Hakim Mesir menjatuhkan hukuman mati atas 683 pendukung Ikhwanul Muslimin, Senin (28/4) di kota Minya, sekitar 200 kilometer sebelah selatan ibukota Kairo.
Sebuah pengadilan Mesir telah merekomendasikan hukuman mati terhadap 683 pria, termasuk pemimpin Ikhwanul Muslimin, Mohamed Badie. Ini merupakan vonis massal kedua berkenaan protes rusuh pasca penggulingan Presiden Mohamed Morsi tahun lalu.
Sebuah peradilan terpisah, hari Senin (28/4), juga menyatakan sebuah kelompok oposisi sekuler kunci sebagai partai terlarang, dalam tindakan keras yang berkelanjutan terhadap para pengecam pemerintah.
Sanak-saudara para terdakwa yang berada di luar gedung pengadilan di Minya, sebelah selatan Kairo, pingsan mendengar keputusan tersebut. Orang-orang lain memrotes keras vonis tadi dan membela para terdakwa yang menurut mereka tidak bersalah.
Rekomendasi hakim itu belum final. Juga hari Senin, pengadilan yang sama membatalkan hukuman mati sebuah kasus terkait, dengan 492 dari 529 pria kini diancam hukuman penjara 25 tahun hingga hukuman seumur hidup. Hukuman mati terhadap 37 pria ditegakkan.
Kedua kasus itu terkait dengan pembunuhan seorang polisi dalam protes dan kerusuhan tahun lalu, menyusul tergulingnya tokoh Ikhwanul Muslimin, mantan Presiden Mohamed Morsi.
Organisasi-organisasi HAM dan negara-negara Barat mengecam kedua proses peradilan tersebut, proses cepat di mana para pengacara terdakwa tidak diizinkan memaparkan pembelaan mereka.
Berbicara di luar gedung pengadilan, pengacara para terdakwa Mohamed Abdel Wehab mengatakan bahwa hak para terdakwa untuk pembelaan telah dilanggar seraya menambahkan, biasanya, sebuah kasus pembunuhan memakan waktu satu atau dua tahun, tetapi ini selesai hanya setelah sidang pertama.
Para pengecam mengemukakan, sistem hukum Mesir makin mengikuti keinginan pemerintah yang didukung militer dan kandidat presiden mantan menteri pertahanan Abdel Fattah el-Sissi.
Analis politik dan diplomat veteran, Abdallah al-Ashaal mengungkapkan, Sissi dapat menempuh salah satu dari dua cara dalam menangani kelompok Ikhwanul Muslimin, setelah kemenangan pemilu, yang diduga kuat akan diraihnya bulan depan.
“Dia mungkin akan secara total menghancurkan Ikhwanul Muslimin, terutama karena begitu banyak mitra, baik dari dalam maupun luar Mesir, yang mengharapkan Sissi melakukannya, atau mereka akan berusaha membesar-besarkan masalah, sehingga Sissi akan keluar sebagai pahlawan dalam menumpas Ikhwanul Muslimin, kemudian memberi amnesti kepada semua,” ujar al-Ashaal.
Gagasan tentang sebuah kemungkinan bahwa pemerintah dan para penentangnya akan rujuk tampak mengecil sewaktu sebuah peradilan lain, hari Senin, menyatakan sebuah partai sekuler yang pro-demokrasi sebagai partai terlarang.
Media pemerintah menyebutkan, “Gerakan 6 April,” yang ikut berperan dalam pemberontakan tahun 2011 yang menggulingkan pemimpin yang lama berkuasa, Presiden Hosni Mubarak, telah menodai citra pemerintah.
Pengadilan memerintahkan disitanya markas kelompok itu dan menyatakan ilegal segala aktivitasnya. Salah seorang pemimpin kelompok itu, Ahmed Maher, telah divonis tiga tahun penjara karena melakukan unjuk rasa tanpa izin.
Pemerintah Mesir mengabaikan semua kecaman terkait tindakan keras terhadap kelompok-kelompok oposisi, berargumen bahwa tindakan tegas diperlukan untuk menegakkan stabilitas.
Ratusan, mungkin ribuan orang, banyak di antaranya pendukung Morsi , tetapi juga para anggota pasukan keamanan, telah tewas sejak tergulingnya Morsi. Ribuan lagi mendekam dalam penjara. Mantan presiden itu juga sedang diadili menyangkut beberapa kasus, dan jika dinyatakan bersalah, dapat diancam hukuman mati.(voaindonesia.com, 29/4/2014)