Memberantas korupsi merupakan salah satu kehendak rakyat yang ingin perubahan dan perbaikan sehingga diakhirinya era Orde Baru. Namun karena negeri ini tetap menerapkan demokrasi maka perubahan itu jauh panggang dari api.
“Pemilu jadi sulap canggih demokrasi untuk kanalisasi kehendak rakyat yang ingin perubahan dan perbaikan, tapi akhirnya dikelabui,” ungkap Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yahya Abdurrahman kepada mediaumat.com, Rabu (23/4) melalui surat elektronik.
Karena sistem tersebut membutuhkan ongkos politik yang mahal termasuk untuk biaya politik uang (money politic) untuk meraup suara rakyat. Padahal, menurut Yahya, ongkos politik yang mahal tersebut berkonsekuensi terhadap tingginya angka korupsi.
Maka bisa dijamin, rezim Pemilu 2014 akan jauh lebih korup di banding sebelumnya. Sebagai argumennya, Yahya pun merujuk pada hasil riset disertasinya Burhanuddin Muhtadi yang menyebut Pemilu Legislatif 2014 sebagai pemilu yang paling brutal dalam sejarah Indonesia.
“Pemilu legislatif tahun ini bukan memperjuangkan ideologi atau isu-isu yang bersifat program, juga bukan memperjuangkan elektoral, melainkan jadi arena pintar-pintaran mendistribusikan uang tanpa melanggar aturan pemilu,” ungkap Yahya mengutip hasil riset tersebut.
Jadi selama pemilunya bagian dari demokrasi, Yahya berkesimpulan, korupsi wajar akan terus terjadi. “Pemilu memang bagian dari demokrasi, sistem politik sarat biaya, wajar saja semua itu terus terjadi,” pungkasnya. (mediaumat.com, 23/4/2014)