Laporan Pandangan Mata KEI Sudan: Ketika Kesahajaan Menyambut

HTI-Press. Mungkin memang tepat pilihan tempat Konferensi Internasional Ekonomi Islam yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir ini di Sudan, 3 Januari 2008. Bila konferensi itu tujuannya adalah mengungkap kebobrokan sistem ekonomi kapitalis yang memang sudah demikian nyata, maka Sudan, setidaknya dari melihat keadaan ibukota Khartoum, adalah negara yang boleh kita sebut tipis sekali pengaruh kapitalisme. Keadaan kotanya amat bersahaja. Ini mulai terlihat sejak di bandara. Jangan bayangkan bandara internasional Khartoum, meski disebut internasional, akan tampak gemerlap seperti misalnya bandara Soekarno Hatta di Jakarta apalagi Changi, Singapura. Situasinya mirip dengan bandara kota kecil di Indonesia. Bedanya cuma di sini ada tempat pemeriksaan paspor yang keadaannya juga sederhana, dengan pegawai yang bekerja dengan santai, dan orang dari luar bebas keluar masuk ruang itu bertemu langsung dengan yang mau dijemput.

Begitu masuk di ruang kedatangan, tidak tampak mencolok iklan-iklan besar, apalagi iklan dari perusahaan multi nasional produsen mobil, jam tangan, tas, bank atau barang-barang elektronik dengan model perempuan beraneka gaya seperti yang sering kita lihat di berbagai bandara kelas internasional. Hanya terlihat iklan dengan penampilan yang tidak terlalu menarik dari sejumlah hotel lokal. Juga tidak ada restoran cepat saji yang biasanya menghiasi tiap bandara di berbagai negara. Hanya ada beberapa gerai dari perusahaan operator telpon seluler dan penukaraan uang.

Bukan hanya bangunannya, perilaku orangnya juga kelihatan “sederhana”. Saya beberapa kali harus menahan emosi karena berulang kali orang yang datang belakangan langsung memotong barisan di depan. Ia teriak-teriak minta cepat dilayani. Petugas sudah mencoba memintanya untuk antri di belakang, tak berhasil. Tetap saja ia mendesak. Akhirnya mungkin dari pada ribut, dilayani juga orang itu.

Kesahajan bandara Khartoum makin lengkap begitu kita melangkahkan kaki keluar. Sekali lagi jangan dibayangkan halaman luar bandara ini seperti bandara internasional yang dipenuhi dengan mobil mewah terparkir, taman yang cantik dan lampu yang terang benderang dengan petugas yang berpakaian rapi. Halaman bandara Khartoum nyaris gelap tak berlampu. Sejumlah mobil terparkir tak karuan. Tak tampak mobil mewah di sana. Beberapa mobil Toyota Camry terparkir. Ini mobil paling mewah yang terlihat. Selebihnya adalah mobil-mobil biasa dan sejumlah taksi yang juga dari mobil tua. Beruntung saya bisa merasakan taksi jaman baheula itu. Mengingatkan Jakarta di tahun 70-an

Karena kami datang berbarengan dengan 2 orang anggota delegasi dari Bangladesh, sementara mobil penjemput adalah Kia Atoz yang kecil itu, maka kami diminta untuk menggunakan taksi. Dan taksi yang kita naiki adalah mobil tua, kalau tidak salah merek Toyota bikinan tahun 70 an. Tidak terlihat ada AC, tapi memang malam itu cuaca sedang musim dingin. Udara luar justru membuat kita menggigil kedinginan. Kira-kira suhunya 18 derajat Celsius. Yang menarik, kaca depan taksi itu penuh dengan aneka hiasan, hampir memenuhi seluruh bidang pandang. Di dash board, sopir meletakkan aneka parfum “yoyon”, yang membuat kabin baunya aneka warna. Cukup membuat kepala agak sedikit pening. Namun pening ini agak berkurang, lantaran sopirnya menyetel musik pop ala Sudan yang rada-rada aneh di telinga kita.

Menyusuri jalanan dari bandara, tetap tidak terlalu terang. Kiri kanan tidak tampak bangunan megah atau taman-taman. Lusuh dan gelap. Kurang dari 10 menit, Kami tidak di Plaza hotel. Sepi. Seperti tidak ada kegiatan. Hanya ada seorang penjaga pintu, yang eh, ternyata dia juga adalah resepsionis. Kesederhanaan Khartoum makin lengkap ketika ternyata hotel yang semua anggota delegasi dari seluruh negara menginap itu ternyata tidak memiliki lift. Jadilah kita, dengan sedikit menahan perut yang sejak tadi terasa sangat sakit dan rasa capek perjalanan lebih dari 30 jam dari Jakarta, menaiki gedung menuju kamar yang dituju di lantai 4.

Ahlan wa sahlan, maka Khartoum menyambut kami dengan kesahajaan. Tanpa aksesoris kapitalis. (Laporan: M. Siddiq al-Jawi)

Pertokoan dengan papan iklan sederhana

Pertokoan Khourtum yang sederhana

Taksi di Sudan

10 comments

  1. Subhanalloh…

  2. Kami tunggu kabar2 selanjutnya.

  3. justru kesederhanaan Sudan itu bisa menjadi peluang bagi dakwah Islam di sana termasuk tentu masyarakatnya lebih siap menerima konsep Khilafah.
    Beda dengan Indonesia yang walaupun mayoritas mengaku Muslim, tapi kapitalisme benar2 telah merasuki jiwa-raganya.

  4. ndeso banget..
    namun ada sesuatu di balik kesahajaan
    rosul aja sangat..sangat bersahaja

    hancurkan kapitalisme!
    tegakkan syariah&khilafah!
    allahu akbar

  5. M. Yusuf Ibrahim

    ekonomi yang bebas kapitalisme, tidak selalu identik dengan bangunan2 yang “sederhana” (kalau tidak mau dikatakan buruk) atau mobil2 tua (yang seharusnya sudah masuk tempat penghancuran), tetapi ekonomi yang dibangun atas prinsip2 syariah, dan syariah tidak mengharamkan memakai gedung pencakar langit dan mobil baru gress keluaran pabrik. Menurut saya gambaran ekonomi Sudan sama sekali tidak menggambarkan sistem yang bebas kapitalisme, tapi lebih tepat ekonomi yang “miskin”. lebih tepat jika konfrensi tsb dilakukan di Indonesia yang saat ini termasuk kelompok negara G20 (20 negara terkaya di dunia) dan termasuk 5 besar negara terkaya di asia setelah Jepang, Cina, India dan Korea.

  6. Ya. Nanti Khilafah juga akan memprioritaskan pembangunan tang berkaitan dengan peningkatan kwalitas sumberdaya manusia dan kemudahan pemenuhan kebutuhan pokok. Untuk apa bangunan yang megah namun rakyat banyak yang kelaparan dan tertindas.

  7. megahnya bangunan, mewahnya mobil dn gemerlapnya sebuah negeri tidak mesti menunjukkan beradabnya negeri itu. lihatlah gemerlapnya amerika. namun pemimpin nya dihina dilempar sepatu, negaranya dicaci dunia, kerjaannya bikin onar, menjajah. coba mereka gak njajah negeri muslim yang begitu kaya, misskkkkiiiiinnnn mereka.
    itulah negara yang memimpin dunia saat ini…..kepongahannya, keangkuhannya sebenarnya wujud kekerdilannya, ketakutan dan kekhawatirannya akan kehancurannya yang semakin dekat.

    ketakutan amerika akan tegaknya negara adidaya, super kuat, namun tetap bersahaja.
    negara yang amat besar dan dunia damai karena keadilannya.
    negara yang kuat dan dunia merasa aman terjaga
    negara yang kaya dan dunia merasakan kesejahteraan.
    negara yang memiliki armada militer yang superkuat namun digunakan untuk menjaga tiap jengkal tanah dibumi dari penjajahan dan penindasan.

    negara itu adalah daulah khilafah Islamiyah yang sebentar lagi akan tegak dimuka bumi…Allaahuakbar

  8. Harapan Satu

    Inilah ironi dampak kapitalisme yang memberikan jurang perbedaan yang mencolok, aneh bin lucu antara negara yang ‘sedikit punya’ dengan negara-negara penjajah yang katanya kaya kayak Amerika dan Eropa.

  9. Anti-kapitalisme

    Kondisi di atas menggambarkan Sudan adalah korban kapitalisme, bukan bebas dari kapitalisme. Itu kan sama seperti kota-kota kecil di Jawa yang bersahaja tapi tetap saja mempraktikkan kapitalisme. Sayang penulis terlalu menyederhanakan masalah kapitalisme global dengan melihat kemiskinan Sudan. Toh faktanya Sudan masih memberlakukan kapitalisme, bukan ekonomi syari’ah. Hanya dalam khilafah saja ekonomi syariah akan tegak, bukan di Sudan.

  10. Bagaimana dgn Media Center tempat berlangsungnya Konferensi?
    Apa ada fasilitas internet, SLI, dll ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*