Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)
Pemilu memang belum usai. Masih ada tahapan berikutnya yaitu perebutan kursi RI-1. Atas nama pesta demokrasi, rakyat Indonesia betul-betul diminta menyukseskannya. Untuk kesuksesan Pemilu tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Baik oleh negara melalui APBN, uang Pribadi Caleg/Cawapres, dan sumbangan dari donatur. Kisaran uang yang dikeluarkan negara untuk Pemilu mencapai triliyunan. Begitu pula caleg/cawapres untuk mendukung kampanye ada yang milyaran. Pihak donatur yang diwakili oleh pemilik modal, menanamkan investasi atas nama sumbangan kepada partai dan caleg/capres.
Demokrasi dewasa ini sering dikaitkan dengan uang. Sukses tidaknya seseorang dalam pemilu, ditentukan jumlah dana dan pencitraan di media massa. Akibat disandarkan pada materi (uang), tidak sedikit orang dibuat stres. Akhirnya pun gangguan jiwa (gila). Saat ini susah membedakan antara biaya politik (politic cost) dan politik uang (money politic). Keduanya ibarat sebilah kepingan uang koin. Anehnya yang sering dipersoalkan dalam pemilu adalah money politic. Karena dianggap serangan fajar dan semisal penyuapan. Padahal keduanya bersumber dari uang. Meskipun perutukannya berbeda.
Konsep demokrasi tak seindah realitanya. Gagasan demokrasi (Abraham Lincoln 1860-1865) dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sudah bergeser. Pergeseran menjadi dari company, oleh company, dan untuk company (disampaikan Presiden Rutherford B.Hayes-1876). Company dimaksudkan perusahaan atau pemilik modal (kapitalis). Faktanya pada Pemilu di negara demokrasi manapun, keterlibatan company selalu ada. Mereka berada di balik layar untuk mendukung sisi finansial. Mengingat Parpol bukanlah sebuah perusahaan.
Simbiosis Eko-Politik
Kepentingan ekonomi dan Politik (Eko-Politik) dalam sistem demokrasi akan senantiasa berjalan beriringan. Politik merupakan sumber untuk menghasilkan kebijakan dan aturan. Sementara ekonomi merupakan penopang utama keberlangsungan pemerintahan. Sistem demokrasi mengharuskan siapa yang berkuasa harus mempunyai dukungan kuat. Bisa berupa finansial, basis masa, dan mesin politik partai. Maka untuk menopang itu semua, dibutuhkan penyandang dana. Benar yang dikatakan Harold D. Laswell, politik adalah masalah siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Keberadaan pemilik modal tidak dielakkan lagi.
Sumbangan pemilik modal disebut juga “mahar politik”. Pemberian itu tidak gratis. Ada kesepakatan tersembunyi dibalik itu semua. Pemilik modal hanya menginginkan aturan yang ada tidak menyulitkan untuk berinvestasi atau menguasai pasar usaha. Maka di sinilah ada simbiosis antara penguasa dan pemilik modal. Simbiosis berupa aturan dan UU yang pro pada kapitalis. Sebut saja UU Migas, UU SDA, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU BPJS, UU SJSN, UU Pemilu, dll.
Simbiosis kepentingan eko-politik dibolehkan dalam UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Hal ini mengindikasikan jika politik membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal itu dijelaskan pada bagian kesepuluh tentang Dana Kampanye pasal 129-135. Sebagaimana dalam penjelasan UU, yang dimaksud “sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak berasal dari tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal dari perseorangan, kelompok dan/atau perusahaan.
Jika demikian, apakah benar tidak ada kepentingan apa pun ketika pihak lain memberi? Padahal dalam istilah jaman matrealis ini, “tidak ada makan siang gratis”. Hal inilah yang mengindikasikan jika demokrasi sesungguhnya tidak untuk rakyat, melainkan untuk company (kompeni: baca istilah Belanda). Karena faktanya tidak semua rakyat punya uang. Hanya karena keserakahan segelintir orang yang ingin berkuasa, mereka menggandeng kapitalis.
Peristiwa kepentingan eko-politik sudah mewarnai Indonesia semenjak zaman penjajahan. Ahmad Mansur Suryanegara menjelaskan bahwa demi menciptakan sistem kebergantungan kalangan Pangreh Pradja (setingkat pejabat) terhadap Cina pemilik dana. Maka diciptakan sistem pengangkatan dari kepala desa hingga bupati, disyaratkan memiliki sejumlah uang. Dapat dikatakan dengan istilah lain sebagai “pendanaan ilegal kepala daerah” atau “pilkada” zaman kolonial. Disebut dana ilegal karena tidak ada landasan surat dari Gubernur Jendral.
Prof. Dr. D.H. Burger dan Prof. Dr. Mr. Prajudi dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia menuturkan bahwa untuk seorang calon Loerah harus memiliki uang sejumlah f.700,- hingga f.1.000,-. Uang tersebut sejumah f.200,- dipersembahkan kepada Bupati, untuk Wefana f.100,- dan Jurutulis Controleur f.25,-. Sisanya digunakan untuk menyejahterahkan eselon lainnya yang terikat dalam struktur kepangreh pradja. Pertanyaan berikutnya, darimana dana tersebut diperoleh? Jawabannya diperoleh dari pinjaman kepada Cina atau disebut Taokeh. Walaupun Lurah dipilih rakyat, namun jika tidak memberikan dana ilegal dipastikan tidak diangkat menjadi lurah.
Bagaimana cara pengembaliannya? Seorang Taokeh ternyata dapat mendanai tiga atau empat Lurah. Demokian seorang Taokeh dapat menyeponsori dana ilegal untuk Bupati. Adapun sistem pengembalian utangnya, para Taokeh bertindak sebagai raja kecil di desa atau kabupaten yang didrop dananya. Rakyat harus bekerja untuk kepentingan Taokeh. Kelaparan dan wabah penyakit tak terhindarkan. Lurah hingga Bupati tidak berdaya membela rakyat dan tidak berani melawan penindasan Taokeh.
Cara-cara zaman kolonial itu, kini dilestarikan. Akibatnya rakyat menjadi tumbal politik. Demokrasi telah gagal dan menyesatkan dengan istilah suara rakyat suara Tuhan. Adanya saat ini Keuangan yang maha kuasa. Mengingat demokrasi bersumber pada pemisahan agama dengan kehidupan. Segala cara ditempuh untuk duduk di kekuasaan.
Fakta lainnya, pemilik modal mendapatkan murah ijin investasi menjelang Pilkada. Angka yang dicatat lembaga swadaya masyarakat Jaringan Informasi Tambang (Jatam) mencatat, pada saat pemilihan kepala daerah, jumlah izin yang dikeluarkan melonjak sekitar dua kali lipat. “(Keluarnya izin) menyusut setelah proses pilkada berlangsung,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Manajer Kampanye Jatam. Dari data 18 kabupaten dan kota yang dikumpulkan Jatam, 11 di antaranya menggelar pemilihan bupati pada 2011 dan 2010. Tampak bahwa jumlah izin yang dilansir melonjak tajam pada 2010, tahun saat banyak dana dibutuhkan untuk kampanye. (sumber Majalah detik. Maret 2014).
Saat ini pun, pemilik modal mulai merambah ke dunia politik. Sebut saja bos Media Massa Harry Tanoe, Surya Paloh, Abu Rizal Bakrie, dan lainnya. Begitu mereka masuk dalam partai politik, ada karpet merah di kursi kehormatan partai. Sering ketika pemilik modal masuk politik berujar, “saya tidak akan korupsi. Kekayaan saya lebih besar dari pendapatan jadi politisi. Terus apa yang mau dikorupsi?”. Memang mereka masuk bukan karena pendapatan jadi politisi. Mereka hanya ingin aturan dibuat untuk memudahkan mereka dalam memutar roda ekonomi, yang hasilnya jauh lebih besar dari gaji politisi. Lagi-lagi, uang dijadikan instrumen utama.
Pengalaman Pemilu 2004, sebagaimana disampaikan TB Silalahi, ketika SBY dari Menkopolkam kemudian mencalonkan Presiden. Ratusan pengusaha mendukung SBY. Membantu kaus, bendera, dan properti. Mereka menyiapkan segala sesuatu dengan harapan mengubah nasib bangsa. Dananya datang begitu saja, mengingat partai baru berdiri dan belum punya uang. Baru-baru ini pula PDI-P untuk mendukung kampanye telah memberikan nomor rekening kepada 60 pengusaha. Kondisi semacam ini juga dialami oleh semua partai. Untuk menjalankan mesin uang partai mereka mengandalkan anggota dan sumbangan kapitalis. Inilah menunjukkan bahwa politik demokrasi diciptakan untuk kepentingan segelintir orang. Bukan untuk rakyat.
Alhasil, selama politik ditunggangi oleh kepentingan uang. Maka selama itu pula rakyat hanya diminta memberikan “stempel” dukungan. Tujuannya agar negara sesuai dengan konstitusi. Meskipun penguasa sering inkonsistensi. Di sinilah dibutuhkan kesadaran bagi rakyat agar memiliki pemahaman politik yang benar. Politik yang tidak sekadar akal bulus dan membohongi rakyat. Lebih dari itu politik yang mencerdaskan rakyat. Sehingga negara ini dibangun oleh orang-orang yang layak dan kompeten. Saatnya rakyat juga menggugat demokrasi yang selama ini menidurkan rakyat dari fakta sebenarnya.
Perubahan Paradigma
Korupsi sering diidentikan dengan biaya politik yang mahal. Begitu pula banyak komentar yang masih menganggap demokrasi sistem yang baik. Hanya segelintir oknum yang jelek akhlaknya sehingga terjerembab dalam korupsi. Jika demikian adanya, kenapa orang-orang yang paham dan pintar justru menjadi pelaku utama korupsi? Dibutuhkan perubahan paradigma mendasar bahwa sistem demokrasi cacat sejak lahir. Prakteknya juga menimbulkan kecacatan dan kerusakan. Jika sudah demikian maka demokrasi haruslah diganti dengan sistem politik yang manusiawi. Itulah gagasan politik Islam. Perbedaan mendasar Islam dan demokrasi terletak pada asas. Demokrasi berasas pada kedaulatan di tangan rakyat. Artinya rakyat berhak menentukan baik dan buruknya, serta mengatur hidupnya sendiri. Sementara islam berdasar pada aqidah Islam. Artinya kedaulatan ada di tangan Allah. Dzat Yang Menciptakan Manusia dan Mengatur alam semesta. Baik dan buruk bersandar pada syariat Islam.
Di sisi lain, islam mendefinisikan politik sebagai pengurusan urusan umat dengan syariah. Maka siapa pun yang berkuasa tugasnya menegakan hukum Allah dan melayani rakyat. Jika terjadi pengabaian urusan rakyat dan pembohongan publik maka siksa Allah lebih berat. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw
“Tidaklah Seorang Penguasa Mengatur Urusan Rakyatnya, Lalu Mati Sedangkan Dalam Keadaan Menipu Mereka Melainkan Allah Mengharamkan Syurga Baginya” (HR Bukhori)
Islam juga akan mencegah kongkalikong politisi dan pemilik modal dalam pembuatan UU. Karena penguasa tidak disibukkan membuat UU. Mereka hanya diminta menjalankan aturan yang sudah berasal dari Allah. Aturan yang memanusiakan manusia. Jika pun mereka sebagai penguasa maka tugasnya hanya untuk melayani rakyat, bukan kapitalis. Ketika ada penyelewengan penerapan syariah maka akan ada amar ma’ruf nahi munkar. Ketika Islam dijadikan sebagai pedoman, maka siapa pun yang berkuasa adalah orang yang amanah, beriman, dan sesuai dengan tuntunan Islam. Karena pertanggung jawaban tidak saja di hadapan manusia, tapi di hadapan Allah Swt. Hal inilah yang menjadikan Umar bin Khattab untuk memanggul gandum. Kemudian diberikan kepada rakyatnya yang sedang memasak batu untuk anak-anaknya.
Keagungan politik Islam digunakan untuk menegakan hukum-hukum Allah dalam segala aspek hidup. Karena inilah perintah dari Allah Swt. Maka untuk mewujudkannya diperlukan suatu Negara. Inilah yang disebut Khilafah Islamiyah. Lantas, apa jawaban bagi para pendukung dan pejuang demokrasi? Dengan melihat fakta kecacatan dan kebobrokannya? Jika mereka tidak ingin menanggung malu di hadapan manusia dan Allah, karena menyebarkan hal yang salah. Segeralah menjadi bagian dari para penyeru Politik Islam yang Agung dan berasal dari Allah. Sudah saatnya Syariah dan Khilafah mengganti demokrasi yang rusak.
Sumber Rujukan:
- Harold D. Laswell: Politics. Who gets What, When, How (New York. Wold Publishing Co., 1972)
- UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu
- Ahmad Mansur Suryanegara. Api Sejarah. “Kerjasama Pangreh Pradja dengan Taokeh”. Halaman 211. Salamadani. PT Grafindo Media Pratama
- Abdul Qodim Zallum. Pemikiran Politik Islam. Penerbit Al Izzah.