Oleh : Adi Victoria (Humas HTI Samarinda)
“Suara anda menentukan masa depan bangsa…!” Demikianlah seruan yang biasa kita lihat pada beberapa tulisan di pinggir jalan ataupun di media elektronik yang pada intinya mengajak partisipasi masyarakat untuk memberikan hak suaranya pada pemilu 09 April 2014. Sebuah pesta rakyat yang bernama pesta demokrasi. Demokrasi sendiri sebagaimana yang sudah diketahui bersama adalah sebuah ide yang berpijak pada prinsip dasar kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya rakyat memiliki kekuasaan dan kedaulatan untuk menentukan setiap aturan yang akan mengatur kehidupan mereka. Ini sesuai dengan slogan demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun karena tidak mungkin semua rakyat membuat undang-undang tersebut, maka rakyat akan memilih para wakilnya yang akan duduk di pemerintahan. Merekalah (para wakil rakyat, red) yang kemudian akan membuat berbagai kebijakan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat pada sebuah Negara demokrasi, termasuk di Indonesia.
Dengan undang-undang yang dibuat para wakil rakyat tersebut, mereka yang mewakilkan aspirasinya kepada mereka (anggota dewan, red) tentu berharap bahwa para wakil rakyat tersebut akan menampung aspirasi mereka. Namun dengan pengamatan sejenak, tentu bisa dilihat bahwa kebijakan yang dibuat oleh para anggota dewan yang ,mengaku wakil rakyat tersebut sebenarnya tidak mewakili rakyat. Kita bisa melihat bagaimana beberapa kebijakan pemerintah yang menyebabkan kedzaliman kepada masyarakat. Sebutlah kenaikan harga BMM, TDL, penjualan aset Negara kepada asing, dll. Saat rakyat berteriak menentang kebijakan tersebut, nyatanya para wakil rakyat hanya diam membisu. Jadi sebenarnya mereka mewakili siapa?
Sudah pula diketahui bahwa kampanye pemilu yang bernama pesta demokrasi memerlukan dana yang sangat besar. Tentu para caleg ataupun partai tidak akan mampu untuk merogoh kocek dari kantong mereka sendiri. Di sinilah peranan para pengusaha yang akan mensupport dana untuk pesta demokrasi tersebut. Dan kelak saat para wakil rakyat ini menang dan duduk di kursi kekuasaan, maka para pengusaha akan meminta imbalan dari bantuan mereka saat sebelum pemilu. Hal tersebut bisa dalam bentuk proyek ataupun kebijakan yang akan menguntungkan para pengusaha. Tidak heran jika kemudian ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya yang berkuasa di pemerintahan itu adalah para pengusaha kapitalis. Akibatnya, rakyat yang tadinya berharap perubahan yang lebih baik dengan pergantian pemimpin, tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan.
Perubahan Sistem, Bukan Hanya Pemimpin
Dalam system Demokrasi, pemilu bukan di-setting untuk mengganti sistem, melainkan untuk melanjutkan kepemimpinan atau pergantian kepemimpinan. dimana rakyat memilih para wakilnya untuk masuk kepada kekuasaan.
Padahal, yang diperlukan untuk menuju sebuah perubahan tidak hanya duduknya orang-orang yang amanah di kekuasaan tersebut, melainkan juga disertai dengan adanya perubahan sistem. Karena sistem itulah yang akan menentukan seseorang dalam membuat sebuah kebijakan.
Jadi, perubahan yang diharapkan bukan hanya adanya perubahan kepemimpinan, namun juga adanya perubahan sistem politik pemerintahan. Dengan adanya dua perubahan itulah maka perubahan hakiki akan di dapatkan. Pertanyaan kemudian, berubah menjadi sistem yang baik itu sistem yang bagaimana?
Khilafah, Sistem Pemerintahan Terbaik.
Sistem yang baik tentu berasal dari dzat yang maha baik. Dan dzat yang maha baik itu adalah tentu hanya tentu Allah SWT, bukan yang lain, itulah sistem Islam. Dan di dalam Islam, sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem Khilafah. System yang diwariskan oleh baginda nabi Muhammad saw kepada para khulafaur rasyidin, yang dilanjutkan terus oleh para khalifah sebagai pemimpin kaum muslimin di seluruh dunia.
Rasulullah SAW bersabda :
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»
“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus/pelihara.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت
“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17).
Itulah sistem Khilafah, sistem pemerintahan yang telah terbukti selama 13 abad lamanya bertahan dan memberikan kesejahteraan tidak hanya untuk kaum muslim saja, melainkan untuk umat selain Islam juga.
Perubahan Hakiki Hanya dengan Khilafah
Pemilu—dalam demokrasi—bukanlah jalan perubahan hakiki untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sebabnya, dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Jalan perubahan hakiki demi kemaslahatan umat hanya ada pada Islam. Ketika Islam menurunkan aturan yang sempurna, yakni syariah Islam, Islam pun memberikan cara agar aturan tersebut dapat terlaksana secara sempurna (kaffah). Di situlah pentingnya Khilafah, yakni sistem pemerintahan Islam. Persoalannya adalah bagaimana thariqah atau jalan yang sahih untuk mewujudkan Khilafah itu jika tidak menggunakan jalan demokrasi?
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa sebaik-baik uswah (panutan) adalah Rasulullah Muhammad SAW. (QS al-Ahzab [33]: 21). Karena itu kita pun wajib terikat dengan thariqah (metode) dakwah beliau dalam mewujudkan kekuasaan Islam.
Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, akan tampak jelas bahwa beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang sangat jelas. Dari sirah Rasulullah saw. inilah diambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada seluruh tahapan tersebut. Pertama: tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin). Kedua: tahap interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah), yang di dalamnya ada aktivitas pergolakan politik (al-kifah as-siyasi) dan perang pemikiran (shira’ al-fikri). Ketiga: tahapan istilam al-hukmi (penerimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dengan itulah terwujud sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam.[]