits tersebut. Ini teksnya:

(… penyebutan ar-rijâl (laki-laki) dalam hadits ini tidak memiliki mafhum, akan tetapi para wanita berserikat dengan para laki-laki dalam apa yang disebutkan kecuali jika yang dimaksudkan imam yang adil adalah al-imâmatu al-‘uzhmâ, dan jika tidak maka wanita mungkin masuk di dalamya di mana wanita itu punya keluarga lalu ia berlaku adil pada mereka. Dan keluar juga mulazamah masjid sebab shalat wanita di rumahnya lebih afdhal dari shalat wanita di masjid. Dan selain hal itu maka ikutsertanya wanita terjadi …” selesai.

Atas dasar itu maka hadits tujuh golongan itu juga berlaku atas wanita kecuali terkait imam yang adil dan orang yang terpaut hatinya pada masjid, ini tidak berlaku atas wanita sebab uslub at-taghlîb pada kedua kondisi ini dibatalkan oleh nash.

 

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

8 Jumadul Awal 1435 H

9 Maret 2014 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_34135

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*