Karena diperlakukan sebagai komoditas politik di pemilihan maka penduduk miskin tidak mempunyai posisi tawar dalam memperjuangkan nasib mereka, kata pengamat.
Hal tersebut terbukti dari kunjungan para calon anggota legislatif selama masa kampanye ke kampung-kampung kumuh di Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam kunjungan tersebut, para caleg memberikan sumbangan.
“Mereka sadar mereka tidak bisa hanya menjual iklan pengentasan kemiskinan,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya dalam wawancara dengan BBC Indonesia (02/04).
“Mereka tidak bisa menarik simpati orang-orang miskin ini hanya dengan bicara program. Akhirnya dilakukan pemetaan bagaimana orang-orang miskin ini diberi entah sembako, entah money politics, entah barang-barang yang dianggap itu kemudian bisa mengubah preferensi politik mereka.”
Yunarto Wijaya menyebut hal itu sebagai politik transaksional dan menyebabkan golongan miskin apatis.
Uang muka
“Mereka melihat kecenderungan pemilu-pemilu tidak banyak mengubah nasib mereka. Mereka cenderung perilaku korup yang sama saja siapapun yang terpilih,” jelasnya.
Yang bisa membedakan antara caleg satu dengan lainnya, lanjutnya, adalah besaran uang muka.
“Ketika ada yang berani memberikan sesuatu di depan sehingga mereka tidak peduli terhadap program selama lima tahun caleg.”
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Surakarta, Jawa Tengah, peneliti sosial dari Lembaga Pemberdayaan Sosial dan Demokrasi, Musni Umar, menyimpulkan adanya politik beli putus.
“Pada saat pemilu politikus membayar dengan uang, memberi sembako tetapi setelah pemilu dia bilang kami sudah bayar,” katanya.
Kedua peneliti mengatakan politik transaksional atau beli putus membuat suara orang miskin tidak dipertimbangkan.
Sebagai contoh, seorang pemilih di Nusa Tenggara Timur, Mateos Taebenu, menuturkan banyak politikus mendatangi desanya dan menawarkan sejumlah perbaikan.
Tetapi, lanjutnya, mereka tidak kembali ke desa setelah pemilihan untuk mewujudkan janji-janji mereka. (bbc, 3/4/2014)