Selain dijadikan alat penjajahan oleh Amerika dan negara asing lainnya, demokrasi ternyata bertentangan dengan syariah. Bukan hanya produknya yang berupa UU yang pro korporasi asing sehingga merugikan rakyat, tetapi mekanisme demokrasi memang bertentangan dengan Islam.
Tak aneh, negeri yang mayoritas Muslim dan kaya sumber daya alam ini terpuruk di berbagai lini kehidupan. Di seputar itulah wartawan Media Umat Joko Prasetyo berbincang dengan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rokhmat S Labib. Berikut petikannya.
Apa yang membuat negara Indonesia terpuruk di berbagai lini?
Memang ada dua faktor yang membuat Indonesia rusak di berbagai lini. Pertama sistemnya. Kedua, faktor orang pelaksana sistem itu. Untuk melihat suatu negeri bobrok atau tidak, yang pertama dilihat ya sistemnya dulu. Kemudian orangnya, apakah meyimpang tidak dari sistem tersebut.
Kalau kita lihat kasus Indonesia, ya dua-duanya bermasalah. Sistemnya bermasalah, pelaku sistemnya bermasalah juga. Dengan kata lain, sistemnya bobrok di tangan orang yang bobrok jadi kebobrokannya semakin berlipat-lipat.
Memang di mana letak kebobrokan demokrasi?
Demokrasi dikatakan bobrok karena kedaulatan diserahkan kepada rakyat. Rakyatlah yang membuat hukum tetapi ya mustahil rakyat membuat langsung undang-undang karena rakyat kan terlalu banyak. Maka dibuatlah lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif, lembaga yang fungsi utamanya membuat UU.
Padahal pada hakikatnya manusia tidak mampu menentukan sendiri yang benar atau salah dan yang baik atau buruk. Sehingga ketika mereka mengira itu baik dan benar maka diterapkanlah dan ternyata hasilnya salah dan buruk buat rakyat.
Ini berbeda dengan Allah. Hanya Allah saja lah yang tahu mana yang benar dan salah buat manusia serta mana yang baik dan buruk buat manusia, maka manusia wajib taat pada hukum Allah.
Apa karena itu, Hizbut Tahrir menyatakan demokrasi sistem kufur?
Sebenarnya kriteria Islam dan kufur itu sangat sederhana. Hukum itu hanya dua macam. Kalau hukumnya berdasarkan wahyu Allah yang digali dari Alquran, hadits, ijma shabat dan qiyas, itu lah hukum Islam atau hukum Allah. Tetapi kalau bukan berasal dari sumber tadi maka itulah hukum kufur atau hukum jahiliyah.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al Maidah ayat 50).
Ayat ini menghadapkan hukum Allah dengan hukum jahiliyah. Di sini jelas, demokrasi termasuk sistem jahiliyah yang memproduksi hukum jahiliyah karena yang menjadi sumber hukumnya adalah rakyat. Maka itu disebut sebagai hukum kufur.
Kalau orang pelaksana demokrasi bobroknya bagaimana?
Hukum yang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat tetapi untuk memperkaya diri dan kepentingan para pemodal. Karena memang biaya kampanye untuk terpilih sangat mahal sehingga yang bisa mencalonkan diri hanyalah pemodal atau yang didukung pemodal.
Parahnya, para pemodalnya adalah korporasi asing. Maka jangan heran bila UU yang lahir sangat pro asing dan merugikan rakyat. Hal ini diakui sendiri oleh anggota DPR Eva Sundari. Ia menyebut ada 76 UU yang diintervensi asing.
Lebih parah lagi, Indonesia ini punya perjanjian LoI dengan IMF agar mendapat utang, yang kompensasinya Indonesia harus membuat UU yang mendukung korporasi asing. Jadi walhasil demokrasi ini bukan untuk rakyat tetapi membentangkan jalan untuk penjajahan.
Kan ceritanya bakal lain, kalau HTI ikut pemilu dan menang mutlak, pastilah UU yang dibuatnya akan berdasarkan hukum Allah…
Masalahnya bukan hanya produk hukum yang dihasilkan, tetapi mekanisme pembuatan hukumnya pun wajib berdasarkan syariah Islam. Sedangkan mekanisme pembuatan hukum dalam demokrasi itu bertentangan dengan syariah Islam, karena yang dipentingkan adalah suara terbanyak tidak peduli pakai dalil atau tidak.
Sekalipun produk hukum yang dikeluarkannya bersesuaian dengan hukum Islam?
Tetap saja dinyatakan sebagai hukum kufur karena UU yang dibuat bukan berdasarkan kewajiban dari Allah tetapi inilah kehendak rakyat atau suara terbanyak.
Maka yang wajib ditentang kaum Muslimin bukan sekadar hukum yang dikeluarkan demokrasi tetapi yang juga wajib ditentang adalah mekanisme dari demokrasi tadi. Yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat atau wakil rakyat, pemodal atau wakil pemodal.
Dalam sistem Islam, hukum Allah ditegakkan tidak perlu menunggu persetujuan DPR. Ketika Allah SWT mengharamkan riba. Maka itulah yang diterapkan tanpa dimusyawarahkan untuk memungut suara terbanyak.
Apakah tidak ada sisi positif dari demokrasi? Kan HTI jadi bisa berdemonstrasi.
Sebaik-baiknya demokrasi hanyalah membolehkan Islam dibicarakan tetapi tidak boleh diterapkan. Padahal Islam itu diperintahkan Allah SWT untuk diterapkan pula dalam kehidupan bernegara.
Dan Islam itu memang tidak kompatibel dengan demokrasi. Kalau menerapkan hukum Islam itu sudah tidak demokratis.
Maka tidak aneh, di banyak negara demokrasi, jika Parpol Islam itu menang, parpol Islam itu dibubarkan. Sebagaimana FIS di Aljazair, Hamas di Palestina dan baru-baru ini Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Jadi ketika parpol itu dianggap membahayakan demokrasi karena hendak menerapkan Islam maka akan dibubarkan. Kalau begitu di mana baiknya demokrasi?
Lantas kalau tidak pakai demokrasi, dalam kehidupan bernegara pakai sistem apa?
Ini pertanyaan yang aneh, seolah-olah demokrasi itu sebagai satu-satunya sistem. Padahal ada banyak sistem dan di antara semua sistem tersebut satu-satunya yang benar adalah sistem pemerintahan Islam. Itulah khilafah. Karena itu berdasarkan wahyu Allah SWT.
Apakah khilafah ini sama dengan diktator?
Ya jelas berbeda secara diametral. Diktator itu kan sistem totaliter, kedaulatan dan kekuasaan di tangan satu orang. Dalam sistem Islam dibedakan antara kedaulatan dengan kekuasaan. Kedaulatan itu adalah otoritas membuat hukum atau UU dalam hal ini adalah Allah. Sedangkan kekuasaan ada di tangan rakyat sehingga rakyat berhak memilih calon khalifah mana yang diinginkannya.
Jadi rakyatlah yang mengangkat dan membaiat khalifah. Lalu siapa pun yang menjadi khalifahnya, tidak boleh menghalalkan yang diharamkan Allah dan yang mengharamkan yang dihalalkan Allah.
Karena khalifah diangkat oleh rakyat hanya untuk menerapkan syariah Islam saja. Bila melanggar, wajib diluruskan, bila tidak mau diluruskan wajib diturunkan dan diganti khalifah yang baru, yang beriman dan taat pada syariah.
Lantas di mana letak diktatornya? Ini menunjukkan piciknya pemikiran orang yang menganggap sistem pemerintahan itu ada dua, kalau tidak demokrasi ya monarki atau teokrasi –seperti pengalaman di Barat—yang identik dengan diktator. Padahal ada yang ketiga yakni sistem Islam.
Keunggulan khilafah dari demokrasi?
Pertama, demokrasi itu ya buatan manusia, kalau khilafah itu dari Allah SWT pencipta alam semesta dan manusia. Itu secara akidah.
Kedua, karena kedaulatan di tangan Allah, manusia itu ya lebih enak, tidak usah repot-repot membuat hukum, tidak usah menilai baik atau buruk kalau hukum Islam diterapkan. Karena sudah dijamin baik dan cocok untuk manusia. Karena hukumnya dibuat Allah SWT yang pasti benar.
Jadi ini meringankan tugas manusia. Kalau dalam demokrasi coba kita lihat, setiap UU, dianggap baik kemudian diterapkan. Lalu kemudian hari terbukti merusak, lalu diganti. Merusak lagi, diganti lagi, begitu seterusnya. Maka bisa disimpulkan dengan demokrasi rakyat dijadikan kelinci percobaan.[]