أَربعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
“Ada empat tabiat, siapa saja yang dalam dirinya ada keempatnya, ia seorang munafik murni; jika ada salah satu dari tabiat itu maka di dalam dirinya ada sebagian dari tabiat munafik sampai ia meninggalkannya: siapa yang jika berbicara berbohong; jika berjanji (berkomitmen) tidak menepati; jika bersengketa berdusta; dan jika mengikat perjanjian tidak memenuhi.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini dicantumkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali di dalam kitabnya, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hadis ke-48. Hadis ini melengkapi Arba’un an-Nawawiyah menjadi 50 hadis. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari jalur Abdullah bin Amru. Dalam penuturan Abu Hurairah ra. hadis ini berbunyi:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
Tanda-tanda munafik ada tiga: jika berbicara berbohong; jika berkomitmen tidak menepati; dan jika dipercaya (diamanahi) berkhianat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani menjelaskan, “An-Nifâq secara bahasa adalah batin menyalahi lahiriahnya. Jika itu tentang i’tiqad (keyakinan/keimanan) maka itu adalah nifâq al-kufr. Jika tidak maka nifâq al-‘amal, termasuk di dalamnya melakukan dan meninggalkan perbuatan. Dalam hal ini tingkatannya berbeda-beda. Sabda Rasul saw. khâlishan (murni) yakni sangat menyerupai orang munafik karena sifat-sifat itu dominan atas dirinya dan telah menjadi akhlak (sifat) dan tabiatnya.”
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan, “Maknanya bahwa tabiat-tabiat ini adalah tabiat nifaq. Pemilik tabiat ini menyerupai orang munafik dan berakhlak dengan sifat-sifat mereka. Nifaq adalah menampakkan apa yang berbeda dengan batinnya. Makna ini ada pada pemilik tabiat-tabiat ini. Nifaq-nya itu terhadap orang yang ia ajak bicara, yang ia beri janji, yang memberi dia amanah, yang ia sengketai dan orang yang ia ikat dengan suatau perjanjian; bukan bahwa ia munafik di dalam Islam dan ia menampakkan Islam, sementara ia menyembunyikan kekufuran. Melalui hadis ini, Nabi saw. tidak menghendaki bahwa dia adalah munafik dengan nifâq al-kufâr yang kekal di kerak neraka.”
Imam an-Nawawi melanjutkan, “Kâna munâfiqan khâlishan, maknanya sangat menyerupai orang-orang munafik disebabkan tabiat-tabiat ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa hal ini berlaku pada orang yang didominas oleh tabiat-tabiat ini. Adapun orang yang jarang sekali memiliki tabiat itu maka ia tidak termasuk. Inilah makna yang terpilih dari hadis ini. Imam Abu ‘Isa at-Tirmidzi telah mengutip maknanya dari para ulama secara mutlak. Beliau berkata, “Makna ini menurut ahlul-‘ilmi adalah nifâq al-‘amal.”
Gabungan kedua hadis di atas menyebutkan lima tabiat/tanda nifaq al-‘amal (nifâq al-ashghar). Jika tabiat-tabiat itu ada dan dominan pada diri seseorang, maka dia sangat menyerupai orang munafik dalam hal tabiat itu, namun ia bukanlah orang munafik dalam pengertian syariah, yakni nifâq al-kufri (nifâq al-akbar) yang kelak kekal di kerak neraka. Kelima tabiat itu harus dijauhi sejauh mungkin.
Pertama: idzâ haddatsa kadzaba (jika berbicara berbohong). Al-Hafizh Ibn Hajar mengutip dari Ibn at-Tin dari Imam Malik ketika beliau ditanya tentang bohong ini, beliau berkata, “Mungkin ia berbicara tentang kehidupan masa lalunya, lalu berlebihan dalam mendeskripsikannya. Ini tidak membahayakan. Yang membahayakan adalah orang yang berbicara tentang sesuatu menyalahi yang sebenarnya karena sengaja berbohong.”
Jadi, yang dimaksud adalah berbicara tentang sesuatu yang telah lalu atau sedang terjadi dengan menyalahi yang sebenarnya. Misal, mengatakan sesuatu terjadi, padahal tidak; berkata tidak melakukan padahal melakukan; dan semacamnya.
Kedua: idzâ khâshama ghadara (jika bersengketa berdusta). Artinya, ketika bersengketa menyimpang dari al-haqq menuju kebatilan dan berdusta, misalnya mengungkapkan argumentasi atau bukti secara dusta. Ini sebenarnya turunan dari berbohong.
Ketiga: idzâ u‘tumina khâna (jika diamanahi berkhianat). Menunaikan amanah diperintahkan Allah (QS an-Nisa’: 58). Sebaliknya, mengkhianati amanah dilarang dan diancam dengan azab (QS al-Anfal: 27). Lebih spesifik amanah yang dimaksud adalah amanah berupa harta.
Keempat: idzâ ‘ahada ghadara (jika mengikat perjanjian tidak memenuhi). Ini sebenarnya terderivasi dalam idzâ u’tumina khâna. Allah SWT memerintahkan untuk memenuhi perjanjian secara umum (QS al-Isra’: 34) dan perjanjian dengan Allah (QS an-Nahl: 91) serta mengancam orang yang tidak memenuhi perjanjian dengan azab pedih (QS Ali Imran: 77). Termasuk dalam al-‘ahdu yang wajib dipenuhi itu adalah semua al-‘ahdu dan akad di antara manusia, serta semua syarat yang disepakati selama tidak menyalahi syariah. Demikian juga perjanjian hamba dengan Allah berupa nadzar, sumpah, dan sejenisnya.
Kelima: idzâ wa’ada akhlafa (jika berkomitmen/berjanji tidak menepati). Menurut Ibn Rajab, hal itu ada dua macam: (1) Berjanji dan di dalam hatinya berniat tidak menepati, dan ini yang paling buruk. Al-Awza’iy berkata: Andai orang berkata, “Aku melakukan begini insya Allah,” sementara dia berniat tidak akan menepati, maka ia dusta dan tidak menepati janji. (2) Berkomitmen dan berniat akan menepati, namuan kemudian ia tidak menepatinya tanpa udzur. Yang kedua ini menurut sebagian ulama tidak berdosa. Tidak menepati komitmen karena udzur syar’i tdak termasuk dalam tabiat kelima ini.
Ibn Rajab al-Hambali mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban menepati komitmen (al-wa’du). Sebagian mereka mewajibkannya secara mutlak. Al-Bukhari menyebutkan di Shahih-nya bahwa Ibn Asywa’ meng-qadha’ komitmen, dan itu pendapat ahlu zhahir dan selain mereka. Sebagian ulama menilai wajib menepati komitmen jika berkonsekuensi denda untuk yang dijanjikan dan itu diceritakan dari Malik. Namun, banyak fukaha tidak mewajibkannya secara mutlak.”
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]