Oleh: Hafidz Abdurrahman
Pendahuluan
Sebelum membahas lebih jauh tentang diyat Satinah, yang dibayar oleh pemerintahan Indonesia, karena Satinah divonis oleh Mahkamah Kerajaan Arab Saudi membunuh majikannya, dengan nilai 22 Milyar Rupiah, maka penting dipahami fakta diyat itu sendiri dalam fikih Islam.
Diyat, dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, artinya uang tebusan yang wajib dibayar karena menghilangkan nyawa, atau salah satu anggota badan secara utuh.[1] Sedangkan tebusan untuk sebagian anggot badan yang dihilangkan disebut Arsy.[2] Diyat ini ada dua macam, yaitu Diyat Mughalladhah (Diyat Berat), dan Diyat Mukhaffafah (Diyat Ringan).[3]
Diyat Mughalladhah, yaitu tebusan yang dibayar dengan sejumlah 100 unta, 40 dari unta tersebut bunting. Diyat ini diberlakukan untuk pembunuhan yang disengaja (qatl ‘amd). Sedangkan Diyat Mukhaffafah adalah tebusan yang dibayar lebih ringan, yaitu 100 unta. Diyat ini diberlakukan untuk kasus pembunuhan yang salah (qatl khatha’), atau yang disamakan statusnya dengan qatl khatha’.[4]
Membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd) ini ada dua kategori: Pertama, membunuh yang dilakukan dengan alat atau senjata yang lazim digunakan untuk membunuh, seperti pisau, pedang, senjata api dan sebagainya. Kedua, membunuh dengan alat yang tidak lazim digunakan untuk membunuh, tetapi dilapisi, diisi atau disepuh dengan sesuatu yang bisa digunakan untuk membunuh, seperti tongkat yang dilapisi, diisi atau disepuh dengan besi yang berat, atau tongkat yang dipukulkan berulang-ulang hingga korban meninggal dunia. Ini semua merupakan bentuk kesengajaan, sehingga dihukumi membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd).[5]
Sedangkan membunuh dengan tidak sengaja (qatl syibh ‘amd), membunuh yang dilakukan dengan alat yang tidak lazim digunakan untuk membunuh, seperti dengan tongkat, cambuk, batu kecil, dan lain-lain yang lazimnya memang bukan untuk membunuh. Tujuannya juga untuk memberi pelajaran, bukan untuk membantai. Tetapi, korban meninggal, karena pukulan tersebut.[6]
Sedangkan membunuh dengan salah (qatl khatha’), bisa dipilah menjadi dua: Pertama, pembunuhan yang terjadi bukan karena kesengajaan, seperti menembak burung, lalu pelurunya nyasar terkena orang, lalu orang tersebut meninggal dunia. Kedua, membunuh orang di Negeri Kafir, seperti di Eropa atau Amerika, yang diduga kuat orang tersebut adalah Kafir Harbi, ternyata orang tersebut sudah masuk Islam, maka pembunuhan seperti ini dihukumi qatl khatha’.[7]
Bagaimana Hukuman Dieksekusi?
Bagi orang yang membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd), baik kategori pertama maupun kedua, semuanya wajib dibunuh, atau disebut Qawad, sebagai balasan atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan catatan, jika wali korban pembunuhan tersebut tidak memberikan pengampunan. Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ [البقرة: 179]
“Bagi kalian di dalam hukuman qishash itu terdapat kehidupan.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 179)
Nabi bersabda:
من قتل متعمدا دفع إلى أولياء المقتول، فإن شاؤوا قتلوا، وإن شاؤوا أخذوا الدية، وهي ثلاثون حقة، وثلاثون جذعة، وأربعون خلفة، وما صولحوا عليه فهو لهم.
“Siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka diserahkan kepada wali korban. Jika mereka mau, maka mereka bisa membunuhnya. Jika mereka mau, maka mereka bisa mengambil diyat, yaitu 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 khalifah. Apa mereka sepakati (untuk damai) maka itu merupakan hak mereka.” (H.r. at-Tirmidzi dari ‘Amru bin Syu’aib) [8]
Namun, jika wali memberikan pengampunan, maka pembunuhnya bisa dibebaskan. Karena itu, eksekusi hukumannya tidak boleh disegerakan, tetapi bisa ditangguhkan, dengan harapan ada pengampunan yang diberikan oleh wali korban.
Adapun pihak yang berhak memilih hukuman, antara membunuh, diyat atau pengampunan, mereka adalah ahli waris korban. Orang yang berhak atas darah korban adalah seluruh ahli warisnya, tak terkecuali pria, wanita, baik karena nasab atau sebab. Qishash (membunuh) adalah hak mereka semua. Karena itu, pengampunan merupakan hak ahli warisnya. Siapapun dari salah seorang ahli warisnya yang memberikan pengampunan, maka qishash tersebut bisa dibatalkan.[9]
Jika ahli waris memilih diyat, maka diyat itu merupakan hak mereka. Adapun diyat bagi orang yang membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd) adalah 100 unta, dengan 40 di antaranya bunting. Rinciannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits at-Tirmidzi di atas, yaitu 30 Hiqqah (umur 3 tahun), 30 Jadz’ah (4 tahun), dan 40 sisanya Khalifah (bunting).
Jika ahli waris memilih diyat, maka yang wajib membayar diyat adalah pembunuhnya. Karena kasus pembunuhan ini dilakukan dengan sengaja (qatl ‘amd). Ini berbeda dengan kasus pembunuhan yang tidak disengaja (syibh ‘amd), atau salah (qatl khatha’). Bagi orang yang tidak sengaja membunuh, atau salah, maka diyat-nya dibayar oleh ‘aqilah, yaitu saudara paman dan anak-anak paman pembunuh tersebut, termasuk cucu-cicitnya. Mereka ini dalam ilmu waris juga disebut ‘ashabah.[10]
Diyat Unta atau Emas?
Hukum asal diyat ini adalah unta. Menurut al-‘Allamah Syaikh al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, diyat ini tidak bisa digantikan dengan yang lain. Nilainya tidak bisa dikonversi, misalnya dibayar dengan kambing, sapi maupun yang lain. Unta harus dibayar dengan unta, tidak boleh dikonversi dengan uang. Karena tidak ada satu nash pun yang menyatakan kebolehan konversi tersebut. Karena ini statusnya merupakan diyat asal, bukan kompensasi.
Namun, ada juga diyat yang dibayar dengan Dinar dan Dirham. Untuk Dinar emas, kadarnya seberat 1000 Dinar, sedangkan untuk Dirham perak, kadarnya seberat 12,000 Dirham. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i:
وعلى أهل الذهب ألف دينار
“Bagi orang yang mempunyai emas, wajib membayar 1000 Dinar.”
Dalam riwayat lain:
أن رجلا قتل، فجعل النبي صلى الله عليه وسلم ديته اثنى عشر ألفا
“Seseorang pria telah membunuh, maka Nabi saw. menetapkan kepadanya Diyat sebesar 12,000 Dirham.”
1 Dinar secara syar’i beratnya 4,25 gram emas, sehingga 1000 Dinar sama dengan 4,250 gram emas. Adapun 1 Dirham secara syar’i beratnya 2,975 gram perak, sehingga 12,000 Dirham sama dengan 35,700 gram perak. Jika kita menggunakan Dinar, 1000 Dinar atau setara dengan 4,250 gram, dengan harga 1 gram emas Rp. 480,000, maka nilai diyat yang harus dibayar adalah Rp. 2,040,000,000 (Dua milyar empat puluh juta rupiah).
Inilah diyat yang harus dibayarkan untuk orang yang sengaja membunuh (qatl ‘amd), dan itupun tidak boleh dibayarkan oleh orang lain, baik keluarga maupun pemerintah, kecuali harta pelakunya sendiri. Meski juga tidak ada laranga, jika pelakunya tidak mempunyai harta, bisa diampuni, atau harta yang dibayarkan oleh keluarga atau pemerintah, diberikan kepadanya, baru setelah itu pelakunya membayarkan diyat tersebut sebagai hartanya.
Diyat Satinah
Mengenai diyat Satinah, ada yang menarik. Pertama, karena nilai diyat tersebut tidak wajar. Pihak keluarga ngotot, menetapkan SAR 7,5 juta, atau senilai Rp 21 milyar, sebagai syarat negosiasi diberikan dan tidaknya pengampunan. Kedua, diyat ini tidak dibayar sendiri oleh Satinah, sebagai pembunuhnya, tetapi dibayar oleh pemerintah Indonesia.
Dalam kasus pertama, yaitu kewajaran diyat, jika merujuk kepada nash-nash hadits, maupun Ijmak Sahabat, maka diyat yang paling berat, yaitu Diyat Mughalladhah sekalipun tetap atas batasnya. 100 unta, dengan rincian 30 Hiqqah, 30 Jadz’ah dan 40 Khalifah. Itu kalau dibayar dengan unta. Jika dibayar dengan Dinar, nilainya 1000 Dinar. Kalau dikonversi dengan rupiah, nilainya setara dengan Rp. 2,040,000,000 (Dua milyar empat puluh juta rupiah). Inilah yang seharusnya dibayar untuk membebaskan Satinah. Tidak lebih dari itu. Karena, jumlahnya oleh nash telah ditetapkan dengan angka 100 unta, atau 1000 Dinar.
Dalam konteks ini, bisa ditarik Mafhum Mukhalafah-nya, bahwa diyat tersebut tidak boleh kurang dari angka tersebut, dan juga tidak boleh lebih. Masalahnya, pihak mujna ‘alai (korban pembunuhah) atau wali ad-dam (keluarga korban) tidak mau memberikan pengampunan, kecuali dengan kompensasi sebesar Rp. 21 milyar itu. Dalam kasus seperti ini, semestinya Mahkamah Arab Saudi yang bisa menengahi, atau membuat keputusan yang tegas, bahwa batas maksimal diyat yang dibayarkan tidak lebih dari 1000 Dinar atau 100 unta. Keputusan ini mengikat kedua belah pihak, sehingga tidak bisa dieksploitasi oleh keluarga korban untuk melakukan pemerasan.
Nah, apa yang terjadi dalam kasus ini jelas pemerasan. Karena permintaannya tidak wajar. Pemerintah Saudi sendiri tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan praktik pemerasan ini. Semestinya, dalam kasus seperti ini, keluarga korban bisa dijerat dengan pasal pemerasan terhadap pelaku. Karena, yang ada justru sebaliknya, keluarga korban seharusnya bisa meringankan beban diyat, bukan malah sebaliknya. Terlebih, beban yang dimintai jauh melampaui batas yang ditetapkan oleh syariah. Karena itu, dalam kasus ini, baik pemerintah Saudi maupun keluarga korban, sama-sama melakukan penyimpangan.
Adapun kasus kedua, pembayaran yang dilakukan pemerintah Indonesia, meski hukum asalnya merupakan kewajiban pelaku, yaitu Satinah, dan tidak boleh ditanggung oleh yang lain, namun jika keluarga Satinah bersedia menanggungnya dengan suka rela, secara syar’i diperbolehkan. Jika keluarga Satinah tidak berada, maka keluarga korban bisa memaafkan, dengan tanpa kompensasi. Namun, jika tetap ngotot minta kompensasi, maka Baitul Mal bisa membantu pembayaran kompensasi tersebut. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Satinah sah. Meski, tentu tidak sebesar yang harus dibayarkan sebagaimana klaim keluarga korban.
Hanya saja, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia, jika dilakukan bukan karena pertimbangan hukum syara’, tetapi lebih karena faktor politik, menjelang Pemilu, tentu nilainya di hadapan Allah berbeda. Wallahu a’lam.[]
[1] Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996, hal. 188.
[2] Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996, hal. 189.
[3] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 111.
[4] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 111.
[5] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 89-90.
[6] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 99.
[7] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 100.
[8] Unta Hiqqah adalah unta yang berusia 3 tahun, dan memasuki usia 4 tahun. Unta Jadza’ah adalah unta yang usianya telah 4 tahun sempurna, dan memasuki usia 5 tahun. Sedangkan Unta Khalifah adalah unta betina yang sedang bunting.
[9] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 110.
[10] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 118.
walaupun sudah lewat, tetapi banyak pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini. Tapi afwan, setahu saya, masalah diyat ini adalah permasalahan fiqh yang para ulama termasuk imam madzhab pun memiliki perbedaan pandangan. Dan setau saya, KSA mengambil pendapat dari imam Abu Hanifah yang menetapkan bahwa penetapan diyat sepenuhnya ada di tangan ahli waris. Mungkin bisa disebutkan juga pendapat yang ditabbani oleh KSA, alih-alih langsung menyebutkan bahwa KSA seharusnya begini dan begitu. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat awam pun dapat memiliki informasi sejelas2nya. Dan bukankah ini akan menjadi sebuah pengajaran fiqih yang baik..? Wallahu a’lam.