Pemilu 2014 : Tak Ada Perubahan Mendasar, Cuma Ganti Orang

Perubahan yang selalu dibicarakan adalah perubahan orang, siapa presidennya, siapa wakil rakyatnya. Padahal justru yang paling penting adalah sistem apa digunakan.

Jika demokrasi memiliki prinsip one man one vote, ada fenomena baru dalam demokrasi Indonesia yakni one envelope (amplop) one vote. Itulah yang dikemukakan oleh Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman ketika membuka Halqah Islam dan Peradaban di Jakarta, Sabtu (26/4) bertajuk Prospek Masa Depan Umat Islam Pasca Pemilu 2014.

Menurut Yahya, melihat hasil pemilu legislatif, pemilu tahun 2014 tidak banyak menunjukkan perubahan yang berarti. Memang terjadi perubahan orang dengan muka baru sebesar 50 persen. Tapi, dari muka-muka baru itu banyak muka-muka nekat. “Kenapa dikatakan muka nekat, karena sangat jor-joran untuk menang dalam pemilu,” katanya.

Fenomena serangan fajar terbukti nyata. Kalau seperti ini, ujar Yahya, modal politik DPR makin besar dan membuat elite politik menjadi buruk dan terbelenggu oleh uang. Hasil pemilu legislatif menujukkan bagaimana kekuatan uang menuntukan, bukan kekuatan ide, gagasan dan ideologi.

“Apakah pemilu dengan hasil seperti ini akan membawa perubahan untuk kehidupan masyarakat?” ungkap Yahya.

Pimpinan redaksi Tabloid Media Umat, Farid Wadjdi dalam kesempatan yang sama mengatakan sistem demokrasi memang diformat bukan untuk melakukan perubahan sistem tapi hanya untuk mengganti rezima atau orang. Kalaupun ada perubahan kebijakan sifatnya parsial bukan untuk perubahan mendasar.

Menurutnya,  sebagian besar yang terpilih karena kekuatan modal dan popularitas, ditambah tidak adanya suara partai yang dominan yang mengharuskan mereka berkoalisi. Sementara koalisi tak jarang terjebak politik dagang sapi, yang hanya untuk kepentingan elit politik, bukan rakyat.

“Bagaimana kita bisa berharap orang-orang terpilih ini akan membawa perubahan yang signifikan. Bahkan bisa jadi anggota legislatif tahun ini bisa lebih parah dari periode lalu,” tuturnya.

Farid menambahkan, anggota DPR tidak akan memiliki kinerja baik untuk rakyat selama sistemnya demokrasi, karena kebijakan keluar akan dipengaruhi oleh pemilik modal. Sementara itu keinginan pemilik modal kerap kali bersebrangan dengan kepentingan masyarakat. “Tidak ada kinerja baik kalau sistemnya demokrasi,” ujarnya.

Pembicara yang lain, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menjelaskan problem utama dalam politik politik Islam adalah apa cita-cita kongkrit dari politik Islam sulit diidentifikasi. “Apa yang sebenarnya menjadi  cita-cita partai politik Islam  dari PKS, PKB dan PPP, sulit dijelaskan,” jelasnya.

Sedangkan, Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib mengatakan ketika membahas perubahan selalu dibicarakan adalah perubahan orang, siapa presidennya, siapa wakil rakyatnya. Padahal justru yang paling penting adalah sistem apa digunakan orang tersebut jika berkuasa. Perubahan itu terbentuk dari sistem dan penerapan hukum yang orang gunakan.

“Jika sistemnya sejak awal bermasalah maka seluruhnya akan bermasalah,” tuturnya

Perubahan terjadi jika kaum itu menginginkan perubahan, jika tidak,  maka perubahan itu pun tidak akan terjadi. Karena itu penting bagi umat untuk memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan. Itulah yang dilakukan Hizbut Tahrir, mengajak umat melakukan perubahan paling mendasar yakni perubahan sistem dengan Islam.

“Kita harus mengarahkan umat pada perubahan Islam, jika tidak maka perubahan yang terjadi semakin buruk dan lebih buruk,” paparnya.

Walau tidak bisa menghadiri forum HIP, pengamat politik dari UI Boni Hargens menyatakan partai Islam harus bersatu. Kenapa? Sebab politik kita sedang mengalami krisis moral. “Saya setuju perlu ada orang-orang bermoral dan saya yang pertama kali mengusulkan Pan-Islamisme,” ujarnya dalam sambungan telpon.

Lalu, Boni menambahkan jika partai Islam bersatu, partai sekuler akan diuji apakah benar-benar mereka demokratis dan nasionalis seperti mereka kampanyekan.

“Kita harus uji benarkah partai-partai sekuler itu demokratis dengan membiarkan partai Islam berkuasa kalau partai Islam menang pemilu,” lanjutnya.

“Jangan-jangan justru mereka yang sekuler tidak siap berdemokrasi,” pungkasnya.[] fatih mujahid

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*