HTI Press. Menanggapi pernyataan peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Teguh Dartanto di Gedung DPD RI senayan, Rabu (2/4) yang menyatakan bahwa calon legislatif jika bermodalkan gagasan tanpa finasial memadai bakalan sia-sia belaka, menurut anggota Lajnah Siyasiyah DPP HTI, Gus Uwik itulah watak buruk demokrasi.
“Kita paham bahwa agar Caleg bisa melenggang ke Senayan maka dia harus meraih suara terbanyak. Agar dapat suara terbanyak maka dia harus ‘terkenal’. Supaya terkenal maka dia harus ‘memperkenalkan diri’ dengan serbuan iklan, baik di media cetak maupun elektronik ataupun dalam bentuk yang lain. Ujungnya dia harus berkocek tebal. Jika tidak ‘kaya’ maka jangan berharap berhasil melenggang ke senayan,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurut tokoh muda HTI ini jelas saja jika seorang caleg yang bermodal gagasan saja tanpa di topang modal kuat akan keok. Ini bisa dipahami karena logika pesta demokrasi saat ini adalah logika suara dan kekuatan modal. Yang berkantong tebal sajalah yang akan menang.
“Maka saya tidak heran dengan apa yang dikatakan Pak Teguh. Sulit bagi seorang caleg untuk lolos jika modalnya hanya 800jt hingga 1 milyar saja. Bagi caleg pasti akan jor-joran ‘menyiram’ konstituen didapilnya. Dan dana yang dibutuhkan pasti lebih dari 5 Milyar per orang,’ tegasnya.
Lebih lanjut, jika kondisi tersebut terjadi maka menaruh harapan besar adanya perubahan setelah pileg adalah sebuah mimpi. Sebab para caleg yang terpilih bisa diprediksi adalah orang-orang yang minim ide dan lebih mementingkan pengembalian modal. Mereka akhirnya akan mengabdi pada kepentingan pemilik modal daripada untuk kepentingan rakyat.
“Darimana akan terjadi perubahan? Uang menjadi panglima. Sedangkan konsep atau ide akhirnya menjadi lips service pemanis kampanye semata. Demokrasi membonsai gagasan tapi menyuburkan politik uang. Inilah buruknya demokrasi. Jikalau ada gagasan/konsep maka itu semua adalah janji palsu. Buktinya, setelah pemilu, antara yang dilakukan dengan yang diucapkan saat kampanye seperti air dengan minyak. Tidak pernah sama. Dan itu terjadi berulang setiap pemilu,” tandasnya.
Oleh karena itu, menurut tokoh muda bogor ini, jika ingin terjadi perubahan pada negeri ini maka jangan pernah berharap pada pemilu dalam bingkai demokrasi ini. Sebab pemilu dalam demokrasi ‘menghalalkan’ politik uang dan ‘membonsai’ ide-ide perubahan.
“Masihkah berharap demokrasi jika seperti itu realitasnya?” tanyanya.
Dia pun menyerukan perjuangan penegakan syariat Islam secara total dalam bingkai Khilafah jika ingin terjadi perubahan secara totalitas menuju Indonesia yang lebih baik. []